Topic
Home / Berita / Wawancara / Jimly: Emangnya Ketua MA nggak Bodoh?

Jimly: Emangnya Ketua MA nggak Bodoh?

Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Assidiqie. (rimanews)
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Assidiqie. (rimanews)

dakwatuna.com – Jakarta. dr. Bambang Suprapto dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA). Bambang dinilai melanggar Undang-Undang (UU) Praktik Kedokteran. Bambang dijerat dengan pasal 76 dan 79 huruf c UU Praktik Kedokteran. Padahal seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ancaman pidana penjaranya pada 19 Juni 2007. Duduk sebagai ketua majelis kasasi Dr Artidjo Alkostar dengan anggota Prof Dr Surya Jaya dan Dr Andi Samsan Nganro.

Lalu apa kata mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie atas putusan yang dijatuhkan oleh Artidjo, ketua majelis kasasi yang juga pernah menjatuhi tambahan sanksi untuk LHI itu?

Berikut wawancara detikcom dengan Jimly, Jumat (26/9/2014):

Soal hakim yang menggunakan pasal yang sudah dihapus MK, misal kasus dr Bambang, bagaimana menurut Bapak?

Ya hakimnya bodoh. Kalau hakimnya bodoh ndak nyalahin MK.

Tapi Pak, salah satunya Pak Artidjo?

Ya kalau hakimnya bodoh, masa nyalahin MK. Emangnya Artidjo pasti baik? Emangnya dia nggak bodoh juga? Ya hakimnya harus belajar. Hakimnya tidak boleh tidak mengikuti perkembangan. Setiap kali UU diubah, tiap kali UU ditetapkan dia harus tahu. Orang awam saja dianggap tahu hukum. Masa hakim, apalagi hakim agung, bodoh sekali.

Masa dia hanya menikmati pujian hanya gara-gara menambah hukuman bagi koruptor, tapi yang begini dia nggak peduli. Seorang hakim agung tidak benar dia tidak tahu.

Orang awam saja tidak bisa dibebaskan hanya karena dia tidak tahu (UU-red). Apalagi hakim agung. Tolol hakim agung seperti itu. Kamu tulis saja di detikcom. Hakim tolol. Hakim agung, ya nggak agung kalau begitu. Masa ada hakim agung yang nggak mengerti perkembangan hukum. Hakim itu menjalankan UU, tidak boleh bodoh. Masa ada yang tidak tahu undang-undang.

Bisa diperjelas Pak?

Misal menggunakan UU yang sudah dicabut. (Lalu hakimnya beralasan) ‘nggak, saya independen kok’. Lho masa begitu. Itu bukan independen, bodoh itu namanya. Jadi putusan seperti itu jadi objektiva, bisa dibatalkan. Jadi putusan yang keliru, Jadi keliru dalam menerapkan norma itu menjadi alasan untuk PK. Tidak profesional. Bisa dikenakan kode etik itu.

Apakah KY harus menindaklanjuti?

Oh harus ada laporan. Jadi itu tidak boleh dibiarkan. Kelasnya itu kelas hakim agung, tidak boleh. Jadi saran saya, pihak-pihak yang merasa dirugikan harus melaporkan itu ke KY. Kalau orang awam, bodoh itu boleh, bukan dosa, bukan jahat. Tapi kalau orang yang menjalankan fungsi negara, menjalankan kekuasaan negara, itu bahaya. Bisa merugikan warga negara, bisa merugikan banyak orang. Maka tidak boleh dibiarkan.

Dengan dihapusnya pasal ancaman pidana penjara, maka pasal 76 berbunyi:

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.

Adapun pasal 79 huruf c menjadi berbunyi:

Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 50 juta setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. (detik/abr/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang suami dan ayah

Lihat Juga

MK, Sosial Media dan Etalase Demokrasi

Figure
Organization