Islam dan Perspektif Psikologi dalam Menjelaskan Harapan

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sore itu, seorang lelaki berwajah kusut, duduk tersandar di kursi penantian ruang operasi. Dari raut wajahnya, terlihat sekali dia sedang tegang. Sambil meremas-remas kedua pahanya dengan tangan, dia tak berhenti menatap pintu ruang operasi yang berada tiga meter di depannya.

Gelap saja pemandangan si lelaki itu, tanpa orang tua yang menemaninya, tanpa teman yang ikut mendukungnya, si lelaki menghadapi penantian diambang kekhawatiran sendirian. Sudah setengah jam sejak dia melepas istrinya yang didorong oleh perawat masuk ke ruang operasi, suara tangisan bayi pertanda kebahagiaan keluarganya tak kunjung jua terdengar. Si lelaki semakin gelisah, dia mencoba berdiri dari kursinya dan berjalan beberapa petak keramik menuju pintu ruang operasi. Namun langkahnya terhenti, dia mundur dan kembali duduk.

Sore itu, istrinya mengalami pendarahan mendadak dan harus dioperasi, kalau tidak nyawa ibu dan bayi terancam tak terselamatkan. Sudah dua jam si lelaki menunggu di depan ruang operasi, namun dokter tak jua keluar memberikan kabar dari dalam. Si lelaki terlihat bertambah kusut, kakinya semakin lincah mondar-mandir di sepanjang pelataran ruang tunggu. Sekali, dua kali, si lelaki mengacak rambutnya sambil meremas kepala, lalu duduk dan kembali mondar-mandir. Begitu selalu selama satu jam terakhir.

Tidak lama kemudian, seorang dokter cantik muncul dari balik pintu operasi. Wajah Indocinanya penuh dengan raut kebahagiaan. Berjalan pasti, sang dokter menghampiri si lelaki.

“Sore ini, anda telah resmi menjadi seorang ayah dari putri kecil anda yang cantik.” Sang dokter membuka percakapan.

“Lalu bagaimana dengan ibunya, dokter?” si lelaki tak sabar ingin tahu.

“Ibunya baik-baik saja. Anda tidak perlu khawatir, Tuhan melindungi mereka berdua” sang dokter menjawab sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan si lelaki itu.

Barulah, si lelaki itu bisa tersenyum untuk dirinya sendiri setelah selama dua jam terakhir, jangankan untuk tersenyum, menelan ludah pun dia tak mampu.

Dan lirih, si ayah baru itu berucap “Alhamdulillah”, sambil mendekap kedua tangannya ke mukanya.

***

Peristiwa pada ilustrasi tersebut merupakan peristiwa yang pernah dialami sebagian orang di belahan dunia ini. Setelah menguatkan komitmen dalam hidup berumah tangga, maka akan ada kehidupan baru yang Allah SWT titipkan kepada mereka, yakni kelahiran anak-anak mereka.

Jangan ditanya betapa cemasnya ayah kita ketika menunggu kita meneriakkan tangisan pertama kita, jangan ditanya betapa khawatirnya ibu kita ketika menghadapi detik lahirnya kita ke dunia. Jangan ditanya betapa bahagianya mereka ketika memastikan bahwa kita, anak mereka, telah lahir dengan selamat, dan jangan ditanya betapa indahnya harapan yang mereka gantung di langit-langit masa depan untuk kita selama sembilan bulan kita dalam kandungan.

Cerita singkat yang mengawali pembahasan kita pada bagian ini memberikan cerminan tentang bagaimana dahsyatnya kekuatan harapan. Karena harapan yang dipendamnya, seorang ibu melewati detik-detik melahirkan dengan senyum, berharap kelak buah hatinya menjadi anak yang berguna. Karena harapan yang digenggamnya, seorang ayah sungguh sangat merasa cemas, takut, bercampur gelisah menanti berita kelahiran buah hatinya, berharap si anak kelak menjadi manusia yang berbakti.

Terlepas dari ilustrasi tersebut, maka coba kembali kita lihat jalur hidup yang telah Allah SWT anugerahkan untuk kita. Mungkin selama kita bernapas ada banyak harapan yang kita gantung dilangit-langit mimpi, dengan segala daya dan upaya kita berusaha untuk mewujudkannya, dan menjadikan harapan itu sebagai motivasi dalam melangkah.

Memang harapan adalah sesuatu yang abstrak, ia terlahir dari keinginan untuk menjadi lebih baik atau memiliki kehidupan yang lebih baik, namun bukan berarti keabstrakkan itu menjadi sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.

Lihat saja perasaan. Di bumi ini, manusia belahan mana yang tidak punya perasaan? Tentu semua orang memiliki rasa dan perasaan, ada sanubari yang menilai tentang indah atau tidak indahnya sesuatu, ada qalbu yang memberi sinyal tentang baik atau tidak baiknya sesuatu, dan ada nurani yang memberi arah tentang lurus dan tidak lurusnya sesuatu. Lalu apakah sanubari, qalbu, dan nurani itu sesuatu yang dapat dilihat? Apakah mereka bagian dari fisiologisnya manusia? Tentu saja tidak, bongkar saja tubuh seseorang, maka kita tidak akan mendapati benda-benda itu dalam bentuk organ. Kita tidak akan menemukannya dalam aliran darah, dan meski kita telah memakai alat-alat canggih untuk mendeteksinya, niscaya kita tidak akan menemukan mereka.

Lalu di manakah mereka? Apakah mereka benar-benar ada? Tentu saja mereka ada. Mereka ada dalam diri kita, secara psikologis akan sangat masuk akal untuk dijelaskan. Karena merasakan perasaan orang lain, memberikan makna untuk kehidupan, memperindah persahabatan dengan pengertian adalah wujud dari manifestasi keberdaan sanubari, qalbu, dan nurani dalam diri kita. Maka seperti itu pulalah harapan. Menjadi sesuatu yang tidak terlihat bukan berarti ia tidak ada, menjadi sesuatu yang sulit untuk diterjemahkan bukan berarti ia tidak dapat dirasa, dan menjadi sesuatu yang abstrak bukan berarti dia tidak bisa untuk diwujudkan.

Setiap manusia yang bernapas memiliki harapan dalam hidupnya. Karena dengan harapan orang akan merasakan semangat untuk menapaki jalan hidupnya. Dengan harapan, orang yang sakit akan memiliki kekuatan untuk mencari jalan menyembuhkan penyakitnya. Dengan adanya harapan, orang yang ditimpa musibah akan bangkit dari keterpurukannya dan mulai membangun hidup dalam episode baru. Dengan harapan, orang yang punya keinginan untuk menjadi manusia berarti akan terus giat memanfaatkan waktu agar bisa memberi makna pada banyak orang.

Lumrah bila kita tidak pernah bisa lepas dari harapan, setiap kegiatan yang dilakukan tujuan akhirnya adalah untuk mencapai apa yang diharapkan. Para pelajar misalnya, mereka rajin menuntut ilmu demi harapannya agar cita-citanya tercapai. Para petani misalnya, mereka semangat pergi ke sawah dan ladang dari pagi hingga petang demi harapannya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Satu hal penting yang harus disadari adalah bahwa harapan tidak sama dengan khayalan. Secara wujud, harapan dan khayalan mungkin tidak jauh berbeda, karena keduanya merupakan bentuk dari ekspektasi masa depan, namun secara content, keduanya jelas amat berbeda. Harapan biasanya hadir sebagai motivasi yang membuat orang lebih giat dan bersemangat untuk mencapai apa yang diinginkannya, sedangkan khayalan adalah wujud dari ketidakberdayaan mencapai apa yang diharapkan dalam dunia nyata sehingga hasilnya orang akan cenderung untuk berandai dan berkhayal.

Islam sendiri telah lama mengisyaratkan bahwa setiap niat dan perbuatan yang dilakukan hendaklah sesuai dangan apa yang diperintahkan Allah SWT. Bahkan kita, dalam berbuat suatu hal diajarkan untuk membangun harapan, agar tujuan hidup menjadi lebih jelas dan terarah. Jika kita balik sejarah para Nabi dan Rasul, maka di dalam kisah-kisah itu kita akan dapati pelajaran penting, yakni setiap perbuatan itu dilakukan semata-mata hanya untuk mengharpakan ridha Allah SWT. Dengan mengharapkan ridha Allah, maka sudah jelas perbuatan yang akan kita lakukan adalah perbuatan yang benar-benar Allah perintahkan, tentu saja mengerjakannya dengan landasan ilmu dan pemahaman akan ilmu itu.

Mahasiswi Psikologi Unand. Ingin menjadi penulis inspiratif. Saat ini sedang menggarap satu buku nonfiksi bergenre psikologi, dan 2 novel.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...