Belajar dari Imam Syafi’i

ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sebagai seorang pemuda muslim, kisah tentang pemuda-pemuda salaf pada zaman Rasulullah dan generasi shalih setelahnya merupakan panutan wajib yang harusnya menjadi tolak ukur kehidupan ideal seorang pemuda muslim.

Salah satunya adalah kisah tentang Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i atau Imam Syafi’i. Sejak kecil, beliau merupakan seorang yatim dan hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, namun hal itu tidak membuat kehidupan ilmiah dan tekad menuntut ilmu Imam Syafi’i menjadi pudar, sebaliknya Imam Syafi’i adalah seorang yang sangat giat dalam menuntu ilmu bahkan Imam Syafi’i harus menulis catatannya di potongan tulang dan dikumpulkan dalam karung. Hal tersebut mengambarkan betapa penuh keterbatasannya Imam Syafi’i di masa mudanya. Merenungi kisah Imam Syafi’i membuat sebuah pertanyaan muncul di benak saya, apa yang telah saya capai dalam kondisi yang serba berkecukupan seperti sekarang. Tidak perlu lagi menulis di potongan tulang untuk mencatat karena teknologi dan jumlah buku yang begitu mudah didapat serta “berserakannya” buku-buku berbobot di berbagai sudut kehidupan kampus membuat pertanyaan tersebut sangat menohok saya yang hidup di zaman yang serba mudah ini.

Jika dalam kondisi yang terbatas, Imam Syafi’i mampu menghafal kitab suci Al-Quran pada usia yang masih sangat belia, apa yang telah saya hafal di usia yang akan meninggalkan usia remaja ini?

Jika Imam Syafi’i mampu menjadi mufti dan mampu memberikan manfaat kepada umat di saat beliau belum baligh, apa yang telah saya lakukan untuk diri sendiri dan orang-orang sekitar dalam memberi manfaat?

Mungkin kita, pemuda muslim di zaman sekarang tidak akan mampu menyamai kekhusyuan, keikhlasan dan kebesaran Imam Syafi’i, namun setidaknya Imam Syafi’i pantas dan harusnya menjadi panutan serta contoh dalam menjadi muslim tangguh di zaman yang sering disebut zaman edan ini.

 

Pernah kuliah dan pecinta sastra klasik Rusia.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...