Hiburan Televisi yang Berlebihan

Ilustrasi – Televisi.

dakwatuna.com – Kemajuan teknologi seharusnya dapat membantu sarana kehidupan manusia agar lebih baik. Sehingga hidup semakin nyaman, aman, tentram bahagia zhahir dan bathin. Kecerdasan manusia harusnya ditandai dengan kemampuannya mengendalikan teknologi yang semuanya hasil buatan manusia juga. Sangat aneh kalau kemudian manusia tidak mampu mengendalikan sesuatu yang diciptakannya sendiri. Sebodoh-bodohnya para penyembah benda alam, mereka punya argumentasi yang masih dianggap logis. Alam ini sudah ada sebelum manusia lahir, alam ini bannyak manfaatnya. Ada manusia yang lebih idiot dari manusia primitif kalau kemudian ketakutan dengan benda ciptaannya sendiri, bahkan tidak mampu mengendalikan barang ciptaan manusia itu sendiri, contohnya adalah Televisi.

Kalau kita hitung-hitung jumlah waktu yang digunakan anak-anak sekarang untuk hiburan dengan berbagai sarananya, akan kita temukan angka yang sangat mengerikan. Mulai dari nonton Televisi, main Games di Play station, Internet yang juga banyak Games Onlinenya, Handphone yang juga bisa untuk game dan Online, belum lagi nongkrong bersama teman-temannya yang sering aktifitasnya tidak bermanfaat, bahkan banyak sebaliknya. Kalau kita mau jujur harus berani mengatakan bahwa hiburan saat ini sudah sangat over dosis. bahkan boleh dikatakan sudah menjadi tujuan hidup itu sendiri, naudzubillah min dzalik..

Mari kita kendalikan teknologi agar teknologi tidak mengendalikan kita.  Sekitar 60 juta anak Indonesia menonton TV selama berjam-jam hampir sepanjang hari. Apa yang ditonton? Anak-anak menonton acara TV apa saja karena kebanyakan keluarga tidak memberi batasan menonton yang jelas. Mulai dari acara gosip selebritis; berita kriminal berdarah-darah; sinetron remaja yang penuh kekerasan, seks, intrik, mistis, amoral; film dewasa yang diputar dari pagi hingga malam; penampilan grup musik yang berpakaian seksi dan menyanyikan lagu dengan lirik orang dewasa; sinetron berbungkus agama yang banyak menampilkan rekaan azab, hantu, iblis, siluman, dan seterusnya. Termasuk juga acara anak yang banyak berisi adegan yang tidak aman dan tidak pantas ditonton anak.

Bayangkan kalau anak-anak kita adalah satu dari mereka yang tiap hari harus menelan hal-hal dari TV yang jelas-jelas tidak untuk mereka tapi untuk orang dewasa. Anak-anak akan sangat berpotensi untuk kehilangan keceriaan dan kepolosan mereka karena masuknya persoalan orang dewasa dalam keseharian mereka. Akibatnya, sering terjadi gangguan psikologi dan ketidakseimbangan emosi dalam bentuk kesulitan konsentrasi, perilaku kekerasan, persepsi yang keliru, budaya ‘instan’, pertanyaan-pertanyaan yang ‘di luar dugaan’dan sebagainya.

Hanya sedikit anak yang beruntung bisa memiliki berbagai kegiatan, fasilitas dan orangtua yang baik sehingga bisa mengalihkan waktu anak untuk hal-hal yang lebih penting daripada sekadar menonton TV. Namun jutaan orangtua di Indonesia pada umumnya cemas dan khawatir dengan isi siaran TV kita. Kalangan industri televisi punya argumentasi sendiri mengapa mereka menyiarkan acara-acara yang tidak memperhatikan kepentingan anak dan remaja. Intinya, kepentingan bisnis telah sangat mengalahkan dan menempatkan anak dan remaja kita sekadar sebagai pasar yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya. Meski beberapa stasiun TV sudah mulai memperbaiki isi siaran mereka, itu tetap tidak bisa menghilangkan kesalahan mereka di masa lalu dalam memberi ‘makanan’ yang merusak jiwa puluhan juta anak Indonesia.

Pemerintah maupun institusi lain, terbukti tidak mampu membuat peraturan yang bisa memaksa industri televisi untuk lebih sopan menyiarkan acaranya. Sehingga, tidak ada pilihan lain kecuali individu sendiri yang harus menentukan sikap menghadapi situasi ini. Anggota masyarakat yang bersatu dan memiliki sikap yang sama untuk menolak perilaku industri televisi kita, akan menjadi kekuatan yang besar apabila jumlahnya makin bertambah. Penolakan oleh masyarakat yang merupakan pasar bagi industri televisi, pada saatnya akan menjadi kekuatan yang luar biasa besar.

Pengaruh Media terhadap anak makin besar, teknologi semakin canggih & intensitasnya semakin tinggi. Padahal orangtua tidak punya waktu yang cukup untuk memerhatikan, mendampingi & mengawasi anak. Anak lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV ketimbang melakukan hal lainnya. Dalam seminggu anak menonton TV sekitar 170 jam. Apa yang mereka pelajari selama itu? Mereka akan belajar bahwa kekerasan itu menyelesaikan masalah. Mereka juga belajar untuk duduk di rumah dan menonton, bukannya bermain di luar dan berolahraga. Hal ini menjauhkan mereka dari pelajaran-pelajaran hidup yang penting, seperti bagaimana cara berinteraksi dengan teman sebaya, belajar cara berkompromi dan berbagi di dunia yang penuh dengan orang lain.

Faktanya… Berbicara

  • Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadap dampak negatif siaran TV.
  • Data tahun 2002 mengenai jumlah jam menonton TV pada anak di Indonesia adalah sekitar 30-35 jam/minggu atau 1560-1820 jam/ tahun . Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak sampai 1000 jam/tahun.
  • Tidak semua acara TV aman untuk anak. Bahkan, “Kidia” mencatat bahwa pada 2004 acara untuk anak yang aman hanya sekira 15% saja. Oleh karena itu harus betul-betul diseleksi.
  • Saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80 judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Jadi,selain sudah sangat berlebihan, acara untuk anak juga banyak yang tidak aman.
  • Acara TV bisa dikelompokkan dalam 3 kategori: Aman, Hati-hati, dan Tidak Aman untuk anak.
  • Acara yang ‘Aman’:tidak banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini aman karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-anak boleh menonton tanpa didampingi.
  • Acara yang ‘Hati-hati’: isi acara mengandung kekerasan, seks dan mistis namun tidak berlebihan. Tema cerita dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk anak usia SD sehingga harus didampingi ketika menonton.
  • Acara yang “Tidak Aman”: isi acara banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan terbuka. Daya tarik yang utama ada pada adegan-adegan tersebut. Sebaiknya anak-anak tidak menonton acara ini.

Kenapa Kita Harus Mengurangi Menonton TV?

  1. Berpengaruh terhadap perkembangan otak

Terhadap perkembangan otak anak usia 0-3 tahun dapat menimbulkan gangguan perkembangan bicara, menghambat kemampuan membaca-verbal maupun pemahaman. Juga, menghambat kemampuan anak dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan, meningkatkan agresivitas dan kekerasan dalam usia 5-10 tahun, serta tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan.

  1. Mendorong anak menjadi konsumtif

Anak-anak merupakan target terbesar dari para pengiklan, sehingga mendorong mereka menjadi konsumtif. Belum lagi sinetron yang menayangkan kehidupan gelamor konsumeris, cerita kehidupan mewah, kesenangan, kenikmatan, hura-hura, dan sebagainhya

  1. Berpengaruh terhadap Sikap

Anak yang banyak menonton TV namun belum memiliki daya kritis yang tinggi, besar kemungkinan terpengaruh oleh apa yang ditampilkan di televisi. Mereka bisa jadi berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga mereka dewasa.

  1. Mengurangi semangat belajar

Bahasa televisi simpel, memikat, dan instans, membuat ketagihan sehingga sangat mungkin anak menjadi malas belajar.

  1. Membentuk pola pikir sederhana

Terlalu sering menonton TV dan tidak pernah membaca menyebabkan anak akan memiliki pola pikir sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas, kreativitas dan perkembangan kognitifnya. Akhirnya anak sulit diajak berfikir agak rumit, susah diajak tekun, kerja keras, sabar dan sebagainya

  1. Mengurangi konsentrasi

Rentang waktu konsentrasi anak hanya sekitar 7 menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan, akan dapat membatasi daya konsentrasi anak.

  1. Mengurangi kreativitas

Dengan adanya TV, anak-anak jadi kurang bermain, mereka menjadi manusia-manusia yang individualistis dan sendiri. Setiap kali mereka merasa bosan, mereka tinggal memencet remote control dan langsung menemukan hiburan Sehingga waktu liburan, seperti akhir pekan atau libur sekolah,biasanya kebanyakan diisi dengan menonton TV. Mereka seakan-akan tidak punya pilihan lain karena tidak dibiasakan untuk mencari aktivitas lain yangmenyenangkan. Ini membuat anak tidak kreatif.

  1. Mengganggu kesehatan

Kita biasanya tidak berolahraga dengan cukup karena kita biasa menggunakan waktu senggang untuk menonton TV, padahal TV membentuk pola hidup yang tidak sehat. Penelitian membuktikan bahwa lebih banyak anak menonton TV, lebih banyak mereka mengemil di antara waktu makan, mengonsumsi makanan yang diiklankan di TV dan cenderung memengaruhi orangtua mereka untuk membeli makanan-makanan tersebut. Anak-anak yang tidak mematikan TV sehingga jadi kurang bergerak beresiko untuk tidak pernah bisa memenuhi potensi mereka secara penuh. Selain itu, duduk berjam-jam di depan layar membuat tubuh tidak banyak bergerak dan menurunkan metabolisme, sehingga lemak bertumpuk, tidak terbakar dan akhirnya menimbulkan kegemukan.

  1. Merenggangkan hubungan antar anggota keluarga

Kebanyakan anak-anak menonton TV lebih dari 4 jam sehari sehingga waktu untuk bercengkrama bersama keluarga biasanya ‘terpotong’ atau terkalahkan dengan TV. 40% keluarga menonton TV sambil menyantap makan malam, yang seharusnya menjadi ajang ‘berbagi cerita’ antar anggota keluarga. Sehingga bila ada waktu dengan keluarga pun, kita menghabiskannya dengan mendiskusikan apa yang kita tonton di TV. Rata-rata, TV dalam rumah hidup selama 7 jam 40 menit. Yang lebih memprihatinkan adalah terkadang masing-masing anggota keluarga menonton acara yang berbeda di ruangan rumah yang berbeda.

  1. Menjadi Egois Individualis

Saat telpon berdering akhirnya malas mengangkat karena saling mengandalkan, begitu juga saat ada tamu yang mengetuk pintu, saling menyuruh antara kakak dan adik untuk menerima tamu. Bahkan cukup banyak kasus ketika si Adik kecil menangis si kakak sudah tidak peduli lagi untuk segera menyapa Adiknya. Ada fenomena yang mengerikan, ketika di sebuah keluaraga, masing-masing anggota keluarga di sediakan Televisi di Kamar masing-masing. sehingga begitu pulang ke rumah, ruang keluarga kosong semua ada di kamar masing. Rumah kayak losmen…. naudzubillah

  1. Mengganggu Ibadah dan Dzikir

Fenomena sepinya masjid dari anak mudah terutama Isya dan Subuh, kemungkinan besar karena pengaruh tontonan dan hiburan. Isya sedang asyik-asyiknya sinetron, kalau subuh kesiangan karena nonton sampai larut malam. Begitu pula zikir setelah shalat hanya tersisa tinggal kakek-kakek saja, sementara yang mudah banyak yang kabur… mungkin waktu shalat di kepala teringat acara-acara hiburan yang menarik.

  1. Berbagai bentuk Tayang Kemusyrikan

Padahal Musyrik dosa yang paling sulit diampuni. Nyatanya justru di antara acara yang paling banyak disukai pemirsa. Mulai dari tayangang benda-benda sakti, jagoan sakti, mistik-mistik, ramalan-ramalan, orang-orang pintar sampai kepada tayangan horor yang membuat anak-anak menjadi penakut kembali ke zaman primitif

  1. Matang secara seksual lebih cepat

Banyak sekali sekarang tontonan dengan adegan seksual ditayangkan pada waktu anak menonton TV sehingga anak mau tidak mau menyaksikan hal-hal yang tidak pantas baginya. Dengan gizi yang bagus dan rangsangan TV yang tidak pantas untuk usia anak, anak menjadi balig atau matang secara seksual lebih cepat dari seharusnya. Dan sayangnya, dengan rasa ingin tahu anak yang tinggi, mereka memiliki kecenderungan meniru dan mencoba melakukan apa yang mereka lihat. Akibatnya seperti yang sering kita lihat sekarang ini, anak menjadi pelaku dan sekaligus korban perilaku-perilaku seksual. Persaingan bisnis semakin ketat antar Media, sehingga mereka sering mengabaikan tanggung jawab sosial,moral & etika.

Jadi, Siapa yang Seharusnya Mengurangi Menonton TV?

Semua dan setiap orang. Karena akibat buruk yang diberikan oleh TV tidak terbatas oleh usia, tingkat pendidikan, status sosial, keturunan dan suku bangsa. Semua lapisan masyarakat dapat terpengaruh dampak buruk dari TV, orangtua, anak-anak, si kaya ataupun si miskin, si pintar dan si bodoh, mereka dari latar belakang apa saja, tetap terkena dampak yang sama. Seharusnya instansi pemerintah, instansi pendidikan, instansi agama, keluarga dan individu semua bersama-sama mendukung program ‘Hari Tanpa TV, untuk membangun bangsa yang lebih baik. (dari berbagai sumber)

1. Pendiri Pesantren Ma�rifatussalaam Kalijati Subang. 2. Ketua Umum Assyifa Al-Khoeriyyah Subang. 3. Pendidiri, Trainer & Presenter di �Nasteco�. 4. Pendiri dan Trapis Islamic Healing Cantre Depok. 5. Pendiri LPPD Khairu Ummah Jakarta.
Disqus Comments Loading...