Apa Hukum Jual Beli Saham dan Valas atau Forex?

Assalamu’alikum wr. wb.

ilustrasi (fiskal.co.id)

dakwatuna.com – Saya mau tanya menurut Islam hukum dari jual beli saham dan valas (forex) itu halal, boleh, makruh atau haram? Dan dasar hadis atau ayatnya apa? (pertanyaan via FB oleh Barja Ramadani)

Wa’alaikum salam wr wb.

Bapak Barja Ramadani yang dirahmati Allah, berikut jawaban saya terhadap pertanyaan bapak. Saya jawab dengan penjelasan agak detail supaya penjelasannya lengkap.

  1. Ketentuan hukum Islam terkait Jual beli Saham

Saham hukum boleh menurut syariah jika memenuhi ketentuan sebagaimana yang akan disebutkan.

Ketentuan yang dimaksud adalah:

  1. Saham harus memiliki underlying asset yang melandasinya. Oleh karena itu asset saham tidak boleh berbentuk uang saja.
  2. Saham harus berbentuk barang (tidak boleh menjual saham yang berbentuk uang).

Pada prakteknya, setelah perusahaan emiten berhasil menjual sahamnya di pasar perdana, maka saham tersebut tidak boleh diperjualbelikan di bursa kecuali setelah dijalankan menjadi usaha riil dan uang atau modal tersebut sudah berbentuk barang.

  1. Asset barang harus yang dominan
    1. Jika asset perusahaan bermacam-macam barang, jasa, uang dan piutang, maka komposisi barang harus dominan. Para ulama kontemporer memberikan batasan, bahwa asset non barang tidak boleh lebih dari 51%.
    2. Jika asset perusahaan berbentuk barang, biasanya tidak seluruhnya berbentuk barang, tetapi sebagian kecilnya berbentuk uang kas. Maka yang mengikuti kaidah di atas.
    3. Jika asset perusahaan bermacam-macam barang, untuk menentukan jenis barang yang menjadi underlying adalah ditentukan yang dominan (aghlabnya).
  2. Kaidah yang berlaku jika asset bermacam-macam
    1. Jika asset perusahaan bermacam-macam terdiri dari barang, jasa, uang dan piutang, maka kaidah yang berlaku sesuai dengan usaha perusahaannya yaitu sebagai berikut:
    2. Jika usaha perusahaannya berbentuk investasi asset (barang, dan jasa) tersebut, maka saham tersebut boleh diperjualbelikan di pasar bursa tanpa mengikuti kaidah sharf, dengan syarat harga (pasar) dari barang dan jasa tidak boleh kurang dari 30% dari total asset perusahaan.
    3. Jika usaha perusahaannya berbentuk jual beli mata uang, maka saham tersebut boleh diperjualbelikan di pasar bursa kecuali dengan mengikuti kaidah sharf.
    4. Jika usaha perusahaannya berbentuk investasi dalam piutang, maka saham tersebut boleh diperjualbelikan di pasar bursa dengan mengikuti kaidah utang piutang.
    5. Ketiga bentuk aktivitas di pasar bursa di atas dibolehkan dengan syarat tidak dijadikan sebagai hilah untuk melakukan sekuritasi utang dengan cara menggabungkan barang dan jasa tersebut kepada utang. ([1])
  3. Emiten atau Perusahaan Publik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  • Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah.
  • Jenis kegiatan usaha tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Di antara kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip tersebut antara lain:
    1. Melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
    2. Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;

Karena kedua hal di atas termasuk aktivitas ribawi yang diharamkan dalam nash:

لعن الله أكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه

 

  1. Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; karena termasuk maisir (judi) yang dilarang dalam Islam
  2. Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan
  3. Produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudara
  • Emiten atau Perusahaan Publik yang bermaksud menerbitkan Efek Syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas Efek Syariah yang dikeluarkan.
  • Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Shariah Compliance Officer.
  • Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka Efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai efek syariah.
  1. Harga pasar dari Efek Syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.
  2. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur terlarang, di antaranya:
  3. Bai’ Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu, hal ini sesuai dengan hadits larangan bai’ najsy.
  4. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (efek syariah) yang belum dimiliki (short selling), itu maknanya menjual saham yang belum menjadi tanggung jawab, dan itu terlarang sesuai dengan hadits:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع مالم يضمن

  1. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang.
  2. Margin trading (bai’ al-hamisy), yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut,

Jual beli saham tidak boleh dengan pinjaman berbunga dari broker saham atau yang sejenisnya.

  1. Ihtikar (Penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain. ([2])
  2. Suatu Efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah.
  3. Efek Syariah mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.

 

  1. Ketentuan hukum Islam terkait Jual beli Valas

Sebagaimana dijelaskan dalam fatwa DSN Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-sharf), bahwa bentuk-bentuk transaksi jual beli valas yang diharamkan adalah sebagai berikut:

  1. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun.

Hukum transaksi forward adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.

  1. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
  • Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). ([3])

Hal ini sesuai dengan hadits-hadits Rasulullah Saw, di antaranya:

لما روى عبادة بن الصامت أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم يدا بيد -رواه أحمد-

Yang artinya, “Ubadah Bin ash Shomit r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: (penukaran) antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, korma dengan korma, garam dengan garam itu harus sama dan dibayar kontan. Jika berbeda (penukaran) barang di atas, maka juallah barang tersebut sekehendak kamu sekalian dengan syarat di bayar kontan.” (H.R Ahmad)

 

Berdasarkan fatwa DSN , transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
  2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
  3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
  4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. ([4])

Dua ketentuan terakhir di atas itu sesuai dengan ketentuan jual beli mata uang yang dibolehkan adalah sebagai berikut:

  • Jual beli mata uang sejenis harus diserahterimakan secarai tunai dan sama nominal dan jumlahnya.
  • Jual beli mata uang yang berbeda jenis itu harus diserahterimakan secarai tunai. Maka jual beli mata uang yang berbeda jenis dengan perbedaan harga itu dibolehkan. ([5])

Di   antara praktek jual beli valas yang dibolehkan adalah transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. Wallahu a’lam. (usb/dakwatuna)

————————————–

([1]( Al-Ma’ayir asy-Syar’iyah No. 21 tentang Saham, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah, bahrain, Cet. 2010 hal. 293..

([2]) Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Revisi 2006, Jakarta, Diterbitkan atas kerja sama DSN – Bank Indonesia, Cet. 2006 hal. 274

([3]) fatwa DSN Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-sharf).

([4]) fatwa DSN Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-sharf).

([5]) fatwa DSN Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-sharf).

Lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo. Dosen SEBI.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...