Topic
Home / Berita / Perjalanan / Kado Syawal: Islam di Shanghai

Kado Syawal: Islam di Shanghai

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Sore itu tanggal 17 Juli aku harus segera bertolak dari Taiwan ke Shanghai, salah satu kota tersibuk di dunia. Setelah beberapa menit delay, aku dan dua teman Taiwan sudah ditunggu oleh perwakilan panitia di bandara Internasional Pudong, Shanghai. Kami hadir sebagai perwakilan kampus Taiwan untuk hadir pada kompetisi bertajuk “Intel® Embedded Design Contest”, sebuah kompetisi tahunan yang cukup bergengsi. Karena sudah malam, aku tak bisa melihat seperti apa sebenarnya wajah dari kota ini, sesibuk apakah kota ini? Pertanyaan itu selalu terngiang.

Malam hari aku tidak mengambil banyak istirahat, maklum saja selain bertujuan untuk ikut kompetisi aku menargetkan satu tujuan lainnya, menemukan saudara-saudara Muslim di Shanghai ini. Perut mulai tidak karuan, hanya dengan satu jus kotak rasa jeruk aku berbuka puasa pada hari itu. Sehingga teman Taiwanku mengajak mencari makan malam persis di depan pintu gerbang kampus yang juga menjadi venue acara kali ini, Shanghai Jiaotong University (SJTU). Kampus ini memiliki beberapa sub-kampus, di antaranya kampus Minhang ini.  SJTU memiliki sejarah panjang di dunia pendidikan, khususnya bidang engineering. Salah satu presiden kampus yang sangat berpengaruh adalah Tang Wenzhi (Presiden ke-11). Di salah satu sudut kampus Minhang yang sungguh luas dan indah ini, terdapat patung Tang Wenzhi serta sebuah pesan yang sangat inspiratif.

Malam itu, aku memilih menu sederhana semangkuk mie sayur dan ditabur dengan acar. Setelah makan, energi sudah kembali dan aku langsung berinisiatif untuk melihat resto lain yang tersedia di gerbang kampus SJTU. Di dalam hati aku bergumam, tidak mungkin selamanya aku makan mie sayur di sini. Mataku tertuju pada satu resto yang cukup besar, beberapa kali berputar-putar barulah aku melihat papan namanya, DAN melihat sebuah karakter indah di tengah papan namanya. Karakter ini menyejukkan malam pertamaku di Shanghai, ya karakter itu bertuliskan HALAL. Senangnya bukan main, aku langsung mengajak kedua teman untuk menemaniku silaturahim ke penjual.

Kumulai dengan salam dan langsung terlihat senyum dari mereka, namun bahasa masih menjadi masalah. Ya, aksen dan cara bicara penduduk Cina daratan agak berbeda dengan Taiwan sehingga aku tak bisa mencerna apa yang mereka katakan. Untung saja temanku, Hsiang-Erh, langsung menerjemahkannya dan aku pun bertanya di manakah masjid terdekat, karena esok hari adalah Jum’at dan aku sangat ingin bertemu saudara muslim lainnya. Si penjual langsung memberikanku sebuah solusi yang cukup mengejutkan, ia menawarkan agar aku esok hari kembali lagi agar bisa bersama dengan laoban (sebutan pemilik toko) ke masjid. Kenapa mengejutkan? Bayangkan mereka baru mengenalku, membeli makanan di resto itupun belum tapi sudah menawarkan untuk pergi ke masjid bersama, bagiku ini adalah inti dari ajaran innamal mukminu na ikhwah (sesungguhnya setiap muslim itu bersaudara). Sebelum mengakhiri suasana bahagia itu, tak lupa aku memesan menu sahur yang sangat enak, yaitu nasi goreng halal ditabur daging cincang dan tak lupa aku sandingkan dengan ayam goreng yang dibawakan istri tercinta dari Taiwan.

“Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?”Jum’at, tanggal 18 Juli kumulai dengan sangat antusias, ingin melihat rupa Shanghai sebenarnya. Acara utama belum dimulai hari itu, seluruh peserta lomba hanya diharuskan untuk mendaftar ulang, lalu acara bebas. Maklum saja, selain beberapa perwakilan kampus di Cina ini, peserta dari Negara lain pun berdatangan dan harus tiba sebelum hari Sabtu. Tercatat beberapa Negara ikut serta dari Singapura, Vietnam, USA, Jerman, Hongkong, Meksiko, Brasil hingga Rumania. Aku yang sudah semangat’45 ingin menuju masjid, sudah tiba di resto dari pukul 12 siang. Dikarenakan laoban masih harus membuka resto-nya hingga pukul 14, aku pun harus bersabar menunggu.

Di Cina, resto halal tetap buka seperti biasa karena mayoritas pembeli adalah non-muslim. Ternyata dua jam bukanlah waktu yang lama, aku bisa menyelesaikan sebuah tulisan singkat berbentuk reportase untuk dimuat di harian lokal dan menghabiskan satu juz Al-Quran untuk mengejar setoran paling tidak sekali khatam selama Ramadhan. Tepat pukul 14 aku dan laoban segera menuju masjid dan aku cukup heran, ternyata masjidnya terletak di lantai 2 sebuah resto muslim yang tidak jauh dari terminal bus. Tempat yang sangat terbatas ternyata tidak membuat semangat beramal berkurang, aku mendapati beragam saudara muslim ada yang dari Pakistan, Afrika, asli Cina dan Indonesia. Ya seorang muslim Indonesia yang tengah studi S3 di SJTU, namanya mas Riza. Sepulang dari Jum’atan, laoban menanyakan sesuatu padaku dan Alhamdulillah aku bisa mencernanya dengan kemampuan mandarin yang pas-pasan, mungkin terdengar basa-basi dan sederhana tapi lagi-lagi ini sangat indah bagiku,

Aku langsung menjawab, tidak laoban, dan mengulangi kata xie xie (arti: terima kasih) berkali-kali atas kesediannya mengantarkanku ke masjid.

Karena Sabtu merupakan hari yang ditunggu (acara utama), selepas Jum’atan aku harus segera bergegas ke hotel kampus dan menyiapkan beberapa hal untuk kompetisi bersama teman lainnya.

Sabtu, tanggal 19 Juli adalah hari di mana hajat utamaku ke Shanghai akan dilaksanakan. Seluruh tim dari luar China diberikan waktu kurang lebih 60 menit untuk mempresentasikan inovasinya. Sebenarnya level paling ideal untuk kejuaraan ini adalah S1 dan S2, namun karena kami adalah tim undangan yang memenangi kejuaraan tingkat Taiwan maka tidak ada salahnya menyiapkannya dengan sangat serius. Aku bertugas sebagai presenter, sedangkan kedua teman Taiwan-ku bertugas meyakinkan juri di sesi demonstrasi. Tak terasa menjelang siang kami sudah menyelesaikan tugas dan berfoto bersama profesor sebagai kenang-kenangan. Setelahnya, lagi-lagi acara bebas , untuk urusan jalan-jalan aku sudah menyiapkan beberapa spot menarik yang tidak boleh dilewatkan di Shanghai ini, di antaranya: The Bund, Yuyuan garden dan masjid bersejarah di Shanghai (tentunya).

Bagiku puasa adalah momen tidak boleh mengambil terlalu banyak istirahat, makin lama di tempat tidur membuat badan tidak bugar, maka tepat pukul 2.30 siang aku langsung bergegas menuju spot pertama, Yuyuan Garden (taman yuyuan). Taman ini adalah taman klasik terkenal yang berlokasi di Anren Jie dan selesai dibangun pada tahun 1577 oleh petugas pemerintahan dinasti Ming bernama Pan Yunduan. Yu dalam bahasa mandarin berarti kesenangan dan kepuasan, dan taman ini khusus dibangun oleh Pan untuk orang tuanya menikmati masa-masa bahagia di usia tua. Namun sepanjang 400 tahun keberadaannya, taman ini mengalami banyak perubahan, dari masa perang hingga renovasi besar-besaran. Taman yang sekarang bisa dilihat adalah hasil renovasi terakhir selama lima tahun dari 1956 hingga 1961.

Karena seluruh biaya akomodasi dibiayai panitia, sehingga aku cukup menyiapkan sedikit uang saku untuk membeli suvenir. Taman ini sangat luas dan banyak dijajakan makanan khas dan pernak-pernik Shanghai, seperti kue kering, hiasan magnet, gantungan kunci, perhiasan batu giok, piring hias hingga replika lonceng pintu kerajaan klasik Cina. Aku yang baru pertama kali ke Shanghai sudah diberikan beberapa tips jitu berbelanja oleh teman setimku asal Taiwan, dan kebetulan ayahnya telah lama bekerja di Shanghai. Ia mengatakan jika diberi harga awal maka tawarlah dua hingga tiga kali dari harga tersebut , dan aku berhasil saat membeli hiasan dinding dari harga awal RMB 200 menjadi RMB 75 saja (sekitar Rp.142,500). Sebenarnya aku tidak hanya diuntungkan oleh tips itu tapi kemampuan bahasa mandarin yang cukup berkembang setahun belakangan membuat sang ibu penjual sedikit terkejut dan gembira, karena aku bisa berbahasa mandarin dan memperkenalkan diri sebagai seorang mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Taiwan. Setelah hampir sejam mengitari Yuyuan garden, aku tertuju pada satu spot yang tidak kalah klasik namun akan jauh lebih menenangkan dari taman ini, Masjid Fuyou.

Bagi muslim yang tengah berada di sekitar Yuyuan garden sungguh rugi jika tidak ke masjid Fuyou, ia berlokasi sekitar 200 meter dari stasiun Metro Shanghai “Yuyuan garden” exit 3. Dari luar, masjid ini tidak terlalu megah, namun di pintu depan sudah terlihat ciri-ciri keindahannya, muslimah Cina yang mengenakan hijab, penjaja roti halal hingga kaligrafi Arab yang terpampang di gerbang depan. Masjid ini pertama didirikan saat pemerintahan dinasti Qing tahun 1870. Masjid ini digunakan untuk keperluan politik, religius dan pusat kebudayaan muslim. Tahun 1911, muslim Shanghai ikut andil memulihkan kondisi kota ini dengan mendirikan serikat dagang muslim. Tidak hanya itu, imam besar masjid Fuyou, Da Pusheng juga berpartisipasi dalam konferensi agama di Bandung tahun 1955. Hingga hari ini hampir 80,000 muslim Cina dan luar negeri berkunjung tiap tahunnya ke masjid bersejarah ini. Bagiku ini adalah ulangan dari wujud syukurku setelah 2011 lalu mengunjungi masjid bersejarah di Xi’an, China. Pilar-pilar masjid yang terbuat dari kayu, ruang pertemuan yang teduh membuatku nyaman berada di dalamnya. Dimulai dari shalat tahiyyatul masjid, tilawah hingga berbuka puasa bersama di masjid, sungguh tak terlupakan. Saat berbuka puasa aku bertemu dengan keluarga Musa, ia mempunyai anak bernama Nuha, setelah bercakap panjang selama menikmati mie dan bakso daging halal, tidak lupa kami berfoto bersama sebagai saksi abadi bahwa kami adalah saudara, saudara yang diikat oleh tali aqidah.

Ke Shanghai tapi tidak ke “The Bund”? TIDAK SAH , tempat ini adalah simbol Shanghai sudah beratus tahun lamanya. Jarak antara SJTU dan The Bund cukup jauh, namun sarana Metro Shanghai yang informatif dan bisa dikatakan nyaman (walau tidak senyaman MRT Kaohsiung-Taiwan) memudahkan para turis untuk ke sana. Aku hanya perlu menggunakan mesin pencari Google dan hasil pencarian akan memanjakan turis sebelum atau setibanya di Shanghai. Selain informatif, metro Shanghai dan bus dalam kota juga sangat terjangkau. The Bund terletak di tepi barat sungai Huangpu. Spot yang paling menarik dan terkenal adalah 26 gedung dengan model arsitektur yang sangat beragam. Para pengunjung akan melihat desain yang sangat indah ditambah suasana sungai yang hidup. Aku sempat berfoto ria dan mengabadikan beberapa gedung bergaya barat di sekitar The Bund. Banyak upaya pemerintah untuk menarik minat turis, seiring makin cepatnya perkembangan Shanghai beberapa tahun ini.

Upaya terakhir adalah renovasi besar-besaran dari tahun 2008 dengan durasi 33 bulan, yang mencakup pengaturan ulang lalu lintas. Karena Ahad, 20 Juli masih acara bebas bagi peserta, aku langsung melanjutkan perjalanan ke spot yang tidak kalah penting, masjid, ya lagi-lagi masjid. Aku sudah menyiapkan peta untuk menuju satu masjid bernama Masjid Huxi Shanghai. Dari stasiun metro, masjid ini tidak terlalu dekat, untuk menanyakan alamat lengkapnya aku sudah menyiapkan karakter mandarin masjid ini. Seperti di Taiwan, aku meyakini hanya dengan menunjukkan karakter mandarin, mereka akan sangat mudah membantu turis sepertiku, tapi akan jauh berbeda jika menunjukkan alamat dalam bahasa Inggris . Masjid ini bisa dikatakan modern, sama seperti kebanyakan masjid di Indonesia, ruang shalat pria di lantai 1 sedangkan wanita di lantai 2. Masjid ini tercatat sebagai masjid Shanghai pertama yang dibangun ulang pasca era Cina baru (the new China). Di era ini banyak kebijakan pemerintah yang mengatur ulang tata letak bangunan, termasuk pembangunan apartemen sehingga ada beberapa tempat ibadah yang terkena imbasnya.

Dari depan gerbang masjid sudah terlihat kekhasannya, dari jauh terlihat pilar tinggi dan sebelah kiri ada toko penjualan daging halal. Setelah shalat sunnah dan tilawah aku sempat mengelilingi area masjid ini, ada ruang belajar, kantor imam, ruang penginapan dan tempat mandi. Menjelang berbuka puasa, para muslim Cina terlihat sangat sibuk karena banyak dari mereka yang akan berbuka puasa di masjid, termasuk aku sang musafir. Di masjid ini aku bertemu dua saudara baru, namanya Hasan dan Ali, asal India. Dokter Hasan adalah mahasiswa doktor yang telah menetap 7 tahun di sini, sedangkan Ali masih menempuh studi S1 di salah satu kampus terbaik China, Shanghai Fudan University. Seperti biasa setelah santap menu berbuka yang lagi-lagi mie ditabur daging cincang yang luar biasa banyak, kami mengambil foto bersama sebagai kenang-kenangan dan bekal bagus jika kembali ke Shanghai karena sudah ada saudara baru di sini. Perjalanan Ahad ini sangat indah, setelah kemarin bertemu Musa kini aku melihat begitu teduhnya ukhuwah Islam di masjid Huxi.

Senin, tanggal 21 Juli adalah hari terakhir, berarti misi terakhir pun harus segera terlaksana, membeli cinderamata untuk istri yang ditinggal di Taiwan . Hari ini seluruh peserta harus bersiap dari pagi buta, karena kami akan berkunjung ke perusahaan Intel® regional Shanghai. Untuk kawasan asia pasifik, Intel® Shanghai merupakan pusat riset dan pengembangan. Setelah mempelajari budaya kerja di perusahaan ternama ini, kami mengikuti sesi brainstorming oleh dua wirausahawan sukses Cina di di bidang teknologi informasi. Acara baru usai pukul 12 siang, jadi waktuku untuk jalan-jalan hanya tersisa beberapa jam saja. Setelah berdiskusi panjang dengan temanku, ia menyarankan untuk pergi ke sebuah spot belanja yang memiliki kualitas bagus dan langganan para turis, namanya Tianzifang. Spot ini terletak di distrik Dapuqiao, dan sangat mudah jika menggunakan Metro Shanghai, cukup mencari stasiun Dupuqiao exit 1. Awalnya distrik ini terdiri dari kawasan huni yang sudah cukup tua, namun dikarenakan arsitektur bangunan yang dilestarikan, pada akhirnya disulap menjadi outlet-outlet, resto dan bar.

Daya tarik Tianzifang makin kuat dengan adanya pusat seni seperti lukis wajah, ukir foto 3 dimensi, dan penjualan perhiasan khas Cina. Aku baru tiba di Tianzifang menjelang pukul 19 malam dan segera mengelilingi kawasan ini dengan harapan ada resto yang bisa dikunjungi untuk mengisi perut setelah berbuka puasa. Namun, Allah SWT memberikan sesuatu yang lebih, entah kenapa aku seperti terbawa ke satu jalan sempit yang akan mengantarkanku pada ujung dari kawasan Tianzifang ini, dan resto pertama yang kulihat di sana adalah resto mie daging HALAL khas muslim Lanjou, China. Tidak berhenti lisan mengucap syukur, sang musafir akan bertemu saudara barunya lagi. Sebelum masuk resto aku sempat mengabadikan papan namanya dan langsung memesan menu spesial Lanjou beef noodle. Sambil menunggu hidangan siap, aku kembali menggunakan bahasa mandarin pas-pasan dan menanyakan apakah ada ruang yang bisa kugunakan untuk shalat, dan ternyata laoban langsung mengantarkanku ke ruang tidurnya persis di sebelah dapur, dua sajadah telah terhampar di sana. Selepas shalat, hidangan pun siap lalu tanpa ambil jeda kutuntaskan dalam hitungan menit, Alhamdulillah maknyuss. Ketika hendak pamit dan menanyakan harga pesanan, sang laoban dengan senyumnya mengatakan, bu yong!!, yang artinya aku tidak perlu bayar, alias gratis. Setelah foto bersama laoban dan kakaknya, segera setelah keluar resto aku berdoa sejenak, semoga kebaikan laoban memberikan makan orang yang berbuka puasa sekaligus musafir ini dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan dan keberkahan berlipat.. amin.

Shanghai meninggalkan memori indah tentang kemurnian Islam, bahwa semua kita adalah saudara, bukanlah Negara, suku dan ras yang menjadi pertimbangan, tapi amal kita selama di dunia.

Tulisan oleh-oleh Ramadhan ini kupersembahkan untuk keluarga kecilku.

Wallahua’lam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Sekretaris Jenderal FORMMIT (Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan) 2011/12. NSYSU, Taiwan

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization