Topic
Home / Berita / Analisa / Menerka Gaza Pasca Gencatan Senjata

Menerka Gaza Pasca Gencatan Senjata

Ilustrasi. (mrdaniels.wordpress.com)
Ilustrasi. (mrdaniels.wordpress.com)

dakwatuna.com – Hari ini memasuki hari terakhir dari kesepakatan gencatan senjata Hamas-Israel. Perundingan yang dimediasikan oleh pihak Mesir ini melahirkan kesepakatan, kedua belah pihak menghentikan kontak senjata selama 72 jam, terhitung sejak hari Selasa (5/8) pukul 8 pagi. Pertempuran yang sudah berlangsung selama satu bulan lebih ini, kini menyisakan puing-puing reruntuhan bangunan di seluruh wilayah Jalur Gaza, mulai dari rumah warga, masjid, rumah sakit dan sekolah semuanya tidak luput dari terjangan rudal-rudal Israel.

Dan hari ini merupakan detik-detik terakhir dari kesepakatan gencatan senjata itu, Jumat (8/8) tepat pukul 8 pagi waktu Jalur Gaza. Semua pihak tentu bertanya-tanya, akankah perang berlanjut? Ataukah gencatan senjata akan diperpanjang kembali hingga waktu yang tak ditentukan? Semunya akan terjawab pada pagi hari ini. Namun yang jelas, pihak Israel sudah memerintahkan tentaranya untuk menarik diri dari Jalur Gaza. Adapun pejuang Palestina terkhusus sayap militer Hamas, Izzuddin Al-Qassam, telah menyatakan diri tidak akan memperpanjang masa gencatan senjata selama Israel tidak mengabulkan syarat yang sudah mereka usulkan ke Kairo.

Sederhananya, Israel memegang kunci dari akhir peperangan ini. Mematuhi keinginan Jalur Gaza, tentu konsekuensinya mereka berada di posisi pihak yang kalah, namun hal tersebut baik bagi tentara mereka yang sudah terkuras mentalnya usai bertempur selama satu bulan penuh. Ini juga baik untuk warga mereka di wilayah pendudukan, setidaknya untuk sementara waktu mereka bisa terbebas dari ancaman hujan roket dari pejuang Palestina. Karena misi besar dari agresi ini adalah menghentikan tembakan roket dari Jalur Gaza ke Israel yang dinilai mengganggu stabilitas keamanan warganya.

Sedangkan bagi Hamas, gencatan senjata ataupun tidak itu sama saja. Gencatan senjata diperpanjang jika pihak Israel mengabulkan permintaan dari Jalur Gaza, dan ini pertanda kemenangan. Dan jika tidak, maka pertempuran pun siap untuk dilanjutkan, dan itu bukan masalah bagi Hamas. Muhammad Al-Dhaif sendiri, panglima perang Brigade Izzuddin Al-Qassam menegaskan, bahwa pasukannya sudah menyiapkan diri untuk menghadapi perang yang panjang. Mereka juga menyatakan siap melontarkan setengah juta roket yang disiapkan untuk menghantam wilayah yang diduduki oleh Israel.

Syarat Gencatan Senjata

Apa yang disyaratkan pejuang Palestina di Jalur Gaza, merupakan suara dari warga Gaza itu sendiri, dan permintaan itu sangat sederhana. Tuntutan yang bersifat manusiawi, mereka hanya ingin diperlakukan layaknya manusia merdeka seperti umumnya umat manusia di dunia. Ada 2 poin besar yang disampaikan oleh Abu Ubaidah, jubir Brigade Izzuddin Al-Qassam pada hari Kamis sore (7/8) kemarin terkait dengan kelanjutan dari gencatan senjata selama 72 jam ini.

Pertama, mencabut blokade dari Jalur Gaza. Sejak tersingkirnya Hamas dari Tepi Barat dan terpojok di Jalur Gaza, wilayah ini diblokade Israel dari berbagai penjuru, baik darat, laut maupun udara. Dan kondisi ini sudah berlangsung selama 8 tahun. Momen perundingan ini akan dimanfaatkan dengan baik oleh Hamas untuk mencabut blokade secara total, karena apalah gunanya pertempuran berakhir namun mereka masih hidup layaknya di dalam penjara.

Kedua, membangun pelabuhan di Jalur Gaza. Ini merupakan pilihan cerdas dari Hamas. Jalur Gaza kini memahami betul, Mesir yang merupakan satu-satunya negara yang berbatasan langsung dari darat, saat ini tidak memberikan sikap yang positif terhadap Jalur Gaza. Terbukti hingga saat ini Mesir yang dikuasai oleh pelaku kudeta militer terkesan setengah hati untuk membuka perbatasan mereka. Para relawan dan bantuan kemanusiaan pun masih tertahan di perbatasan. Sikap ini menggambarkan Mesir pasca kudeta militer bukan lagi menjadi negeri yang bisa dijadikan sandaran.

Alternatif terbaik adalah dengan pembangunan pelabuhan di Jalur Gaza. Dengan demikian kendati Mesir tidak membuka perbatasan daratnya dengan Jalur Gaza, bantuan internasional dapat diterima langsung melalui pelabuhan laut di Jalur Gaza. Ini akan melepaskan ketergantungan terhadap Mesir.

Kedua pilihan ini tentu merupakan yang terberat bagi Israel. Bahkan mungkin juga bagi Mesir. Mencabut blokade dari Jalur Gaza sama saja memberi nafas lega kepada penduduknya, bagi Israel ini tentu menjadi ancaman. Kalau dalam kondisi terkepung saja, pejuang Palestina dapat mengembangkan alat tempurnya, seperti roket berjarak tempuh ratusan kilometer dan juga pesawat pengintai tanpa awak, maka yang terjadi tentu lebih jauh dari itu ketika blokade secara utuh dicabut dari wilayah ini.

Terlebih sikap pejuang Palestina terkhusus Hamas, selama ini komitmen untuk tidak mengakui eksistensi Israel di atas bumi Palestina. Dengan kata lain, ke depan, apabila blokade dicabut, peta pertempuran akan berbalik, tidak menutup kemungkinan justru Hamas yang melakukan agresi militer mengusir Israel dari tanah Palestina yang mereka duduki selama ini.

Sedangkan bagi Mesir, dibukanya pelabuhan di Jalur Gaza akan mengurangi peranan Mesir di kawasan. Karena selama ini, para relawan berbondong-bondong datang ke Mesir dan memohon diberikan izin masuk ke Jalur Gaza melalui penyeberangan Rafah. Karena negeri ini merupakan satu-satunya pintu masuk. Namun ini tidak akan berlaku lagi pasca dibangunnya pelabuhan di Jalur Gaza. Para relawan bisa berangkat melalui Turki, seperti yang dulu pernah mereka lakukan dengan menumpang kapal Mavimarmara. Namun kala itu peristiwa tersebut berakhir tragis, karena kapal mereka dibajak oleh Angkatan Laut Israel sebelum masuk ke perairan Jalur Gaza.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Peneliti di Pusat Studi Islam Wasathiyah dan Aktivis Palestina di LSM Asia-Pacific Community For Palestine

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization