Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Opera Bidadari

Opera Bidadari

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Hujan selalu menyuguhkan kesejukkan. Tak hanya dalam rinainya yang menawan. Akan tetapi juga pada desir keajaiban yang seringkali datang. Jika Ti Pat Kay berkata bahwa derita cinta tiada pernah berakhir, mungkin benar. Walau dulu aku seringkali menganggap bodoh pernyataan yang selalu diulang-ulang Pat Kay. Kau tau kan siapa Pat Kay? Ya, siluman babi menjijikkan. Yang cintanya selalu saja bertepuk sebelah tangan.

Begitulah cinta, deritanya tiada akhir… mungkin memang benar ada karma di dunia ini. Dan aku sedang menikmati tiap sensasi menakjubkan yang ditoreh oleh sang karma. Ada rindu yang merayu, ada suka yang tiada jemu, ada bunga yang tak pernah layu… Sejak dulu, begitulah cinta, deritanya tiada akhir.

Aku tidak tahu apakah memang benar ini cinta. Aku bahkan tak tahu siapa namanya. Tapi sosok lelaki itu, selalu hadir di setiap bayangku. Mungkin ilusi. Tapi benarkah ini bukan mimpi? Aku mencintai seseorang yang bahkan belum aku kenal. Sementara hatiku terus saja berbisik jika ia telah teramat dekat dengan hati lelakiku. Aku benar-benar tak percaya. Hingga hujan dan pelangi berjanji akan menjadi saksi nyata bahwa ia bukan fatamorgana.

Entah rasa apa yang membuatku terus mempercayai bahwa ia pernah ada dalam sepotong episode hidupku. Letih, kucoba urai keping demi keping mozaik hidupku yang berserak. Percuma, aku tak mampu mengingat sosok lelaki itu sebelumnya. Sosok berwajah teduh itu… benar-benar membuatku kelimpungan. Hari-hariku kini kuhabiskan hanya untuk menanti hujan. Karena hujanlah yang dapat mempertemukanku dengan sang pemilik senyum menawan.

Pangeran hujan, ah mungkin terlalu berlebihan. Lelaki yang mencintai hujan. Benarkah? Aku bingung bagaimana aku akan memanggilmu. Lelakiku… lelakiku? Hah? Sekedar menyapanya saja aku belum pernah. Ini konyol!

”Ngapain senyum-senyum sendiri?” Raymonda menatapku curiga. Tersenyum? Ah, aku tidak sadar jika sudut bibirku memang tertarik ke atas beberapa inchi. Tipis. Segera kupudarkan senyumku perlahan agar tak tampak aneh di hadapan sahabat dekatku, Monda.
“Mau pulang bareng? Hari ini nggak ada rapat, kan?” Monda menatapku cemas. Dia pasti merasa ada sesuatu yang sedang aku sembunyikan darinya. Wajahnya menatapku bingung. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya, ”Kau mau menanti hujan?”
”Heh?” secepat kilat aku menoleh ke arahnya. Aku benar-benar tak menyangka jika Monda mengetahui kebiasaan baruku ini. Aku khawatir jangan-jangan dia juga mengetahui perihal rasaku terhadap lelaki itu.
”Sudahlah Yass, beberapa minggu ini aku selalu memperhatikanmu. Kau tak pulang dan menunggu hujan. Lantas jika hujan telah menghilang, kau tunggu pelangi datang.” lagi-lagi Monda membuat pernyataan yang membuat hatiku semakin berdebar.
”Aku tahu, dan aku tahu sekarang ada yang sedang kau sembunyikan dariku.” Monda mendesah pelan. ”Kau tidak lagi percaya denganku?” tanyanya sedih.
”Bu… bukan begitu,” kataku tergagap menjawab pertanyaannya yang tidak pernah kuduga. Maksudku, ah, tega sekali lelaki hujan itu. Aku bahkan tak tahu apa yang harus kukatakan pada Monda. Apa yang harus kuceritakan? Sementara aku sendiri tidak paham apa rasa ini.
”Kenapa? Ada apa? Aku selalu melihatmu. Aku tahu kau pergi di koridor ini, lalu kau menuju masjid, setelahnya kau bersiap untuk menyambut hujan.” Monda berkata di antara isaknya.
Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku merasa mengkhianati persahabatanku dengan Monda selama ini. Mengkhianati persahabatan dengan alasan konyol. Kurasa ini memalukan. Dan aku tak menyangka jika Monda benar-benar menaruh perhatian yang besar kepadaku.
Aku sadar jika akhir-akhir ini aku tak lagi ada untuk Monda. Aku tak lagi menemaninya hunting buku baru, mencari baju, jalan-jalan ke mall, pergi ke salon, perpustakaan, kafe. Ah, semua ini gara-gara lelaki hujan itu.
”Kau selalu pergi ke masjid kampus kan, Yass? Aku tahu dan akan selalu tahu,” Monda kembali menyadarkan lamunanku. Ada yang terlupa. Lelaki itu tak hanya mencintai hujan. Ya, ia mencintai masjid. Aku sampai hafal jam berapa dia datang. Aku paham, teramat paham. Kapan ia duduk di tengah-tengah sekelompok orang yang melingkarinya, kapan ia duduk di depan mereka dan kapan lelaki itu membaur bersama yang lainnya.
Aku selalu menatapnya dari kejauhan. Kadang aku mendapati wajah teduhnya di waktu dhuha, tak jarang aku menunggunya hingga senja. Dan jika hujan datang, ia tantang petir yang menggelegar itu dengan merdu tilawahnya. Ia buka mushafnya, ia eja setiap ayat cinta dengan sahdu hatinya. Dan aku serta langit, selalu tersentuh jika melihat bening terselip di sudut matanya.
”Yass, aku pulang,” kata Monda tiba-tiba membuyarkan ingatanku tentang lelaki itu.
”Monda…” aku berkata parau. Sejujurnya, aku juga sedih melihat sikapku.
”Ada apalagi Yassmin? Kau akan menunggu hujan lagi bukan?” Monda berkata sinis. Ia mulai berbenah dan beranjak berdiri.
”Tidak, aku akan pulang bersamamu.” Jawabku akhirnya yang membuat Monda terbelalak tak percaya. Kini ekspresinya seumpama pengembara yang menemukan oase di luasnya sahara, kala dahaga terasa sangat menyiksa.
”Benarkah?” tanyanya tak percaya. Aku mengangguk perih. Sementara Monda, ia sudah bersiap menyusun rencana yang akan kita lakukan hingga senja nanti sebelum hujan biasa tiba.

***

Begitulah. Hari itu aku tak dapat melihat sosok lelaki hujanku. Itu artinya, aku harus rela jika malam ini mataku harus terbuka lebih lama untuk melukis wajahnya di langit kamar. Lelah, kuputuskan menyapa kantuk dengan membaca beberapa novel Monda yang memang sudah berada di tempatku beberapa hari lalu.

”Kata Ummi, bidadari itu cantik. Kulitnya putih bersih, rupanya jelita, pandangannya sopan tak menggoda, sanggulnya terbuat dari intan dan permata dan senyumnya memabukkan siapapun yang menatapnya…” aku sangsi, ia sampai berbusa saat menceritakan kekagumannya pada bidadari.
”Dan kau tahu?” matanya tajam menatapku. Aku menggelengkan kepala pasrah. Tak tahu kemana lagi maksud pembicaraannya. Sementara dia tersenyum dan menatap langit, ”Kurasa, kau pantas menjadi bidadari.”
”Aku???” tanyaku bingung. ”Bisakah?”
Dia mengangguk cepat. ”Tentu, jika kau mau berusaha. Kau jalani tiap apa yang dititahkan-Nya padamu dan kau jauhi setiap apa yang dilarang-Nya untukmu. Dan kau akan lebih tampak mempesona daripada para bidadari.” jelasnya panjang lebar. Hatiku segera saja bersemu malu.
”Ini buatmu, semoga sukses jadi bidadari ya?” katanya sembari menyerahkan sebuah kotak mungil dengan sampul kertas berwarna merah jambu. Aku menerimanya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku. Sebuah rangkaian dari manik-manik berwarna ungu buatan tanganku.
”Dan ini untukmu,” kataku menyerahkan rangkaian itu kepadanya. ”Ada tiga puluh tiga manik-manik yang kurangkai sendiri.” aku melihat wajahnya yang menatap kagum rangkaianku.
”Pasti akan aku jaga,” sahutnya sembari menggenggam erat manik-manikku.
”Aku percaya.”

”Yaassmiiin… kau mau tidur sampai kapaaan???” suara Mama telah sempurna membuatku melompat dari tempat tidur seketika. Aku tertegun sejenak, memikirkan mimpi yang baru saja aku alami. Sepertinya aku mengenal siapa dua sosok anak kecil yang ada di mimpiku tadi. Itukan aku! Dan anak laki-laki itu…
”YASSMIN…!” segera saja kusambar handuk dan berlari ke kamar mandi.

***

Perjalanan menuju kampus pagi ini kuhabiskan untuk memikirkan di mana bingkisan yang diberi oleh anak laki-laki itu. Aku terus berpikir keras dan menyadari jika bingkisan itu sudah lama tertinggal di gudang Kakek nun jauh dari rumahku kini.  Bingkisan yang setelah kubuka berisi Iqra’ dari jilid awal hingga akhir. Aku senang kepalang saat itu. Karena dahulu, aku dan teman-teman kecilku selalu bergantian memakai Iqra’ milik Kak Fatimah tiap kami selesai shalat maghrib di surau. Ah, kenapa aku sampai bisa melupakan anak laki-laki itu?
Sampai di kampus, hanya hampa yang kudapati. Aku benar-benar lupa jika hari ini tidak ada mata kuliah yang kuambil. Tanpa tersadar, kakiku melangkah menuju tempat yang akhir-akhir ini membuatku rindu. Ya, masjid kampus. Aku menyandarkan tubuhku di salah satu tiang yang berada di tempat perempuan. Kukipasi tubuhku yang berbalut kaos yang sangat ngepas dengan badan rampingku, entah kenapa hari ini panas sekali!

Mataku menangkap sosok-sosok para jilbaber yang sedang mengulang hafalan Quran mereka. Aku tersenyum miris mengingat aku pernah menjadi bagian mereka, juga mengingat gamis-gamisku yang kini pasti sudah usang karena kumuseumkan akibat pergaulanku kini dan sesuatu yang membuatku marah dengan takdir. Tiba-tiba saja aku merasa malu dan teringat akan kisah para bidadari. Mana bisa aku jadi bidadari? Diuji sedikit saja, aku sudah tidak kuat. Aku meringis getir.

”Mbak, sudah lama di sini?” sapa seseorang tiba-tiba.
”Eh, baru aja kok.” sahutku terkejut sambil menatap sosok berbalut gamis hitam dengan jilbab senada. Aisyah, adik tingkatku.
”Emh, Mbak sekarang aku lihat sering pergi ke masjid ya?” Aisyah menatapku sambil tersenyum.
”Eh, oh, iya. Habis mau nunggu hujan di mana lagi.” jawabku asal. Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri yang menjadikan masjid sebagai alasan tempat berteduh dan perbuatan memalukanku: melihat sang pangeran hujan.
”Mbak Yassmiin kenal Kak Fatih?” tanya Aisyah kemudian.
”Fatih?” aku mencoba mengingatnya. ”Muhammad Al Fatih maksudmu? Penakluk konstatinopel itu?” aku menerka-nerka asal.
Aisyah hanya tergelak. ”Wah, bukan Fatih itu yang kumaksud.” kata Aisyah. Memang semenjak sering ke masjid, tanpa sadar aku selalu mendengarkan kajian para jilbaber itu. Aku jadi paham istilah-istilah seperti ikhtilat, tabarruj, khalwat, akhwat, ikhwan, bahkan kisah-kisah pejuang islam seperti Muhammad Al Fatih.
”Terus siapa dong?” tanyaku putus asa.
”Itu,” Aisyah menunjuk kearah sekerumunan orang yang membentuk lingkaran. ”Yang ada di tengah.” lanjutnya. Aku merasa jantungku tiba-tiba saja berhenti berdetak. Kucoba mencermati ke mana jari telunjuk Aisyah mengarah. Tepat. Pada sosok yang selama ini membuat hatiku gelisah. Lelaki hujanku.
”Fatih As-Sauqi,” desis Aisyah kemudian. Dan hatiku benar-benar akan melompat saat mataku tak sengaja bertemu pandang dengan lelaki hujanku yang kini tersenyum kepadaku lantas wajahnya tertunduk malu.
Aisyah membuka telapak tanganku dan meletakkan sebuah rangkaian tasbih berwarna ungu yang sedikit memudar. ”Kak Fatih ingin mengkhitbah kakak, ingin menjadikan kakak sebagai Bidadari surga.” kata Aisyah yang tak henti-hentinya membuat jantungku lebih cepat bertalu.
”Kak Yasmin ingat aku? Umurku masih 3 tahun saat Kakak meninggalkanku dan Kak Fatih.” Aisyah tersenyum mendapati mulutku yang menganga lebar. Bibirku kini benar-benar kelu.
Lelaki hujanku, ternyata akan terus menjadi keping demi keping episode terindah dalam hidupku. Dan cinta, ternyata memang tak selamanya berujung pada derita seperti sangkaku.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Zulfa Rahmatina merupakan sarjana Psikologi. Asisten peneliti di Center for Islamic and Indigenous Psychology (CIIP) UMS (2015-2019), dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan sebagai pemimpin redaksi Majalah Pabelan (2017). Tulisan-tulisannya tergabung dalam buku-buku antologi yang diterbitkan oleh penerbit mayor maupun indie.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization