Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Obrolan Dalam Kamar Kos

Obrolan Dalam Kamar Kos

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (hazhzhy.wordpress.com)
Ilustrasi. (hazhzhy.wordpress.com)

dakwatuna.com –  Jam weker di samping tempat tidur berdering dengan kencangnya. Ia berusaha untuk meluarkan seluruh tenaganya dalam menjalankan suatu kewajiban hariannya, membangunkan si pemilik kosan. Tapi apa daya, mungkin inilah yang dinamakan ala bisa karena terbiasa. Meskipun suara dering jam masih bisa terdengar sampai radius 20 meter. Tidak mengubah sedikitpun posisi si penghuni kosan dari tempat pembaringan.

Kipas angin dengan setia memutar baling-balingnya membuat siapa saja bisa merasakan kesejukan di balik hawa gerah yang mendera kamar kos berukuran 3 x 3 meter ini. Sebuah meja kecil, berdiri sempoyongan di sudut kamar menahan layar kecil yang memiliki puluhan tombol berlabel huruf alfabet dan tombol spasi yang lebar. Serta tumpukan buku dan kertas yang entah mengapa berserakan di sana-sini tidak tertata.

Dan hari itu, ketika si pemilik kamar berangkat kuliah, meninggalkan kamar kos dalam keadaan lengang. Sebuah handphone yang tergeletak di dalam sebuah kasur mulai membuka mata. Menengok seluruh penjuru kamar dengan tatapan yang heran. Ada jam weker yang bermuka sedih, kipas yang terlihat kelelahan, buku-buku kuliah yang saling berargumen berebut tempat di meja, serta meja kecil yang keadaannya sudah membungkuk karena salah satu kakinya sudah mulai retak persis seperti kakek tua yang sudah tidak mampu lagi menopang tegak tubuh kurusnya.

Si handphone yang biasa dipanggil handy ini mencoba menyapa kawan lamanya, jam weker.

“Ada apakah gerangan jam weker kawanku? Mengapa kau menangis?”

Setelah lama menumpahkan segala isi di hati, maka munculah pada suatu kalimat kesimpulan yang dari tadi berusaha ia utarakan.

“Sepertinya saya sudah tidak lagi mampu menjaga tuanku dari bangun pagi-pagi, sepertinya sudah tidak ada lagi manfaatku di sini. Tiap pagi aku berteriak-teriak, namun tuan menggubrisnya pun tidak, bahkan ketika tuan terbangun. Dia langsung tega ‘membunuhku’ dan kembali ke tempat pembaringan. Hingga ia sering terlambat dalam mencari karunia Tuhannya. Si Tuan berubah sejak dia menyukai ‘seseorang”.

Dia mengucapkan semua kalimat itu dengan suara terisak. Handy hanya bisa menaruh simpati kepada kawan lamanya itu. Memang Handy bisa apa? Kemudian ia memilih untuk menyapa teman yang lain.

Rasa penasaran itu muncul kembali ketika melihat kipas angin yang merasa kelelahan. Ketika ditanya mengapa si kipas nampak kelelahan si Kipas hanya menjawab dengan nada agak kecewa.

“Saya merasa kelelahan akibat si tuan kita, si pemilik kamar sering menghidupkan saya dan lupa mematikannya ketika sudah tidak diperlukan. Bayangkan saja Han, ketika kau bekerja keras namun kerja keras kita tidak mendatangkan manfaat baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Sia-sia, aku hanya memutar baling-balingku untuk suatu kamar kosong belaka.”

Sungguh wajah si kipas sekarang terlihat sendu saat meluapkan emosinya meski tetap memancarkan kesan kuat untuk bekerja selamanya.

Buku-buku itu juga menangis menahan kerinduan dengan keluarganya. Si Tuan kosan tega memisahkan ‘anggota keluarga buku’ itu dengan membiarkan mereka berserakan, terpisah satu sama lain. Bahkan tak jarang. Si Bapak Buku dilempar begitu saja karena tuan berusaha meraih ‘seseorang’ yang telah memanggilnya.

Begitu seterusnya dan seterusnya kesedihan datang dari seluruh perabotan kosan. Namun, ada satu benda yang di dalam kosan yang penampilannya bisa di bilang paling mengenaskan dibanding yang lainnya.

Si Handy mendekati penghuni terakhir kosan yang sejak dari tadi diam tergugu di dalam lemari. Ia memiliki coretan yang menarik serta terdapat sebuah pita tipis sebagai pembatas untuk tuannya. Beliau biasa di sapa dengan Al-Quran.

Suara tangis yang sejak dari tadi tertahan akhirnya meledak juga. Menyisakan sebuah kesedihan bagi siapapun yang bisa mendengarnya. Bahkan karena tangisannya itu, keluarga buku, si kipas dan jam weker ikut menangis sejadi-jadinya.

‘Dulu aku paling sering di jamah ketika tuanku masih kecil, ketika tuan sudah besar, aku disimpan dalam lemari dan mulai jarang lagi dibaca kembali. Hingga seluruh tubuhku yang dulunya bersih bercahaya mulai tampak kusam. Apalagi sejak si tuan mulai mencintai ‘seseorang’. Aku jadi tidak pernah disentuh tuanku sedetik waktu pun juga. Atau mungkin, tuanku sekarang sudah lupa kapan terakhir perjumpaan mesra antara kita terlaksana. Aku begitu rindu, ketika dulu tuan berusaha mengeja diriku dengan terbata bata. Aku tidak keberatan dibaca terbata-bata seperti itu selama tuan masih berkenan untuk menjadikanku sebagi teman setianya. Sehingga aku memiliki alasan yang kuat untuk membelanya di hari kelak. Aku bisa dengan bangga mengatakan kepada Tuhan, “Tuhan, Tuanku adalah orang yang selalu menemaniku, maka izinkanlah aku menemani dirinya di surga.” Dan sekarang….. Dan sekarang….. Aku hanya tergeletak, berdebu, dan sama sekali tidak pernah dijamah olehnya. Atau mungkin tuan kita sudah lupa kalau aku ini ada. Ohhhh, kalian semua. Adakah yang lebih menyakitkan ketika kita berada di suatu tempat, namun sama sekali kita tidak dianggap ada? Bahkan di sapa pun tidak, adakah yang lebih menyakitkan dari itu?’

Maka, semua buku, Si kipas, jam weker dan “penghuni” kamar kos yang lain ikut menangis sejadi-jadinya. Mereka tak sanggup membayangkan apa yang dirasakan oleh Al-Quran.

Demi melihat kesedihan itu, tak sengaja air mata Handy berlinang. Dalam hatinya sekarang timbul kemarahan yang teramat sangat kepada ‘seseorang’ itu yang telah membuat teman-temannya mengalami kesedihan seperti itu.

‘Wahai kawan, siapakah ‘seseorang’ itu?’ tanya Handy dengan uap muncul dari atas kepalanya. Namun, bukannya nama yang diberikan. Teman-temannya justru menyuruh Handy menemui Si Pak Tua kaca, karena mereka bilang, Handy akan menemui ‘seseorang’ itu nantinya.

Dia telah berdiri tepat di depan ‘Pak Tua’, ‘Pak Tua Kaca, siapakah ‘seseorang’ itu Pak Tua?’. Pak Tua yang terkenal bijak memberikan petunjuk bahwa ‘seseorang’ itu tepat berada di depan Handy.

“Maksud Pak Tua, orang itu adalah Pak Tua Kaca” Ia hanya menggelengkan kepala dengan perlahan. “Cobalah lihat lebih dalam dan lebih jelas nak. Dia sedang memandangmu dengan tatapan yang sama marahnya denganmu. Dia memandangmu seperti kamu memandang dia..”

Si Handy kaget bukan main dan seketika tertunduk lemas sambil menahan rasa sedih yang tak terbilang. Ia merasa bersalah terhadap teman-teman di kamar kos tersebut. Tepat di depannya nampak sosok yang ia sangat mengenalnya. Tidak lain dan tidak salah lagi. ‘seseorang’ yang dicintai tuan kamar itu adalah dirinya sendiri, Handy.

Dalam tangis laranya, bayangan masa lalu seakan saling berebut untuk membantu Handy mengenang apa yang telah dilewatinya.

Jam weker itu sudah tidak mampu lagi karena tuannya terlalu sibuk bercengkerama dengan Handy sampai larut malam. Hingga bangun pagi menjadi hal sulit bagi Tuan Kamar. Jadilah Jam Weker ‘dikacangi” saja. Si Kipas merasa kelelahan karena Tuan Kamar lupa mengistirahatkannya yang sedang asyik berduaan dengan si Handy di tangan. Meninggalkan kamar kos sambil senyam senyum ‘memijat-mijat’ Handy, jadilah Si Kipas ditinggalkan. Keluarga buku terpisah dan dibuang begitu saja karena si pemilik sibuk menghubungkan Handy dengan teman-teman tuannya di seberang sana.

Dan Al-Quran sudah menghilang dari ingatan tuan karena yang ada di pikiran tuannya hanyalah panggilan dan penantian ‘pesan’ dari Handy.

Bahkan ketika sehabis shalat dan Handy memanggil, Tuan Kamar langsung melemparkan sajadah dan meraih Handy dengan segera.

Handy ada di manapun Tuan Kamar berada. Handy telah menjadi ‘kekasih’ tuannya sekarang.

Sayang, si Handy tidak akan pernah bisa ‘menikah’ meski selalu menempel dalam hari dan hati si pemilik kosan.

Hari itu, Handy menangis sejadi-jadinya dengan diiringi rintikan hujan di balik jendela.

Adakah yang lebih menyakitkan dibanding mengetahui diri kita sendirilah yang ternyata menjadi penyebab tersakitinya orang-orang tersayang di sekitar kita?

Terdengar suara kamar di buka, Tuan Kamar memutar arah kembali ke Kamar Kos untuk mengambil Handy yang tadi tertinggal ketika berangkat kuliah.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang pemuda desa yang sedang menuntut ilmu di Tanah Jogja.

Lihat Juga

Aplikasi Ini Bantu Orang Tua Monitor Aktivitas Ponsel Anak

Figure
Organization