Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Hilang di Pesta

Hilang di Pesta

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Matahari masih malu untuk menampakan dirinya, dan bulir-bulir embun pagi masih melekat pada ujung-ujung daun ketika sebuah sepeda onthel tua melaju perlahan dari ujung jalan desa. Sesekali terdengar suara berderik, dan roda yang memantul karena menggilas kerikil, ataupun rantai yang lupa diberi pelumas. Seorang pria separuh baya berada di atasnya. Dengan tenang ia mengayuh pedal sepeda. Sesekali ia mengangguk dan tersenyum ketika berpapasan dengan warga. Warga memanggilnya Lurah Darso. Lurah yang menang telak dalam pemilihan lurah lima tahun lalu.

Pagi ini ia tak mengenakan seragam dinasnya. Motor dinasnya pun ia tinggalkan di garasi rumah. Ia memilih mengendarai sepeda othel tua bernilai puluhan juta warisan orang tuanya yang juga seorang lurah di masa sebelumnya.

Keluarga Lurah Darso memang keluarga Lurah, dan mereka adalah generasi mutlak yang tak pernah terputus mata rantainya sebagai pemimpin desa. Dimulai ketika Indonesia masih menjadi jajahan Belanda, kakek buyut Lurah Darso sudah ditetapkan sebagai Lurah karena ia adalah seorang priyayi yang berkompromi dengan Belanda. Paling tidak hal itu membuat desa mereka tidak dibumi hanguskan. Hingga akhirnya Darso maju pada pemilihan yang disyaratkan pemerintah NKRI untuk mengangkat kepala desa.

Meski mengendarai sepeda dengan tenang, sebenarnya ada yang berkecambuk di dalam otaknya. Senyum yang ia berikan pun hanya senyum ramah tamah yang sudah ia pelajari sejak kecil sebagai keluarga Lurah. Ia memikirkan perkataan Li’in tadi malam.

“Ranu punya banyak pendukung, Pak. Saya lihat sendiri, banyak orang tertawa-tawa di rumahnya tadi siang. Nampaknya mereka sedang pesta. Ranu menggelar pesta untuk mereka.” Li’in, kaki tangan Lurah Darso memberi laporan.

“Kamu yakin? Bagaimana bisa? Turun temurun mereka percaya keluarga Solonjoyo sebagai lurah.” Lurah Darso tak percaya.

“Sekarang jamannya sudah berubah, Pak Lurah,” kata Li’in seraya tersenyum ganjil.

“Berbeda bagaimana? Apa mereka meragukan kejujuran keluarga Solonjoyo? Mereka meragukan saya?”

“Bukan masalah meragukan, Pak Lurah. Sekarang ini yang berkuasa,” kata Li’in seraya menggesek jari telunjuk dan jempolnya.

“Duit? Bah, bagaimana bisa?” Lurah Darso Masih tak percaya. Keluarganya lima generasi turun temurun dipercaya sebagai lurah desa karena mereka keluarga yang jujur dan mengayomi rakyat. Tak mungkin hanya demi uang warga berpaling dari mereka.

“Benar, Pak Lurah. Ranu memberikan amplop.” Bono, pemuda pemimpin Karang Taruna angkat bicara. “Bahkan pemuda sekarang lebih senang membicarakan Ranu daripada Pak Lurah. Saya khawatir posisi Pak Lurah sebagai Lurah tahun depan akan terancam,”

“Tak mungkin!” Lurah Darso nampak gusar. Mendengar tampuk kekuasaannya akan berpindah tangan membuatnya amat muntab.

“Tenang Pak, eling. Istigfar,” Bu Lurah yang duduk di samping Lurah Darso berusaha menenangkan suaminya.

“Bah! Bagaimana mungkin mereka dibeli dengan uang begitu mudah? Gila, ini Gila!” Lurah Darso benar-benar muntab. Pikirannya bertarung sendiri memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Nasehat istrinya tidak ia gubris.

Seluruh warga desa tahu, dan Lurah Darso pun teramat tahu siapa Ranu itu. Ranu adalah seorang pengusaha yang terbilang sukses. Dua puluh tahun lalu ia meninggalkan desa untuk merantau di pulau seberang, dan ketika kembali dua tahun lalu ia membawa kekayaan yang membuat warga berdecak kagum.

Ranu membangun rumah peninggalan orang tuanya menjadi rumah termegah di desa. Bahkan mungkin di kecamatan. Beberapa mobil mewah dan dua truk serta satu bus tanggung mengisi garasi rumahnya yang luas. Kekayaannya tak diragukan lagi. Uang pasti menumpuk tinggi di brankas rumahnya. Lurah Darso tahu betul itu, dan ia merasa kalah telak.

Meski keluarganya adalah keluarga lurah lima generasi namun tak membuat keluarga Lurah Darso kaya raya. Apalagi semenjak usaha pabrik tebu keluarga mereka mengalami kebangkrutan sejak Belanda meninggalkan Indonesia. Keluarga Lurah Darso tak memiliki apa-apa kecuali kepercayaan warga, dan kini kepercayaan itu dapat terbeli. Lurah Darso putus asa.

Tiiiiiiiiit!!

Sebuah klakson sepeda motor memecah konsentrasi Lurah Darso. Li’in yang mengendarai sepeda motor mensejajari laju sepeda Lurah Darso.

“Pak Lurah! Ada yang mencari Pak Lurah. Penting,” kata Li’in berlomba dengan suara mesin motor.

**

“Kami harap, Bapak mau membantu.” Seorang pria berpakaian rapi, berminyak rambut dan berparfum menyodorkan sebuah amplop ke hadapan Lurah Darso. Pria itulah tamu yang dikatakan Li’in. Seorang pengusaha kaya dari kecamatan.

“Tapi, saya khawatir dengan warga di sekitarnya,” kata Lurah Darso. Matanya tak beralih dari amplop coklat yang tergeletak manis di meja. Beberapa inci dari tangannya.

“Itu tidak usah di khawatirkan, Pak Lurah. Coba pikirkan, jika kita melakukan penambangan di bukit gamping itu, warga juga bisa untung. Beberapa warga bisa membangun warung di sana. Warga juga bisa jadi pekerja panggul, atau kalau dibutuhkan bisa juga jadi mandor. Bagaimana dengan Kang Li’in,” Pria itu menatap Li’in dengan sebuah senyum yang gagal di tangkap Pak Lurah.

“Bagaimana dengan warga di kaki bukit? Mereka pasti tak mau digusur.” Lurah Darso masih ragu.

“Tidak usah digusur. Saya sudah melakukan pemantauan. Kita bisa mulai dari sisi Barat. Di sana tidak ada pemukiman warga. Lagipula, saya dengar Bapak butuh dana untuk memenangkan pemilihan lurah dua bulan lagi. Saya akan bantu. Berapa pun yang Bapak minta,” kata pria itu meyakinkan.

Lurah Darso tak bergeming. Otaknya dipenuhi pilihan-pilihan yang mungkin ia ambil. Tak mungkin ia menyerahkan dampuk kepemimpinan itu begitu saja. Keluarganya lima generasi adalah lurah, jika ia kalah sekarang maka ia akan memutuskan rantai itu dan generasi lurah sepanjang masa hanya akan menjadi sejarah. Namun di sisi lain ia juga khawatir tentang bukit yang terletak di belakang desa. Selama ini bukit itu itu tak menyebabkan masalah karena memang tak pernah ada yang mengusiknya.

“Baiklah, silahkan Bapak pikirkan dulu. Saya sudah menyerahkan nomor HP saya pada Li’in. Jika sudah ada keputusan, silahkan Bapak menghubungi saya,” kata Pria itu demi melihat kebimbangan di wajah pak Lurah. Ia melirik Li’in, memberikan perintah kasat mata. Li’in mengangguk pelan.

**

“Bagus, Pak Lurah. Di warung-warung sekarang mereka memuji kemurahan Pak Lurah,” kata Li’in memberi laporan.

“Benar katamu itu?” Lurah Darso memastikan.

“Beneran Pak Lurah. Saya berani jamin, Pak Lurah pasti menang lagi,” kata Li’in seraya tersenyum meyakinkan.

“Oke. Saya percaya sama kamu.”

Hening. Lurah Darso berpikir sejenak. “Bagaimana dengan penambangan gamping di bukit? Aku dengar kau sudah jadi mandor. Baguslah kamu tidak lupa menolongku.”

“Aman Pak Lurah. Kekhawatiran pak lurah tidak terjadi. Di sana aman terkendali,”

“Baguslah,” akhirnya Lurah Darso dapat tersenyum setelah lebih dari sebulan ia menahan ketegangan. Takut-takut jalan yang dipilihnya salah. Sampai-sampai kerut di wajah lelaki berusia 50 tahun itu semakin nampak jelas. Tapi ia bisa melepaskan bebannya sekarang. Semua baik-baik saja. Pikirnya.

**

“Memang tak apa jika kita menang seperti ini, Pak?” Istri Lurah Darso mengekor suaminya yang siap-siap pergi ke tempat pemilihan umum. Hari ini hari besar yang ditunggu. Pemilihan lurah akhirnya tiba. Waktunya penentuan. Lurah Darso yakin ia tak akan kalah dari Ranu.

“Memang kenapa, Bu? Memang apa yang salah jika kita menang?” Lurah Darso menjawab pertanyaan isrinya dengan tenang.

“Itu loh Pak. Soal uang yang dibagikan tadi malam, apa tidak apa-apa?” Kata-kata istrinya menghentikan langkah Lurah Darso. Ia berbalik arah dan memandang istrinya.

“Soal tadi malam tidak usah diungkit, Bu. Biar kita menang, lalu sudah. Saya jadi lurah, ibu jadi Ibu lurah, dan kelak Rendro, anak pertama kita akan menggantikan ayahnya menjadi Lurah,” kata Lurah Darso tegas.

Istri Lurah Darso yang terbiasa patuh pada suaminya hanya bisa bungkam meski ia ingin sekali menyampaikan banyak keluhan. Terutama tentang kabar tambang gamping di bukit. Tapi bukan saja istri Lurah Darso saja yang memikirkan semua itu. Lurah Darso pun sudah mendengarnya, namun kali ini ia meyakinkan dirinya untuk tidak peduli sebentar saja. Jika semuanya telah usai, ia akan menanganinya. Jika ia terpilih menjadi lurah lagi semua akan beres.

**

“Darso, sah?”

“Sah.”

“Darso, sah?”

“Sah.”

Suara penghitung suara dan saksi saling bersahutan di aula kelurahan, tak terpengaruh oleh hujan yang turun di luar. Beberapa penduduk berkumpul mengeliling. Turut menghitung. Penghitungan telah berlangsung sejak sejam yang lalu dan perhitungan suara telah mencapai sepertiga dari jumlah seluruh surat suara. Darso unggul. Itulah yang nampak di papan tulis penghitungan suara. Meski tidak terlalu telak, namun itu menenangkan hati pria yang duduk di pojok ruangan. Semuanya akan baik-baik saja. Gumamnya.

**

“Selamat Pak Darso, semoga desa ini dapat lebih maju lagi dengan kembali terpilihnya Bapak.” Ranu menyalami Pak Darso seusai penghitungan suara. Pak Darso Unggul lima puluh enam suara dari keseluruhan pemilih 589 pemilih.

Pak Darso tersenyum membalas ucapan selamat Ranu yang dengan legowo mengakui kekalahannya. Beberapa orang kemudian menyusul memberikannya selamat.

“Jangan lupa pesta setelah ini ya, Pak,” kata seorang warga yang disambut gelak tawa orang-orang di sekitar Lurah Darso, termasuk lurah Darso sendiri. Ia tertawa puas.

“Bukit longsor, banyak rumah tertimbun!” teriak seseorang tiba-tiba, memecah keramaian.

Orang yang membawa kabar itu langsung dikerubungi. Ia basah kuyup. Bibirnya gemetar, biru. Beberapa orang langsung membawanya masuk, beberapa orang yang lain meninggalkan kelurahan, berlari menuju bukit.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” seseorang mencoba menanyai orang itu lagi.

“Semua rata. Semua. Bukit itu ambruk, hancur, semua hancur,” kata pria itu dengan wajah yang nampak begitu syok. Ia seperti baru saja melihat malaikat maut di depannya.

Terjadi kepanikan luar biasa. Orang-orang yang pertama berlari adalah penduduk yang rumahnya terletak di dekat bukit. Mereka teringat anak istri yang mereka tinggal di rumah. Seribu bayangan tentang kematian menguasai pemikiran mereka. Mereka tak lagi peduli dengan hujan yang teramat deras, serta sendal yang tak sempat mereka kenakan atau batu tajam yang mereka langkahi. Mereka lari secepat mungkin, berharap keluarga mereka selamat.

“Pak Lurah, bagaimana ini? Bagaimana jika ada warga yang meninggal?” Li’in nampak begitu panik. Ia gamang antara ikut berlari atau tetap tingal menemani pak lurah yang kini diam mematung dan kemudian jatuh terduduk di kursinya.

Wajah pak lurah pucat pasi. Bayangan-bayangan tentang mayat-mayat tertimbun berkelebat di otaknya. Wajah orang tuanya yang sudah meninggal pun turut menyesaki ruang pikirnya. Kemarahan mereka yang tak tertahan padanya, jerit anak-anak yang kesakitan, tangis ibu yang kesulitan, dan laki-laki yang meratap ditinggal anak dan istrinya semua bagai slide yang berputar berkali-kali.

Akhirnya ia melihat dirinya sendiri. Dirinya yang mengenakan seragam dinas dengan pin garuda di dadanya. Ia nampak gagah, meski senja telah memasuki usianya. Tapi beberapa saat kemudian bayangan itu berubah. Ia tak mengenali bayangan itu, meski ia tahu itu adalah bayangannya sendiri. Ia menghilang. Dirinya menghilang, dalam raganya yang kemudian ambruk tak sadarkan diri.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Jie Pelangi adalah nama pena dari Mujiatun. Jie kini terdaftar sebagai mahasiswi pendidikan Geografi UNY dan tercatat sebagai anggota aktif FLP Yogyakarta.

Lihat Juga

Tak Ada Pesta Tahun Baru di Surabaya, Hanya Ada Doa Bersama

Figure
Organization