Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Dua Cahaya

Dua Cahaya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (air-sunyi.tumblr.com)
Ilustrasi. (air-sunyi.tumblr.com)

dakwatuna.com

“Assalamu’alaikum, benar ini dengan akh Jabbar?”

“Wa’alaikum salam, iya benar. Saya Jabbar. Ini dengan siapa?”

“Alhamdulillah, ini Ustadz Abdullah.”

“Masya Allah Ustadz Abdullah? Ada apa ustadz?”

“Akh Jabbar di mana sekarang?”

“Masih di kampung halaman ustadz, di Bandung. Sedang mengurus perkebunan.”

“Sudah menikah?”

****

Seperti minggu sebelumnya, liqa’ kali ini dilaksanakan di masjid pusat kota. Aulia, Asyifa, Nurul, Nazwa, dan Rahma, tengah mendengarkan materi yang disampaikan oleh Ustadzah Nia. Materi yang dijelaskan Ustadzah Nia kali ini tentang keimanan:

“Seperti firman Allah dalam surah Al-Ankabut ayat 2 dan 3 yang artinya, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.

“Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa salah satu konsekuensi pernyataan iman kita adalah, kita harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah Swt kepada kita, untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan iman kita, apakah betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan hati, atau sekadar ikut-ikutan serta tidak tahu arah dan tujuan, atau karena didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan kemenangan dan tidak mau menghadapi kesulitan.”

“Nah, hal ini seperti yang digambarkan Allah Swt dalam surat Al-Ankabut ayat 10: “Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?”

“Jika kita sudah menyatakan keimanan dan mengharapkan manisnya buah iman, maka kita harus bersiap-siap untuk menghadapi ujian berat yang akan diberikan Allah kepada kita. Kita juga harus bersabar saat ujian itu datang, sebab Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 214, “Apakah kalian mengira akan masuk Surga sedangkan belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersama-nya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguh-nya pertolongan Allah itu amat dekat.”

“Subhanallah,” Komentar kami semua mendengar penjelasan ustadzah.

“Di samping itu, kita harus yakin bahwa ujian dari Allah itu adalah satu tanda kecintaan Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, “Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan (ujian), Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai satu kaum, Dia akan menguji mereka, maka barangsiapa ridha, baginyalah keridhaan Allah, dan barangsiapa marah, baginyalah kemarahan Allah.”

“Nah, dengar itu, Ma. Baru diuji sama jerawat saja sudah mengeluh.” Sindir Nazwa pada Rahma.

“Apaan sih, Wa?” Rahma cuma bisa balas dengan wajah manyun ke arah Nazwa, sementara yang lain hanya bisa tersenyum simpul.

Selesai liqa, Ustadzah Nia berbincang dengan Asyifa secara pribadi.

“Alhamdulillah, Fa. Jum’at nanti nazhar[1]sudah bisa dilaksanakan. Semoga jawabannya seperti yang kamu harapkan ya. Kalau tidak pun, insya Allah akan ada yang lebih baik.”

“Aamiin, syukran ustadzah.”

***

“Lebih baik kita bercerai saja. Aku sudah tidak sanggup lagi hidup seperti ini!”

Malam itu, entah untuk yang keberapa kalinya selama kurun waktu tiga bulan ini ibu dan ayah Syifa bertengkar. Ibu Syifa sudah tidak tahan lagi dengan sikap suaminya semenjak di pecat dari kantor karena termasuk salah satu orang yang menerima aliran dana pencucian uang oleh mantan manager keuangan perusahaan tempat ayahnya bekerja. Sekarang, ayahnya terlalu banyak menuntut, tetapi tidak memberikan apa-apa. Makan ingin selalu enak, pergi pagi pulang malam bukan untuk bekerja, namun nongkrong di warung kopi. Selalu sensitif kalau orang-orang memuji istrinya yang akif bekerja. Hal-hal demikian bila tidak sesuai dengan hatinya, maka akan menyulut pertengkaran.

“Oh, jadi kamu minta cerai?”

“Kita bercerai. Kumohon segera pergi dari sini!”

Asyifa ada di kamar, mencoba menenangkan kedua adiknya yang sedang ketakutan. Dari kamar, Asyifa mendengar suara tamparan sebagai jawaban atas permintaan yang diajukan ibunya tadi.

“Raka dan Audi di sini dulu ya, Kak Syifa mau keluar sebentar melihat ibu.”

“Tapi kak…”

“Nggak apa-apa, sebentar saja.”

Saat Syifa keluar dari kamarnya, ia langsung menuju ruang TV tempat ayah dan ibunya bertengkar. Keadaan di ruangan itu sudah berantakan, beberapa keramik ibunya sudah pecah berserakan di lantai.

“Pergi!!!” Teriak ibunya parau. Ayahnya hanya tertawa mendengar teriakan itu. Ayahnya lalu pergi ke kamar mengambil uang dan beberapa perhiasan. Ibunya coba menghalangi, karena itu semua ia kumpulkan untuk pendidikan anak-anaknya. Namun entah apa yang ada di pikiran ayahnya saat itu, ia mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya dan mengarahkan pisau itu kepada istrinya. Syifa menghalau ibunya, dan pisau itu bersarang di perutnya.

“Syifa…”

Pandangan Syifa mulai gelap. Terlalu banyak darah yang keluar. Ia melemah.

***

Syifa segera di bawa ke rumah sakit. Ayahnya telah kabur melarikan diri. Ibunya menelepon Aulia dan Nurul mengabarkan keadaan Syifa. Aulia pun akhirnya mengabari Ustadzah Nia, Nazwa, dan Rahma.

Sudah dua hari Syifa di ICU. Keadaannya masih kritis tak sadarkan diri. Ustadzah Nia coba menenangkan Bu Rina, Ibunya Syifa. Teman-temannya juga setia berganti menjaganya. Dokter Affan, bolak – balik mengontrol keadaan Syifa. Aneh, terlihat semburat kekhawatiran di wajahnya. Sungguh loyalias yang tinggi atas profesi yang ia jalankan.

“Sayang, Jabbar sudah datang. Kita lupa mengabarinya bahwa Syifa sedang sakit.”

“Mas suruh saja Jabbar kemari. Biar ia melihat Syifa dan bisa memutuskan.”

Ustadz Abdullah mendengarkan saran dari istrinya Ustadzah Nia. Jabbar di bawa ke rumah sakit untuk menemui Syifa. Ya, hari ini semestinya hari yang baik untuk Syifa dan Jabbar melaksanakan Nazhar sebelum ta’aruf lebih dalam. Namun malang tak dapat ditolak, yang berbahagia justru belum sadarkan diri.

Ustadz Abdullah menjelaskan secara detail musibah yang terjadi dan keadaan Syifa saat ini kepada Jabbar. Jabbar meminta izin untuk melihat langsung keadaan Syifa di ruang ICU.

“Assalamu’alaikum Syifa, saya Jabbar. Wah, hari ini kamu curang sekali menyuruh saya melihat kamu dalam keadaan seperti ini. Ayo bangun! Bukankah hari ini hari baik untuk kita? Kenapa kamu membiarkan saya berbicara sendiri? Apa kamu tidak ingin mendengar saya berkata “Ya”? Ayo bangun! Sadarlah…” Kristal bening dari matanya menetes pecah mengenai jemari Syifa. Mukjizat, jemari itu bergerak. Jabbar yang sadar akan itu segera memanggil Dokter Affan. Semua yang menunggu Syifa di ruang tunggu, ikut berlari masuk ke ruang ICU. Syifa perlahan membuka matanya. Ia sadar dari kritisnya. Ia pandangi satu-satu orang di sekelilingnya, dan pandangan itu terhenti di Jabbar.

“Maaf, harus melihat saya dalam keadaan seperti ini.” Jabbar mengangguk dengan senyuman.

“Semuanya harap keluar dulu, Syifa akan kami pindahkan ke ruangan. Setelah ini biarkan Syifa istirahat selama dua jam, dan jangan terlalu banyak diajak mengobrol.” Instruksi Dokter Affan.

***

“Bagaimana keadaan kamu sekarang, Fa?”

“Alhamdulillah ustadzah, sedikit lebih baik.”

“Ustadz dan ustadzah mau pamit pulang dulu ya, soalnya Ilyas sudah tidur.” Si kecil Ilyas sudah tertidur pulas di gendongan abinya.

“Iya ustadzah, tidak apa-apa. Terimakasih ustadzah dan ustadz sudah datang menjenguk Syifa.”

“Kita kan sudah seperti keluarga, kamu sudah seperti adik ustadz dan ustadzah. O iya, ini ada titipan surat dari Jabbar untuk kamu. Maaf dia tidak bisa menunggu lama di sini dan memang belum layak seperti itu.”

Syifa mengangguk paham. Di depan pintu ruangan, ustadz dan ustadzah berpapasan dengan Bu Rina, Rahma, dan Aulia yang baru balik membeli makanan. Kedua adik Syifa, Raka dan Audi sudah tertidur di sofa.

“Bu, besok malam sebaiknya ibu di rumah saja bersama adik-adik. Kasihan mereka, paginya mereka kan harus sekolah, ibu juga harus kerja.”

“Siapa nantinya yang jaga kamu, kalau bukan ibu?”

“Kan ada kami di sini tante, tante nggak usah khawatir. Kami akan berganti-gantian menjaga Syifa sampai sembuh.”

“Terimakasih ya, Nak. Kalian memang sahabat Syifa yang baik. O iya, ayo kita makan. Tadi katanya sudah lapar.”

Malam kian larut, petir menyambar. Di luar tengah hujan deras. Syifa belum juga bisa memejamkan matanya. Ia memikirkan apa yang terjadi dengan ayahnya setelah kejadian itu? Ingin rasanya segera bertanya pada ibunya, namun ia pikir saat ini bukan waktu yang tepat. Jam di ruangan itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, ia teringat sesuatu. Tangannya menyusup ke bawah bantal. Ia mengambil surat dari Jabbar yang tadi diberikan ustadzah.

Assalamu’alaikum wr.wb

            Bagaimana keadaan Anda? Saya harap sekarang dan untuk ke depannya Allah akan memberikan Anda kesembuhan, dengan kesembuhan yang tiada sakit setelahnya. Aamiin.

            Sebenarnya saya tidak tahu harus berkata apa. Saya cukup terkejut ketika Ustadz Abdullah menelepon dan menanyakan kesiapan saya untuk segera menikah. Jujur saja, selama ini saya memang sedikit santai mengenai hal ini. Saya juga tidak menyangka pada penjelasannya, ustadz mengatakan bahwa Anda yang meminta untuk di ta’aruf kan dengan saya. Saya tidak tahu dan tidak menyadari ternyata di beberapa kesempatan kita pernah bertemu. Awalnya, saya bingung harus bersikap apa. Namun setelah istikharah dan menyampaikan hal ini kepada Abah dan Ummi, mereka menyambut baik. Saya bersedia menjalankan proses nazhar terlebih dahulu.

            Sepuluh menit setelah saya mengabari ustadz akan tiba di rumahnya, beliau menelepon balik mengatakan bahwa pertemuan berganti tempat di rumah sakit. Ustadz menjelaskan apa yang terjadi pada Anda. Setibanya di sini, saya meminta izin untuk melihat Anda secara langsung. Saya tidak mengerti mengapa saya menangis melihat Anda. Saya merasa sangat beruntung sebagai orang yang Anda pilih untuk berta’aruf dengan Anda. Jangan tanya mengapa, karena saya pun tak paham. Ini kerja hati. Maka dengan bismillah saya putuskan untuk melanjutkan proses kita pada khitbah. Insya allah setelah Anda pulih, saya akan mengajak kedua orang tua menemui Anda. Maaf tidak bisa ikut menjaga Anda, saya titipkan Anda pada Ia Sang Penyembuh. Semoga Anda dan keluarga selalu dalam pertolongan dan lindunganNya.

                                                                                                            Jabbar Khalid Assegaf

 

 “Alhamdulillah,”

***

Pagi-pagi sekali Bu Rina, Raka, dan Audi sudah pulang ke rumah. Rahma dan Aulia juga pamit karena ada jadwal bimbingan skripsi pagi ini di kampus. Hanya tinggal Nurul dan Nazwa yang menjaga Syifa. Mereka bertiga tidak ada bimbingan skripsi lagi. Berkas mereka sudah selesai, jadi tinggal menunggu waktu panggilan untuk sidang.

Jam delapan pagi, Dokter Affan sudah datang untuk memeriksa keadaan Syifa. Dokter Affan bukan dokter senior, tapi sejak dua tahun lalu, saat usianya 24 tahun ia sudah menjadi dokter spesialis. Ia begitu telaten memeriksa pasien-pasiennya. Jam delapan pagi, jam dua siang, dan jam delapan malam sebelum ia pulang.

“Alhamdulillah sudah lebih baik, obatnya terus diminum ya.”

“Terimakasih dokter. Dokter, kapan saya boleh pulang?”

“Memangnya kenapa? kamu sudah tidak betah di sini?”

“Bukan begitu dok, lama-lama berada di rumah sakit, tentu butuh biaya yang banyak. Saya tidak ingin membebani ibu.”

“Mba Syifa, rezeki itu sudah ada yang mengatur. Alangkah lebih bijaknya kalau Mba Syifa memfokuskan diri untuk kesembuhan Mba Syifa dulu dari pada hal-hal lainnya.”

“Ibu sudah terlalu banyak beban dok, apalagi dengan kejadian kemarin itu. Ingin bertanya bagaimana ayah saja, saya tidak berani.”

“Ayah Anda sudah ditangkap polisi. Bukan karena kasus penikaman Anda, tetapi kasus pencucian uang yang lampau. Saya tahu cerita keluarga Anda, Mba. Ibu Anda sudah bercerita banyak. Beliau juga sudah memutuskan untuk bercerai. Ia merasa seharusnya ia yang berada di posisi mba saat ini.”

“Saya tidak tahu harus senang atau sedih atas berita ini dokter. Sebenarnya beliau adalah ayah tiri saya. Kalau saja saya sudah bekerja, tentu bisa membantu keuangan keluarga.”

“Jadi Mba Syifa belum bekerja?”

“Saya masih kuliah semester akhir dok. Tinggal menunggu sidang. Selama ini saya cuma jadi penulis tetap di sebuah majalah. Honornya lumayan buat biaya kuliah.”

“Niat Anda itu baik, Mba. Jadi Allah pasti akan membantu. Insya Allah. Sekarang sebaiknya Anda istirahat, saya permisi. Assalamu’alaikum,”

“Wa’alaikum salam,”

***

Sepuluh hari di rawat di rumah sakit, akhirnya Syifa diperbolehkan untuk pulang.

“Bu, biayanya pasti besar,”

“Kalau kurang, insya Allah bisa ustadzah bantu, Fa.”

“Terimakasih ustadzah,”

“Permisi mba, saya mau membayar biaya perawatan anak saya Asyifa,”

“Sebentar ya, Bu. Untuk Mba Asyifa semua biayanya sudah dibayar, Bu.”

“Sudah dibayar? sama siapa, Mba?”

“Maaf ibu, di sini tidak tertulis namanya.”

“Oh begitu, baik mba terimakasih.”

Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan malaikat itu? namun tidak sulit bagi Syifa untuk mengetahui siapa malaikat itu.

“Mba, Dokter Affannya ada?”

“Dokter Affan sedang ada operasi, Mba.”

“Boleh saya minta nomor teleponnya?”

Syifa mengambil handphonenya dan mengirim sebuah pesan ucapan terimakasih pada Dokter Affan.

Hari terus berlalu, selesai sidang pertemuan keluarga Syifa dan Jabbar berlangsung. Dalam pertemuan itu diputuskan dua bulan ke depan, tepatnya saat usia Syifa genap 22 tahun, mereka akan melangsungkan pernikahan. Setelah mendapat gelar psikologinya, Syifa mulai melamar pekerjaan. Sebagai lulusan terbaik, ia berharap bisa segera mendapatkan pekerjaan.

“Assalamu’alaikum, dengan Asyifa?”

“Wa’alaikum salam, iya benar saya Asyifa,”

“Saya menerima surat lamaran Anda, dan saya rasa Anda bisa bergabung di perusahaan kami,”

“Alhamdulillah, terimakasih, Bu.”

“Terimakasih, mama.”

***

Syifa begitu bahagia. Beberapa bulan ini, semua yang ia cita-citakan berjalan dengan lancar. Lulus sarjana dengan hasil yang baik, sudah bekerja, dan hari ini ia akan menikah. Ya, Allah benar, “Bersama kesulitan ada kemudahan”. Setelah beberapa cobaan menimpa keluarganya, kini ia mendapat kebahagiaan-kebahagiaan yang tak terkira. Pada walimatul ursynya banyak tamu yang hadir, termasuk Dokter Affan. Dokter Affan sudah Syifa anggap seperti kakaknya sendiri.

Setelah pernikahan itu, Jabbar memutuskan membuka cabang usahanya di Jogja. Ia memilih tinggal bersama keluarga istrinya karena tidak mungkin membawa Syifa ke Bandung dan meninggalkan ibu serta kedua adiknya. Selain itu, Syifa juga baru bekerja dua bulan sebagai kapala bagian SDM dan terikat kontrak kerja dengan perusahaan.

Hidup mereka yang baru sebagai pasangan yang halal begitu indah. Mereka saling membantu, menjaga, dan berlari menuju ketaatan. Mereka tidak pernah melewatkan majelis ilmu dari Ustadz Abdullah dan Ustadzah Nia, Murobbi mereka. Mereka juga masih aktif di beberapa organisasi Islam.

“Mas, bawa kabar yang membahagiakan”

“Kabar apa, Mas?”

“Mas mendapat kesempatan untuk menjadi relawan di Palestina, sayang. Membawa nama organisasi kita.”

“Wah, suamiku akan menjadi rebutan para bidadari surga,”

“Tapi tetap bidadari Asyifa yang mas pilih. Terimakasih sayang,” Jabbar mencium kening Syifa dengan lembut. Jabbar sangat beruntung karena Syifa memahaminya. Syifa selalu mendukung mewujudkan mimpi-mimpinya. Meskipun dalam keadaan hamil muda, Syifa mengizinkan kepergian suaminya ke tanah jihad Palestina demi menolong saudara muslimnya.

“Berjanjilah untuk kembali saat anak kita akan lahir,”

“Mas selalu berdoa untuk kehidupan kamu yang lebih baik,”

***

Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan telah Syifa lewati tanpa kehadiran suaminya. Makin tua usia kandungannya, Syifa menjadi sedikit manja. Tiap hari ia meminta Jabbar untuk menelepon. Ia bilang bahwa calon bayi mereka merindukan suara Abinya setiap hari. Setiap hari pula saat menelepon, Jabbar wajib melantunkan ayat-ayat Al-Quran untuk di dengarkan oleh bayi mereka. Menurut Syifa, biar nanti anaknya bisa seperti abinya yang seorang Qori Nasional.

“Menurut prediksi dokter, seminggu lagi anak kita akan lahir, Mas.”

“Insya Allah lusa mas akan pulang, tidak sabar rasanya melihat bayi kita nanti.”

“Aku juga sangat merindukanmu, Mas,”

“Mas juga sayang, baiklah di sana sudah malam kan? Kamu dan bayi kita harus istirahat.”

“Ok, siap boss!”

Malam itu dalam tidurnya, mungkin karena sangat merindukan suaminya, Syifa bermimpi bertemu dengan Jabbar. Mereka bertemu di sebuah taman yang penuh dengan bunga lily kesukaan Syifa. Di situ Jabbar begitu tampan. Mereka mengobrol banyak hal. Lebih tepatnya, Syifa yang lebih banyak berceloteh ini itu.

“Kalau nanti anak kita lahir, mas mau memberikan nama apa?”

“Kalau laki-laki kita beri nama Muhammad Zaga Assegaf, Kalau perempuan kita beri nama Giza Assegaf. Kamu setuju?”

“Setuju, tapi kenapa Zaga dan Giza?”

“Zaga itu huruf yang mas acak dari Gaza, sedangkan Giza nama yang mirip dengan Gaza.”

“Kamu bisa aja mas,”

“Syifa, mas mencintaimu karena Allah,”

“Syifa juga mencintai mas karena Allah. Mendadak haru ya mas? Kamu lupa kalau aku yang memilihmu?” Jabbar tertawa mendengar pernyataan istrinya.

***

“Assalamu’alaikum, Syifa. Ini Ridwan.”

“Wa’alaikum salam, akh Ridwan? Ada apa?”

“Syifa, Jabbar… Jabbar…”

“Mas Jabbar kenapa, Akh?”

“Jabbar meninggal. Dia terkena serangan bom yang meledak di masjid saat ia sedang shalat.”

Baru semalam mereka mengobrol bahwa besok Jabbar akan pulang. Ia akan mendampingi Syifa melahirkan anak pertama mereka. Baru tadi malam juga Syifa bermimpi yang indah tentang suaminya, dan Jabbar telah menyiapkan nama untuk anak mereka. Ingin rasanya Syifa menangis sejadi-jadinya, tapi hal itu ia urungkan. Bukankah suaminya meninggal dalam keadaan syuhada? ia meninggal di rumah Allah, dan di bumi yang diberkahi. Syifa menegarkan dirinya. Ia hubungi abah dan ummi untuk mengabarkan hal yang menimpa anak mereka. Gaza dan Israel kembali membara. Agak tidak memungkinkan untuk membawa jenazah suaminya pulang ke tanah air. Dengan pertimbangan keluarga, maka diputuskan untuk memakamkan Jabbar di Gaza. Keluarga di tanah air hanya bisa melakukan shalat ghaib dan tahlilan.

Setelah tahlilan selesai, Syifa menatap foto pernikahannya dan Jabbar di kamar mereka. Ustadzah Nia coba mendampingi untuk menguatkan Syifa.

“Suamimu insya Allah dalam keadaan yang baik Syifa, berbahagialah. Seharusnya kita mengkhawatirkan akhir kehidupan kita yang masih hidup ini,”

“Ustadzah, perut Syifa terasa sakit,”

“Sakit? Ya Allah Fa, darah! ketuban kamu,”

Syifa segera dibawa ke rumah sakit, dokter memutuskan untuk melakukan operasi karena Syifa pendarahan.

“Bu Rina? Kenapa ada di rumah sakit?”

“Dokter Affan? Syifa dok, Syifa mau melahirkan. Tapi ia pendarahan maka itu dokter memutuskan untuk melakukan operasi.”

“Kenapa bisa pendarahan?”

“Jabbar meninggal dunia dokter. Syifa sangat terpukul, mungkin karena itu ia pendarahan.”

“Jabbar meninggal ustadzah? Inalillahi wa inna illaihi rojiun”

Dari kamar operasi, seorang suster keluar memberikan kabar bahwa Syifa sudah melahirkan seorang anak laki-laki. Tidak lama kemudian, Syifa dan anaknya di pindahkan ke ruangan.

“Ia harus diazankan,” Syifa kembali meneteskan air matanya mendengar perkataan ustadzah.

“Boleh, saya yang melakukannya?”

Syifa mengangguk pada permintaan Dokter Affan. Bagaimanapun juga, Dokter Affan sudah seperti keluarga sendiri. Ruangan itu, menyebar haru.

“Nama apa yang akan kamu berikan?”

“Mas Jabbar sudah berpesan untuk memberikan anak laki-lakinya dengan nama Muhammad Zaga Assegaf, Dok.”

***

Setelah empat hari di rumah sakit, Syifa meminta pulang ke rumah. Ia ingin segera menunjukkan pada Zaga foto ayahnya.

“Zaga akan mirip dengan ayahnya. Jangan khawatir,”

“Dokter Affan? Ya, memang seperti itu yang saya harapkan. Nanti kalau dokter sudah punya anak, dokter juga pasti menginginkan hal yang sama. Oh ya dokter, Anda kenapa belum menikah? Kalau sudah ada calonnya jangan ditunda-tunda, Dok.”

“Masalahnya kalau saya ajak nikah sekarang, dia pasti belum siap. Ia masih butuh waktu untuk menerima saya.”

“Anda orang yang baik dokter, insya Allah akan mendapatkah jodoh yang baik pula.”

***

“Zaga, awas jatuh nak. Jangan kencang-kencang larinya.”

“Kapan Zaga masuk pesantren, Fa?”

“Insya Allah besok, Wa. Karena Zaga masih tiga tahun, jadi Abah juga akan mendampinginya.”

“Aduh jagoan om hampir jatuh. Sini om gendong. Wah, ibu-ibu sedang ngerumpi rupanya.”

“Sudah sangat cocok dok untuk punya anak. Jangan terlalu lama mencari.”

“Kalau begitu, menikahlah dengan saya,”

“Jangan bercanda dokter!”

“Saya tidak bercanda. Kamu sendiri yang bilang, kalau saya berhak mendapatkan perempuan yang baik”

“Tapi perempuan yang baik juga masih banyak yang lainnya,”

“Ya, kamu benar. Tapi saya menunggu selama ini untuk kamu”

“Maksud Anda dokter?”

“Maaf kan saya Syifa, tapi saya sudah mulai menyukai kamu sejak pertama kali kamu menjadi pasien saya. Saya kagum dengan kesabaran dan kebaikan hati kamu menerima semua cobaan yang terjadi di kehidupan kamu. Saat kamu menikah dengan Jabbar, saya mengikhlaskan kamu, tapi rasa yang telah tumbuh entah mengapa tak mau padam.”

“Maaf kan saya dokter, tapi saya tidak suka pembicaraan ini. Sampai saat ini saya hanya mencintai Jabbar.”

“Saya tidak memintamu untuk melupakan Jabbar. Saya juga tidak memintamu untuk mengasihi saya. Saya hanya memintamu untuk mempertimbangkan saya. Seperti yang kamu bilang, saya juga berhak mendapatkan perempuan yang baik.”

Dokter Affan pergi. Syifa membawa Zaga masuk ke kamarnya disusul oleh Nazwa.

“Tidak ada salahnya, Fa,”

“Jangan dilanjutkan, Wa! Kamu tahu kan sampai saat ini aku masih sangat mencintai Jabbar. Tidak ada yang lain!”

“Tapi kamu juga harus tahu tentang hal yang tidak kamu ketahui, Fa. Hari itu saat kamu dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri, Dokter Affan yang bertanggung jawab untuk menangani kamu. Dan orang asing pertama yang menjatuhkan air matanya setelah mendengar hal yang terjadi padamu adalah Dokter Affan. Awalnya aku pikir karena simpatinya sebagai seorang dokter, tapi entah mengapa aku mulai menyadari bahwa ia sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan kondisimu. Ia begitu berusaha untuk memberikan perawatan yang terbaik untukmu. Ia juga membuka dirinya pada kami semua. Pada ibumu, kami sahabat-sahabatmu, bahkan ustadz dan ustadzah. Aku juga tahu ia yang membayar semua biaya perawatanmu di rumah sakit, karena aku mendengar pembicaraanmu dengannya tentang kecemasanmu akan biaya yang besar bila berlama-lama di rawat.”

“Kamu juga tidak bisa menangkap maksud perkataannya saat hari kamu akan pulang setelah melahirkan Zaga. Saat kamu bertanya kenapa ia belum menikah? Ia menjawab, kalau ia mengajak nikah wanita yang ia cintai saat itu, wanita itu pasti belum siap. Wanita itu akan butuh waktu untuk menerima dirinya. Kata-kata itu ia keluarkan karena ia paham akan keadaanmu, Fa. Ia tahu kamu baru kehilangan Jabbar, orang yang sangat kamu cintai. Ia tidak ingin mempersulit hatimu dengan perasaannya. Maka ia menunggu, memberimu waktu, mencoba menerima apapun ketetapan Allah. Mungkin saja saat ia mengazani Zaga dahulu adalah pertanda yang baik untuk hubungan kalian kedepannya.”

“Jangan berlebihan, Wa. Itu karena ia yang meminta dan aku sudah menganggapnya bagian dari keluarga.”

“Satu hal lagi yang tidak kamu ketahui, Dokter Affan adalah anak dari pemilik perusahaan dimana kita bekerja. Aku pernah melihat foto keluarga Bu Salwa di dompetnya. Karena merasa penasaran, aku langsung bertanya pada Dokter Affan, dan ia mengakui. Hanya saja, ia lebih tertarik mengabdi menjadi seorang dokter dari pada seorang pebisnis. Cintanya padamu bekerja dengan alami. Ia melakukan banyak hal padamu tanpa perlu kamu ketahui.”

“Kamu tidak pernah menyadarinya karena cintamu hanya pada Jabbar. Ya, bagaimanapun juga, Jabbar memang salah satu lelaki terbaik yang pernah ada. Tapi jangan menutup dirimu! Aku rasa, lima tahun adalah waktu yang cukup bagi cintanya untuk bersabar. Zaga masih kecil, Fa. Ia butuh sosok seorang ayah. Aku yakin, Jabbar juga akan setuju Zaga mendapat sosok ayah seperti Dokter Affan.”

“Nazwa benar nak,”

“Abah, ummi…”

“Anak kami Jabbar pasti akan bahagia bila melihatmu bahagia. Meskipun kamu menikah dengan orang lain, kamu tetap menantu bagi kami.”

“Ibu juga merestui”

“Baiklah, Syifa akan istikharah dan meminta pendapat Ustadzah Nia”

***

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikum salam ustadz. Ustadz sakit?”

“Tidak, saya sehat Alhamdulillah. Saya datang ke sini karena ingin memberikan titipan surat ini kepada Anda dokter.”

“Surat dari siapa, Ustadz?”

“Nanti Anda juga akan tahu, Dok. Saya permisi, assalamu’alaikum,”

“Wa’alaikum salam, terimakasih ustadz,”

Setelah Ustadz Abdullah pergi, Affan langsung membaca surat tersebut.

Assalamu’alaikum wr. wb

            Pertama, saya ingin meminta maaf kepada Anda atas sikap saya saat terakhir kali kita bertemu dokter. Saat itu saya hanya mengatakan apa yang memang ada di hati dan pikiran saya. Meskipun kita sudah saling mengenal dengan baik, bukan berarti Anda berhak mengatur perasaan saya.

            Kedua, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih atas pertolongan dan kebaikan yang telah dokter lakukan untuk saya, baik yang saya sadari maupun yang tidak saya sadari secara langsung.

            Dan yang terakhir, sekali lagi saya katakan bahwa laki-laki bernama Jabbar tidak akan pernah bisa Anda hapus dari kehidupan saya. Ia memiliki bagian yang teristimewa di hati seorang Asyifa. Namun, ia pernah mengatakan kepada saya bahwa ia selalu berdoa untuk kehidupan saya yang lebih baik. Insya Allah dokter, kamu akan mendapatkan buah kesabaran cintamu. Ahlan wa sahlan.

                                                                                                            Asyifatun Nadira

***

 

[1] Melihat. (Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan yang di ridhoi Allah atau untuk menemukan sebuah ketertarikan.)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis bernama Riska H Akmal. Lahir di Medan, Juni 1990. Seorang cerpenis yang bergiat sebagai anggota muda FLP-SUMUT.

Lihat Juga

Hijrah, Dari Gelap Menuju Cahaya

Figure
Organization