Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Indonesia (Belum) Merdeka

Indonesia (Belum) Merdeka

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (inet)
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Menjelang bulan Agustus mendatang, pertanyaan besar yang sampai kini belum terjawab adalah sudahkah Indonesia merdeka? Pertanyaan semacam ini tentu tidak secara tiba-tiba  muncul, melainkan banyak hal yang melatarbelakanginya.

Ini bukan terkait dengan teks proklamasi yang pada tempoe doeloe dibacakan oleh Soekarno-Hatta. Tapi tentang bagaimana dengan nasib Indonesia selanjutnya. Saat mengikuti program pengabdian menjadi relawan pendidikan di daerah 3 T (Terluar, Terdalam dan Tertinggal) di seluruh Indonesia, baru benar-benar menyadari bahwa bangsaku (belum) merdeka.

Sebuah pengalaman ketika terjun melakukan pengabdian masyarakat selama 1 bulan di Kabupaten Garut bagian selatan, Pameungpeuk. Desa Mekarmukti namanya, berpenduduk sekitar 3000 orang. Daerah ini disebut sebagai daerah terpencil lantaran akses menuju kantor kecamatan, puskesmas, sekolah, pasar dan sarana lain yang cukup jauh.

Dari kantor Kecamatan menuju Mekarmukti bisa ditempuh dengan sekitar 1 jam perjalanan melewati jalanan berbatu dan menanjak. Tidak ada angkutan umum yang ada hanya ojek dan mobil truk besar pengangkut padi. Biaya ojek pun lumayan mahal, untuk bisa pulang pergi harus menyiapkan uang sekitar Rp 100.000.

Berdasarkan banyak hal tersebut, yang paling menjadi sorotan dan sangat krusial adalah kualitas kesehatan dan pendidikan. Demografi gunung dan pesawahan membuat sanitasi di daerah ini kurang terpelihara. Para warga mandi di pancuran air dari gunung yang mereka buat di atas sawah atau empang ikan. Jarang sekali rumah yang memiliki kamar mandi dan toliet di rumah. Sedangkan pancuran semacam tadi hanya dimiliki beberapa orang saja.

Fasilitas pendidikan di sana sangat memprihatinkan, pasalnya dengan penduduk desa sebanyak itu hanya ada dua SD dan satu SMP. Kesadaran masyarakat tentang pendidikan pun masih terbilang rendah. Dengan mata pencaharian yang mayoritas sebagai pekebun dan kondisi ekonomi yang pas-pasan menjadi salah satu alasan mereka. Terlepas dari itu semua hal paling krusial tentang pendidikan adalah kualitas guru.

Sebut saja SDN II Mekarmukti dan SMPN I Atap masing-masing memiliki sekitar 10 dan 9 guru. Dari jumlah guru tersebut hanya 4 orang yang sudah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Bahkan di SMP dari 9 orang guru 6 di antaranya merupakan lulusan SMA.

Saat ini ketika melakukan pengabdian daerah timur Indonesia yakni di Loloda Kepulauan, salah satu kecamatan di Kabupaten Tobelo-Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara, persepsi bahwa Indonesia (Belum) Merdeka semakin jelas adanya.

Di kepulauan ini ada dua bagian pulau; pulau Doi dan pulau Panjang. Tinggal mengabdi selama satu tahun ke depan tepatnya di pulau panjang yang terdiri dari 5 desa; Salube, Dama, Dagasuli dan Dedeta. Selain di Garut Selatan tadi, di Desa Dedeta dan keempat desa inilah yang menggambarkan betapa nasib bangsa ini masih memprihatinkan.

Listrik yang hanya berjalan dari jam 6 sore hingga jam 11 malam menggunakan mesin diesel. Lepas waktu tersebut, desa ini layaknya desa mati yang tak berdaya. Seperti halnya tak berdaya pendidikan di sini. Hanya ada satu SD dengan 5 guru termasuk kepala sekolah, 3 di antaranya sudah PNS.

Murid-murid SD kelas atas 4,5,6 bahkan yang beranjak ke SMP banyak yang belum bisa membaca dan menulis. Bacaan beberapa dari mereka masih terbata-bata. Tak hanya itu, kompetensi dalam hal lain; percaya diri, kreativitas dan lainnya pun menjadi terpengaruh.

Adalah Bu Cornelia, seorang Sekretaris dinas Pendidikan Kabupaten Tobelo yang menangis tatkala menyambut kedatangan 5 Relawan Sekolah Guru Indoneesia-Dompet Dhuafa. Beliau trenyuh ketika ada manusia-manusia Jakarta yang terpisah jarak jauh-jauh datang menuju “Tanah Buangan”.

Beliau menangis karena ternyata orang-orang Tobelo pribumi banyak yang mundur ketika ditugaskan mengajar, mengabdi di Loloda Kepulauan. Sebab jarak yang harus ditempuh menuju tempat ini adalah 9 jam menggunakan kapal laut. Akses informasi dan jaringan hampir tidak ada.

Maka, mari bersama kembali hidupkan semangat kemerdekaan dengan mengabdi pada negeri dengan segala ketulusan jiwa. Sebab, mengabdi merupakan satu jalan untuk dapat mendengar jeritan bangsa ini, “Aku (Belum) Merdeka!”. Sebab jika bukan kita, siapa lagi?

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Aktif di Lembaga Dakwah Mahasiswa UIN SGD Bandung dan KAMMI UIN SGD Bandung, Lembaga Pers Mahasiswa, kuliah Jurusan Jurnalistik 2009, aktif menulis juga di koran nasional Media Indonesia, anak ketiga dari tiga bersaudara, asal Ciamis Jawa Barat.

Lihat Juga

Menlu RI: Palestina Menjadi Agenda Utama Kemlu 2017

Figure
Organization