Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Pemilihan Pasangan Hidup (Pilpasdup): Langsung atau Tidak Langsung?

Pemilihan Pasangan Hidup (Pilpasdup): Langsung atau Tidak Langsung?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (arinarizkia.wordpress.com)
Ilustrasi. (arinarizkia.wordpress.com)

dakwatuna.com – Beberapa waktu anggota dewan negeri ini sempat tegang dan dalam atmosfir yang panas. Penyebabnya adalah pembahasan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung atau tidak langsung. Bahkan Bapak Presiden akhirnya mengeluarkan Perpu karena menurut beliau hasil rapat anggota dewan tidak sesuai kehendak rakyat. Masyarakat umum ada yang bingung bahkan ikut-ikutan panas hingga turun ke jalan, berdemo. Di tempat lain ada yang bingung karena memang tidak paham benar apa itu pemilihan langsung atau tidak langsung. Mereka bingung karena sidang anggota dewan yang sempat kacau balau dan merasa sepertinya dulu salah memilih anggota dewan.

Tidak mau kalah dengan anggota dewan di Senayan, sekelompok pemuda di suatu daerah sibuk bertukar pikiran mengenai langsung dan tidak langsung ini. Tetapi bukan tentang pilkada, melainkan tentang Pilpasdup alias Pemilihan Pasangan Hidup. Tema ini memang sangat sensitif bagi mereka yang berusia sekitar seperempat abad dan belum menikah.

Langsung tidak langsung dalam memilih pasangan hidup sebenarnya merupakan hal sederhana bagi orang umum. Tapi bagi mereka yang menyerahkan dirinya bergabung dalam jalan dakwah masalah ini menjadi rumit, berkaitan dengan rencana ke depan dan pandangan dari Sang Pembimbing Spiritual alias Murobbi. Ingin langsung, tapi tidak enakan karena biasanya yang langsung-langsung ini taarufnya tanpa izin. Semacam operasi bawah tanah. Ingin tidak langsung, minta bantuan Murobbi, tapi takut kalau yang dipilihkan tidak sesuai harapan, bahkan ada yang takut kalau yang dipilihkan bukan “Dia”.

Apa sih sebenarnya Langsung dan Tidak Langsung dalam Pilpasdup?

Seorang ustad terkenal pernah memberikan taujih menarik tentang memilih pasangan hidup. Beliau menyebutkan ada tiga cara yang bisa ditemui di lapangan mengenai Pilpasdup ini, yaitu dengan jempol, telunjuk, atau jari manis. Sudah terbayang siapa ustad terkenal yang dimaksud?

Yang pertama dengan Jempol, maksudnya adalah seorang ikhwan (di sini penulis memakai contoh “ikhwan”) yang ingin menikah menyerahkan seluruh prosesnya pada sang Murobbi. Percaya bahwa pilihan murobbi lebih baik daripada mencari sendiri karena telah melalui beberapa tahapan syuro antar ustad-ustad dan juga antar murobbi-murobbi. Cara jempol inilah yang penulis sebut dengan cara tidak langsung. Kira-kira di dalam percakapannya akan menjadi begini,

Ikhwan: “Ustad / Mas, saya ingin nikah dan sudah siap juga.”

Sang Murobbi: “ Alhamdulillah, udah ada calonnya belum?”

Ikhwan: “ Belum ada, Saya minta tolong dibantu prosesnya semua, ustad.”

Yang kedua dengan telunjuk. Ketika ada seorang akhwat yang menawan hati si Ikhwan, dan memang sudah waktunya melakukan Pilpasdup, maka Ikhwan itu akan meminta tolong sang Murobbi untuk membantu agar ia bisa menjadikan akhwat tadi sebagai pasangan hidupnya. Cara telunjuk ini yang penulis sebut sebagai semi langsung. Kira-kira percakapannya akan menjadi begini,

Ikhwan: “ Ustad / Mas, Saya ingin nikah dan sudah siap juga.”

Sang Murobbi: “Alhamdulillah, udah ada calonnya belum?”

Ikhwan: “ada Ustad, namanya si *****. Itu yang pake jilbab biru di pojokan sana orangnya.”

Yang ketiga dengan jari manis. Cara inilah cara yang penulis maksud dengan cara langsung. Dari calon hingga proses dilakukan oleh si Ikhwan tanpa lewat perantara sang murobbi. Kira-kira percakapannya akan menjadi begini.

Ikhwan: “Ustad / Mas, Saya ingin nikah dan sudah siap juga.”

Sang Murobbi: “ Alhamdulillah, udah calon belum?”

Ikhwan: “ada ustad, nih cincinnya (nunjukin jari manis yang ada cincinnya). Kemarin udah lamaran, ustad. InsyaAllah minggu depan akad nikahnya. Ini undangannya untuk ustad.”

Mana yang benar (baik) caranya Langsung atau Tidak Langsung?

Pilpasdup itu berkaitan dengan masalah hati, kecenderungan cinta. Maka tidak pantas rasanya menyebutkan kalau cara langsung itu benar (baik) dan tidak langsung itu salah, atau sebaliknya cara tidak langsung itu benar (baik) dan tidak langsung itu salah. Jika ada teman yang melakukan Pilpasdup dengan cara langsung atau semi langsung, mungkin itulah cara terbaiknya untuk mendapatkan pasangan. Tidak perlu dijauhi atau bahkan dikucilkan hingga dilarang ikut mengaji, seperti yang penulis dapatkan informasinya dari beberapa orang teman. Mari kita berpikir positif, berprasangka baik insya Allah prosesnya benar sesuai ajaran Islam.

Selama ini ada anggapan bahwa cara tidak langsung adalah cara yang paling baik dibandingkan dua cara lainnya. Padahal cara tidak langsung tujuannya untuk memberikan bantuan dalam proses pilpasdup saja. Cara tidak langsung ini membantu memberikan pertimbangan terkait jodoh yang cocok. Cocok secara visi rumah tangga, cocok secara pandangan hidup mengenai dakwah, dan cocok menurut kriteria yang diajukan atau kriteria sekufu lainnya. Ketika cara ini digunakan tak jarang ada yang bisa langsung tumbuh cinta pada pandangan pertama, ada juga yang cintanya tumbuh sejalan dengan proses berumah tangga, bahkan ada juga yang kandas di tengah jalan.

Seandainya memang ada seseorang lawan jenis yang disukai dan diri sudah siap menikah, maka cara langsung atau semi langsung bisa digunakan. Yang perlu diperhatikan adalah prosesnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Artinya memang karena serius untuk memasuki jenjang pernikahan tanpa perlu melewati masa penjajakan “pacaran”, tidak ada hubungan taaruf berdua-duaan sebelumnya, atau bahkan bukan karena Married By Accident. Selain itu juga memperhatikan proses komunikasi dengan orang tua dan juga sang Murobbi. Alasan-alasan menggunakan cara langsung atau semi tidak langsung diceritakan dengan detail sehingga orang tua dan murobbi bisa lebih memahami.

Kalau cara-cara tersebut sama baiknya, kenapa banyak yang merekomendasikan untuk menggunakan cara tidak langsung? Cara tidak langsung memang memiliki beberapa kelebihan. Pada masa awal-awal gerakan dakwah mulai tumbuh dulu, cara tidak langsung lebih sering digunakan, di antaranya karena saat itu interaksi ikhwan dan akhwat sangat terbatas, serta jumlah ikhwah yang memiliki kesamaan visi dakwah juga sedikit. Sehingga cara tidak langsung lebih sering digunakan.

Pada saat ini para aktivis dakwah sudah tumbuh banyak, lembaga-lembaga sebagai sarana dakwah juga banyak bermunculan. Interaksi lawan jenis pun semakin sering. Sehingga tak jarang ada aktivis dakwah yang tumbuh benih-benih cintanya ketika beraktivitas. Oleh karena itu perkara cinta menjadi lebih rumit dari sebelumnya.

Mengapa banyak yang merekomendasikan cara tidak langsung?

Ketika seorang ikhwan atau akhwat mulai timbul rasa suka atau cinta pada seseorang, maka hendaklah mencari tahu apakah rasa cinta itu muncul dari interaksi yang berlebihan atau karena menemukan kecocokan jodoh yang diinginkan pada dirinya. Jika rasa cinta itu muncul karena interaksi yang berlebihan, maka sebaiknya kembali menata diri. Boleh jadi hawa nafsu yang lebih menguasai diri pada saat itu.

Jika rasa cinta itu muncul karena karakter dirinya yang sesuai dengan yang diidamkan dan diri sendiri sudah siap menikah, maka silahkan lanjut pada proses menuju jenjang pernikahan. Cara langsung atau semi langsung bisa digunakan untuk kondisi seperti itu. Namun jika ternyata diri pribadi belum siap menikah, maka sebisa mungkin berusaha untuk menyimpan rasa cinta itu dan tidak memupuknya.

Cinta seperti yang dijelaskan dalam ilmu psikologi ditandai dengan adanya gairah dan keinginan untuk dekat atau intim dengan pasangan. Keadaan seperti ini yang sering muncul awal ketika kita mencintai seseorang. Penilaian terhadap lawan jenis yang disukai masih sebatas pada hal-hal yang menjadi daya tariknya. Kondisi ini seringkali menjadi masalah ketika dikemudian hari menikah dan ternyata daya tarik tersebut semakin berkurang atau tertutup dengan kekurangan-kekurangan pasangan.

Membangun rumah tangga bagi seorang muslim tidak hanya karena cinta semata. Cinta memang menjadi pilar utamanya, namun ada beberapa pilar lainnya yang membuat rumah tanggan seorang muslim itu berbeda. Pilar itu adalah kesamaan visi dalam berumah tangga. visi berumah tangga inilah yang sering kali terlupakan jika seorang ikhwah lebih mengutamakan cintanya. Boleh jadi juga ketika menggunakan cara langsung, visi berumah tangga ini tidak terbahas dengan mendalam.

Dalam ilmu psikologi komitmen merupakan tanda ketiga dan yang membuat cinta itu sempurna. Komitmen merupakan pengikat pasangan yang saling mencintai. Komitmen itu kuat ketika pilar visi dalam berumah tangga juga kuat. Ada baiknya sebelum lanjut pada jenjang pernikahan pikirkan kembali visi rumah tangga yang akan dibangun. Dalam membangun visi rumah tangga, nasihat Rasulullah SAW untuk mengutamakan agama dalam memilih pasangan sebelum hal lainnya adalah sangat tepat untuk dilaksanakan.

Cara tidak langsung lebih banyak mempertimbangkan visi rumah tangga. Hal inilah yang menyebabkan cara ini banyak direkomendasikan baik oleh murobbi atau aktivis dakwah lainnya. Jika memilih dengan cara tidak langsung dan menyerahkan prosesnya pada murobbi dan guru pembimbing spiritual lainnya maka mereka akan mempertimbangkan hal-hal yang menguatkan visi rumah tangga bagi kedua pasangan terlebih dahulu baru kemudian mempertimbangkan kemungkinan munculnya rasa cinta. Adapun rasa cinta tersebut dapat tumbuh berkembang dengan baik jika dirawat bersama. Kekuatan cinta akan timbul karena usaha untuk mewujudkan visi bersama dalam berumah tangga.

Belajar dari kisah cinta para sahabat

Banyak sekali kisah-kisah cinta para sahabat Rasulullah SAW terdahulu yang kesemuanya mengajarkan kita untuk mampu membangun cinta dan rumah tangga dengan baik. Ada kisah cinta Ali Ra dan Fatimah Ra yang ternyata keduanya telah saling mencintai dari kecil tetapi rasa cinta itu terjaga. Bahkan saking terjaganya disebutkan hanya Allah SWT saja yang mengetahui. Ali tidak mengetahu kalau Fatimah mencintanya juga dan sebaliknya Fatimah juga tidak mengetahui kalau Ali mencintainya. Kisah cinta keduanya mengajarkan pada kita untuk menjaga rasa cinta yang kita miliki, sehingga setanpun tidak mampu menggoda dengan hal tersebut. Cukuplah Allah yang memberikan jalan menuju pasangan hidup kita, karena pilihanNya tentulah yang terbaik.

Kisah tentang pernikahan Zaid Bin Haritsah Ra dengan Ummu Aiman Ra yang usianya sangat berbeda jauh menunjukkan bahwa keutamaan visi lebih penting daripada apa yang tampak. Bermula dari Sabda Rasulullah SAW,” Barangsiapa yang ingin menikahi seorang wanita ahli surga, maka nikahilah Ummu Aiman.” Zaid Bin Haritsah menjawab sabda Rasulullah SAW tersebut. Baginya visi surga yang disampaikan oleh Rasulullah sudah cukup menjadi alasan untuk dirinya menikahi Ummu Aiman. Dengan adanya visi untuk meraih surga dalam berumah tangga, gairah cinta keduanya hadir dan di kemudian hari tampak pada keturunan keduanya, Usamah Bin Zaid.

Kisah tentang Abu Darda Ra yang membantu sahabat karibnya Salman Al-Farisi untuk melamar seorang akhwat. Namun kenyataan akhwat yang dilamar lebih menolak pinangan dari Salman, dan memberi syarat bahwa ia akan menerima kalau yang melamar itu adalah Abu Darda. Salman pun bersemangat untuk melihat keduanya menikah. Mahar yang telah disiapkannya, diserahkan pada Abu Darda. Kisah ini menginspirasi kita bahwa cinta tak harus memiliki dan kita harus belajar berbesar hati ketika yang dicintai tak mampu dimiliki. Selain itu ada juga Kisah-kisah sahabat lain yang kesemuanya memberi pelajaran bagi kita tentang hakikat cinta dan cara mengelolanya dengan baik agar nantinya berbuah surga.

Penutup

Pilpasdup memang merupakan suatu tema yang menarik dibahas karena menyangkut masa depan. Apalagi ketika seorang ikhwah sedang menjalani prosesnya. Cara langsung atau tidak langsung, bahkan ada yang semi langsung adalah sama baiknya. Ketika banyak yang menyarankan menggunakan cara tidak langsung, hal itu dikarenakan untuk menjaga proses Pilpasdupnya dan membantu membangun rumah tangga berdasarkan visi dakwah atau visi meraih surga dengan rumah tangga. Yang perlu menjadi perhatian adalah, proses pilpasdupnya benar sesuai tuntunan syariat Islam.

Seorang muslim apalagi seorang aktivis dakwah hendaknya menjadi surga sebagai visi utama dalam membangun rumah tangga. Memilih pasanganpun juga mengedepankan kecantikan dari sisi agamanya terlebih dahulu, sebelum mempertimbangkan hal lainnya. Kita dapat belajar dari kisah cinta Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam upaya membangun rumah tangga yang penuh cinta dan keberkahan. Semoga tulisan ringan ini membeirkan banyak inspirasi bagi kita semua.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
pernah tinggal di Timor Leste, menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Padangpanjang SUmatra Barat, melanjutkan Studi S1 di Psikologi UGM. dan sekarang guru BK di SMA Ihsanul FIkri Kabupaten Magelang

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization