Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Langit

Langit

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Di penghujung musim kemarau, hujan gerimis jatuh perlahan. Membasahi jalan-jalan beraspal yang penuh debu menyesakkan nafas. Memberikan harapan, pada jejak-jejak yang ingin menghilang, dan pada rumput-rumput yang telah meranggas. Kehidupan baru untuk benih-benih yang terlanjur tersebar. Seluruh alam menyeru kegembiraan. Sang pemberi kehidupan bermurah hati mengakhiri musim kering mereka. Sore yang indah, sore yang basah dengan pengharapan.

Aku melangkahkan kaki menyusuri jalan desa yang belum beraspal. Air hujan bercampur lumpur sesekali mengenai bajuku, memberikan noda coklat yang cukup banyak pada rok putih panjang yang aku kenakan. Kenapa aku harus memakai rok putih hari ini? Aku hanya bisa mendesah perlahan. Nanti noda ini akan bisa dicuci, meski susah payah.

Aku tengah memainkan payung ketika dari kelokan yang terletak di ujung jalan, dari pintu gerbang sebuah rumah besar, kulihat seseorang berlari ke arahku. Rambutnya tergerai bebas dan basah. Ia berlari, menyusuri jalan berkerikil tanpa alas kaki. Aku terdiam di tempatku, mengira-ngira, apa lagi yang telah terjadi pada perempuan itu.

Tentu aku mengenalnya. Ia adalah tetanggaku. Meski rumahnya cukup jauh, namun desa kami yang tak terlalu luas, serta sifat kekeluargaan yang masih sangat melekat, membuat kami mengenal satu sama lain. Lagi pula, siapa yang tak mengenal gadis itu. Seseorang yang telah menggegerkan warga desa beberapa bulan yang lalu dengan pengakuan kontroversialnya. Melebihi kontroversi yang dilakukan artis. Ia mengaku digagahi iparnya sendiri, seorang pria kampung beranak tiga yang hanya seorang buruh kasar di pabrik gula.

Ah, bukankah di TV kasus itu sudah banyak? Tapi manalah hal itu tak akan biasa jika di kampung kami yang tak pernah ada kabar keburukannya. Desa yang terkenal dengan ketenteramannya meski tak ada hasil panen yang bisa dibanggakan. Tapi kami hidup dalam kesahajaan, dan malangnya, tak ada yang percaya.

Siapa yang percaya dengan gadis gila?

Aku tak berani bergerak satu mili pun ketika gadis itu hanya berjarak beberapa meter saja di depanku. Aku terkesiap, matanya yang coklat menatapku tajam.

“Jalang!!” jeritnya tiba-tiba. Ia berhambur ke arahku dengan wajah penuh amarah. Serta merta aku membuang payungku ke arahnya dan berbalik arah. Aku berlari sekuat tenaga, menghindari amukannya.

**

Suatu malam, di sudut desa sunyi.

“Dia gila! Apa kalian akan percaya pada gadis gila? Sejak kecil dia sudah gila, apa mungkin kini dia sembuh seketika. Tidak! Dia adalah gadis gila dan apa yang dikatakan gadis gila tidak ada benarnya sama sekali!” suara pria di hadapan kami begitu menggelegar. Nafasnya memburu. Amarah jelas terpancar di wajahnya.

“Bukan begitu San, kami hanya ingin memastikan,” kata ketua RW dengan nada yang menenangkan. Namun sepertinya suaranya tak cukup untuk menekan amarah pria itu yang tengah berada pada puncaknya.

“Bah! Memastikan atau kalian hendak mengeroyokku? Seluruh kampung datang kemari, seakan-akan aku benar-benar tertuduh. Kalian lebih percaya pada orang gila, apa kalian yang sudah ikut-ikutan gila?” suara pria itu masih penuh amarah.

“Tidak, tidak Maula, kami benar-benar hanya ingin memastikan. Kami ingin mendengar pernyataan langsung darimu, apakah yang dikatakan Mayam, adik iparmu itu benar atau tidak,” kata ketua RW masih dengan sabar mencoba menenangkan.

“Ooo, apa itu masih perlu penjelasan? Apa kalian tak paham, orang yang gila itu adalah orang yang hilang akal. Ia bicara tanpa adanya akal. Mana mungkin bisa di percaya. Dia hanya mengada-ada. Hanya halusinasi. Bukankah sejak kecil dia memang gila,” suara pria itu lebih tenang sekarang.

Warga desa yang hadir mengangguk-angguk paham. Tapi ada beberapa yang terdiam. Mungkin berperang dengan pikirannya masing-masing.

“Jadi, kau tidak melakukannya kan Maula?”

“Apa hal itu harus aku jawab, hah?” nada pria itu kembali meninggi melihat masih ada keraguan di wajah Pak RT yang juga turut hadir malam itu.

“Oke, maaf jika kedatangan kami mengusikmu Maula. Kami akan undur diri. Sekali lagi kami minta maaf,” kata Pak RW yang disambut raut kecewa dari beberapa warga. Bahkan ada yang ber’yah’ ria. Mungkin awalnya mereka mengira akan ada tontonan seru di sini hingga dari pojok desa yang jauh, mereka sempatkan untuk datang.

“Yah, asal kalian jangan membicarakanku di warung desa. Kalian tahu, aku tahu siapa saja yang sering membicarakanku di sana,” kata Maula membungkam seluruh mulut penduduk desa.

“Baiklah. Dengar itu, saudara-saudara sekalian. Jangan sekali-kali membicarakan Maula di belakang. Itu jelas kelakuan yang sangat buruk. Ayo, semua, sekarang kita pulang,” kata Pak RW seraya berbalik hendak pulang.

“Sudah, begitu aja pak RW?” tanyaku seraya mensejajari langkahnya.

“Memang mau apa lagi. Semua yang dikatakannya benar. Mayam sudah gila sejak kecil. Kita semua tahu, dia sering berhalusinasi tak jelas,” kata pak RW nampak putus asa.

**

“Kamu mau mencelakai orang lagi, hah?”

Aku menoleh. Gadis itu tak lagi mengejarku. Kakinya yang telanjang tadi menghalangi kecepatan larinya hingga tak mampu menyusulku yang berlari sekuat tenaga. Ternyata Maula, dibantu beberapa tetangga telah menangkapnya.

Dalam sekejap Mayam telah berada dalam ikatan. Tubuhnya meronta sekuat tenaga. Bibirnya menjerit, mengeluarkan kata-kata rancu namun penuh kebencian. Matanya dan Maula sempat bertemu, dan aku melihat kilat yang sangat menakutkan di mata Mayam. Nampak tangannya ingin menerkam tubuh Maula. Namun ia tak mampu melepaskan diri dari jeratan tali yang membelenggunya.

“Hai, Niam. Lihat kan. Gadis ini gila. Tak ada kebenaran dalam ucapannya. Sebaiknya kau berhenti mencurigaiku, dan urus kuliahmu yang tak selesai-selesai itu. Tak kasihan kau pada ayahmu yang terus sakit-sakitan?”

Aku menatap Maula. Menyebalkan sekali orang ini. Bukankah aku baru telat lulus satu tahun, dan ini pun sedang dalam proses skripsi. Kenapa dia jadi nyinyir begitu. Aku membuang mukaku ke arah lampu-lampu jalan yang mulai berpendar.

“Tapi kau tak perlu takut lagi. Dia akan segera kami bawa pergi jauh. Tak enak kami membiarkannya terus mengganggu penduduk kampung,” kata Maula. Tatapanku kembali lagi padanya, lalu beralih ke Mayam.

“Mau kau bawa kemana?”

“Tempat yang jauh, di lereng gunung sana,” katanya. Ia dan warga sudah bersiap-siap membawa Mayam yang terus meronta, pergi.

Aku tertegun. Lereng gunung adalah tempat yang sangat jauh dan terpencil. Hanya ada beberapa orang yang tinggal di sana. Kenapa Mayam harus dibawa pergi? Bukankah baru sekali ini dia mengamuk begini. Aku tahu sebabnya. Pasti ia tak mau dibawa pergi.

“Siapa yang akan mengurusnya?”

“Mau tahu saja kau ini. Biarlah kami keluarganya mengurus masalah itu. Selesaikan saja kuliahmu,” jawabnya. Ia lalu melangkah pergi mengikuti warga yang telah membawa tubuh Mayam.

“Tunggu. Bagaimana kalau ia memang benar?”

Maula berhenti melangkah. Begitu pula penduduk yang membawa tubuh Mayam.

“Kau! Apa sebenarnya maumu? Jika benar, memang apa yang akan kamu lakukan? Melaporkanku ke polisi, hah? Itu sama saja membuat mati Mayam perlahan. Tak akan ada yang memberinya makan. Tak akan ada yang mengurusnya. Apa penduduk kampung sudi mengurus perempuan gila seperti dia. Tidak! Lebih baik kau pergi, urus urusanmu sendiri!” kata Maula teramat muntab. Lagi-lagi aku menantangnya.

Ah, nampaknya urusan ini memang rumit. Aku yakin Mayam tengah mengandung sekarang. Perutnya membuncit. Siapa yang melakukannya? Semua tahu jawabannya. Namun mereka bungkam. Menutupi kebenaran. Kenapa? Karena mereka tak ingin ketenteraman desa terganggu. Mereka tak ingin dengan terungkapnya kebejatan pria itu, desa terusik lebih parah. Aib ini akan menyebar cepat. Bukankah lebih baik menutupi aib? Tapi bagaimana jika itu kebenaran?

Mungkin aku salah, tapi sejenak aku lihat bibir Mayam menyebut namaku, dan matanya menangis. Mata yang berbeda aku lihat di sana. Jauh dari kesan garang, namun ada sebuah pesan tersirat. Ia nampak putus asa. Nodanya tak akan pernah terhapus. Apakah orang gila bisa putus asa?

**

“Kau cari gara-gara lagi dengan Maula?” tanya Ayah ketika kami tengah bersantai di beranda rumah. Menatap rintik hujan yang tak kunjung reda. Ayah nampak masih pucat. Cahaya yang biasa terpancar dari wajahnya sedikit meredup. Meski aku tak mungkin menafikan, kewibawaannya masih selalu ada. Kewibawaan sebagai ayah yang bijak, paling bijak seumur hidup. Meski ia bukan kakek-kakek dalam dongeng klasik yang berkisah tentang kehidupan dan semesta.

“Tidak ayah, aku hanya menyampaikan apa yang ada di pikiranku,” kataku membela diri.

“Ah, iya, kau adalah mahasiswa. Tentu berbeda dengan masyarakat umum. Kau yang idealis, tapi terkadang lupa dengan kenyataan,” sindir ayah.

Aku hanya mampu memayunkan bibirku. Benar, tak ada gunanya membantah. Kenyataanya memang demikian kan.

“Ada baiknya jika kau jangan mengusik Maula, Nduk,”

“Lalu aku harus diam saja? Bukankah ayah yang selalu mengajarkan aku untuk mengungkap kebenaran meski itu perih?” Protesku.

Ayah terdiam sejenak. Mungkin ia kembali mengingat-ingat apa yang pernah ia katakan ketika aku kecil dulu, ketika ia mengajarkan tentang betapa besar arti sebuah kejujuran.

“Tapi, nduk..” Ayah nampak ragu kali ini. Ah, apakah sang bijak ini pun harus ragu pada kasus Mayam? Apakah kisah ini terlalu rumit hingga sang bijak harus menyerah pada kenyataan.

“Ayah memikirkan bagaimana keluarga mereka nantinya. Kau tahu sendiri kan, keluarga Mayam adalah keluarga miskin. Maula adalah penyambung hidup keluarga mereka. Ibu Mayam sudah renta, Ayahnya meninggal lama, adik Mayam masih belia, dan anak-anak Maula juga masih kecil-kecil. Belum lagi untuk mengurus Mayam sendiri,” kata Ayah lirih.

“Yah, bukankah yang mengatur rezeki itu Allah?” tanyaku menantang.

“Tapi, Nduk, bisa apa perempuan tanpa laki-laki?”

“Bisa apa laki-laki tanpa perempuan?” kataku masih ngeyel.

Mungkin saat ini dalam hati ayah bergejolak rasa marah. Bagaimana tidak, anak perempuannya sedang menantang pendapatnya. Tapi aku tahu pasti, Ayah bukanlah orang yang mudah marah pada permukaan.

“Ah, memang kamu sudah dewasa,” kata ayah akhirnya. “Lalu, apa yang hendak kamu lakukan?”

Kini aku yang terdiam. Bingung. Tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membela Mayam. Paling tidak mengembalikan ia dari pengucilan yang tidak selayaknya di lereng gunung. Mayam mengamuk bukan tanpa alasan. Tapi apa yang aku mampu?

“Aku hanya bisa berdoa,” jawabku lirih, tertelan gemericik air hujan yang semakin deras hingga telingaku sendiri pun tak mampu mendengarnya.

**

“Jangan pikir aku gila! Lihat! Mayam mengejarku! Lihat, gadis itu mengejarku!”

Pagi-pagi buta, seseorang berteriak lantang di jalanan.

“Siapa?” tanyaku pada ayah yang sudah keluar lebih dulu. Tak aku lihat siapa pun di jalanan. Lampu-lampu desa tak mampu menyebar ke segala arah.

Ayah menggeleng. Ibu menyusul kami dengan tergopoh-gopoh. “Seperti suara Maula,” kata Ibu. Aku dan ayah berpandangan.

“Siapa yang berteriak?” tanya Mak Janna, tetangga terdekatku. Kami hanya menggeleng.

“Maula mengamuk!” teriak seseorang dari arah jalan desa. Aku melihat Ki Amin berlari tergopoh-gopoh.

“Siapa, Ki?” tanya Mak Jannah ketika Ki Amin sudah mencapai rumah kami.

“Maula, dia melempari rumahku. Semua kaca pecah.” Kata Ki Amin seraya mengatur pernafasannya.

“Benar itu Maula, Ki?” tanya Ayah memastikan.

“Benar. Aku berani jamin. Itu Maula. Dia berlari-lari mirip orang gila. Memanggil-manggil nama Mayam. Nampaknya sudah kesurupan ia,” kata Ki Amin lagi.

Entah apa sekenario langit pada Maula, ataupun tentang nasib Mayam selanjutnya. Namun kami yakin, Ia memiliki hukuman tersendiri bagi yang mengingkari hukum-Nya, yang tak mampu kami tunaikan.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Jie Pelangi adalah nama pena dari Mujiatun. Jie kini terdaftar sebagai mahasiswi pendidikan Geografi UNY dan tercatat sebagai anggota aktif FLP Yogyakarta.

Lihat Juga

Hisabmu Tergantung Ibadah Salatmu

Figure
Organization