Khutbah Idul Fitri 1435 H: Ciri Ketakwaan Sebagai Refleksi Kemenangan Sejati di Hari yang Fitri

Ilustrasi. (diwani-art.blogspot.com)

الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهدي الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. أشهد أن لا اله الا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى اله وأصحابه أجمعين. أما بعد فيا عباد الله أوصيكم ونفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون.

الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد

dakwatuna.com – Puji syukur layak terpanjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Agung, penguasa kerajaan langit dan bumi yang tiada henti mencurahkan rahmat-Nya untuk kita sekalian. Dia-lah yang telah menganugerahkan fajar cerah di pagi ini yang memancarkan sinarnya menghampar ke segala penjuru bumi, sinar yang menghembuskan hawa kebahagiaan hingga wajah-wajah kita terlihat begitu menawan dengan senyuman kebahagiaan dan hati-hati kita terasa begitu damai dan tenteram. Inilah dampak kemenangan yang telah kita raih, kemenangan atas hawa nafsu dan kemenangan atas iblis yang terkutuk serta bala tentaranya, namun di antara semua itu hikmah dari kemenangan yang terpenting bagi kita adalah keberhasilan meraih pakaian taqwa yang menjadikan kita begitu mulia di sisi Allah SWT.

Idul Fitri, inilah hari besar yang kita rayakan, inilah hari yang penuh cinta, inilah hari yang telah sanggup menghalangi manusia dari berbagai perbuatan mudharat. Hari ini, tindak kriminalitas menurun secara drastis, perbuatan maksiat dan fahisyah turun hingga ke titik nadir, hampir tak ada penjahat yang ditangkap, pengadilan atas kejahatan terhenti untuk sejenak. Peperangan, pembantaian, penindasan juga sirna untuk sebentar. Orientasi keduniaan kita yang cenderung menghiasi kehidupan kita di ruang-ruang kerja, di kantor, di tempat hiburan, di pusat-pusat perbelanjaan, di darat dan di lautan juga untuk sementara waktu kita redam. Kebisingan kota, hilir mudik kendaraan di jalanan, keriuhan di pasar-pasar dan mall-mall, juga kesibukan di perkantoran, di pabrik-pabrik untuk sejenak juga lengang berganti dengan riuh suara takbir, tahmid dan tahlil.

الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد

Di hari yang penuh berkah ini, dunia dipenuhi kedamaian dalam indahnya nuansa silaturahim. Saling berbagi dan saling menyapa menghias di tengah gema takbir, tahmid dan tahlil yang terus berkumandang. Itulah pekik kemenangan kita setelah berpuasa sebulan penuh, tidak hanya sekedar kemenangan fisik belaka dengan sekedar mengalahkan hawa nafsu perut kita dan hawa nafsu seksual kita, akan tetapi lebih dari itu kita telah berhasil memenangkan orientasi atau tujuan ukhrawi kita atas syahwat duniawi kita.

Jamaah ‘Ied rahimakumullah …,

Sebagai orang beriman tentu kita memahami bahwa segala anugerah dan nikmat batin yang kita rasakan di hari raya ini tidak terjadi begitu saja. Allah SWT jualah yang telah menghendaki kemenangan ini, Dia yang telah menghendaki hadirnya rasa bahagia di hati ini, Dia yang telah menghendaki kelapangan di dada ini hingga kita menjadi begitu pemurah dan mudah memaafkan kesalahan orang, Dia pulalah yang menghendaki hadirnya rasa haru di hati kita tatkala membayangkan wajah-wajah orang yang kita kasihi tidak lagi bersama kita di hari yang penuh bahagia ini. Bagi sanak famili yang jauh, Alhamdulillah dengan kecanggihan alat komunikasi di era modern ini kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang tercinta kita dengan erat walau tangan ini tak sanggup untuk terjabat. Namun bagi orang-orang terkasih yang telah mendahului kita maka apalah daya, hanya doa yang dapat kita panjatkan sebagai bentuk salam kerinduan kita untuk mereka yang dulu pernah kita kecup tangannya yang terbalut keriput, dan dulu pernah kita peluk erat tubuhnya yang telah tua renta. Kini kebersamaan itu tiada lagi, sosok orang-orang yang kita kasihi itu kini terkulai di bawah seonggok tanah berbatu nisan, makamnya yang belum tentu dapat kita ziarahi setiap saat. Semoga Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita.

الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد

Jamaah ‘ied rahimakumullaah,

Marilah kita merefleksi dan merenungkan sejenak kemenangan dari hasil perjuangan kita yang dianugerahkan Allah SWT melalui Ramadhan-Nya yang insya Allah sanggup kita pertahankan dalam keseharian hidup sebagai ciri ketaqwaan kita. Di antara kemenangan itu adalah:

1. Kemurahan Hati  Kita yang Mengalahkan Sifat Kikir dan Tamak

Ketamakan dan kekikiran adalah adalah sisi buruk dari perilaku manusia yang mendatangkan mudharat. Inilah sumber malapetaka sosial yang melanda umat negeri ini. Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang melanda negeri ini telah memporak-porandakan pranata sosial di tengah-tengah masyarakat. Jurang pemisah antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, ulama dan umatnya semakin terasa begitu menganga. Di tengah maraknya kemewahan yang dipertontonkan oleh kalangan elit yang semakin materialistik di atas negeri yang bertebaran 60 juta orang miskin ini sangat mungkin menimbulkan ‘kekecewaan sosial’ dan melahirkan ‘kemarahan massal’ dari mereka secara langsung ataupun tidak menjadi korban ketamakan dan kebakhilan kalangan elit di negeri ini.

Ramadhan telah mengantarkan manusia lebih dekat kepada nilai-nilai kemanusiaannya. Membangun kecintaan kepada sesama manusia, menebarkan kasih sayang, silaturahim, serta menebar kemurahan hati akan menciptakan pranata sosial yang bersahaja karena akan terjadi harmoni yang indah antara semua elemen dalam masyarakat; antara kaya dan miskin, konglomerat dan kaum melarat, pejabat dan rakyat jelata, pemimpin dan bawahan, ulama dan umat dan seterusnya. Di bulan Ramadhan kepekaan sosial kita terasah. Dengan puasa, kita terlatih untuk melakukan pengorbanan dan bermurah hati.

Dr. Carl, seorang psikoanalis mengatakan, “untuk mencapai peningkatan yang simultan dan menyeluruh harus diikuti dengan pengorbanan dan ketulusan. Kemurnian jiwa hanya dapat dicapai dengan mengorbankan materi dan popularitas. Pengorbanan diri adalah kebiasaan orang-orang yang memahami keadilan dan kebenaran iman kepada Allah. Orang yang mengorbankan jiwa mereka untuk keadilan, cinta dan keharmonisan telah mampu mengawinkan antara akal, cinta serta kasih sayang. Pada keadaan inilah manusia akan mencapai puncak mega keindahan, cahaya kebenaran dan keadilan.” Mungkin inilah yang sering kita anggap dengan kepuasan batin yang tak dapat dinilai dengan harta.

Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang murah hati dan berakhlak baik selalu berada di bawah lindungan Allah. Allah selalu dekat dengan mereka dan akan membimbing mereka menuju kebahagiaan . Tidak ada seorang yang adil yang tidak memiliki sifat pemurah dan kasih sayang”.

Mari kita renungkan sebuah kisah bagaimana ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA telah mengajarkan kemurahan hati pada keluarganya yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa pada suatu ketika kedua putra Ali bin Abi Thalib , Hasan dan Husain sedang sakit parah, maka Ali dan istrinya Fathimah binti Rasulullah bernazar apabila kedua putra mereka sembuh maka mereka akan berpuasa 3 hari sebagai tanda syukur. Atas karunia Allah SWT kedua anak merekapun sembuh. Keduanya pun mulai berpuasa nazar. Akan tetapi mereka tidak memiliki sesuatu walau sekedar untuk makan sahur dan berbuka. Mereka berpuasa dalam keadaan sangat lapar. Pada pagi harinya, Ali pergi kepada seorang Yahudi bernama Syam’un. Ali kemudian berkata kepadanya: ‘Jika engkau ingin menyuruh seseorang untuk memintal wol dengan imbalan, maka istriku bersedia melakukannya’. Orang Yahudi itu menyetujui dengan kesepakatan satu gulung wol dihargai tiga sha’ gandum. Pada hari pertama, Fathimah memintal sepertiga bagian wol, kemudian ditukarkan dengan 1 sha’ gandum, lalu ditumbuk dan dimasaknya menjadi 5 potong roti kering, yakni untuk Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan seorang hamba sahaya perempuannya bernama Fidhdhah. Ketika waktu berbuka puasa tiba. Ali baru saja kembali dari shalat maghrib berjamaah dengan Rasulullah. Fathimah pun dalam keadaan letih setelah bekerja seharian penuh kemudian menyiapkan hidangan untuk keluarganya, tikar alas makan telah dibentangkan, di atasnya telah disiapkan roti dan air. Ali mengambil roti bagiannya, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara seorang fakir dari balik pintu rumah sederhana mereka yang mengharap belas kasih agar diberi makanan, ‘ Wahai keluarga Muhammad, aku seorang fakir, berilah makanan kepadaku, semoga Allah SWT memberimu makan dari makanan surga’. Ali kemudian mendatangi pengemis itu dan memberikan roti keringnya. Seluruh keluarganya juga tak tinggal diam, mereka juga memberikan roti mereka. Ali memberitahukan bahwa dia telah memberikan rotinya kepada pengemis itu. Namun mereka menjawabnya, ‘kami juga ingin memperoleh kehormatan di sisi Allah seperti engkau, biarkanlah kami memberikan milik kami’. Akhirnya merekapun hanya berbuka dengan segelas air pada hari itu. Allah menguji mereka dengan keadaan itu selama tiga hari, dengan berturut-turut didatangi oleh anak yatim dan seorang tawanan dan merekapun melakukan hal yang sama.

Pada hari ke empat mereka memang tidak berpuasa, tetapi apalah juga yang mau dimakan. Hari itu tak ada makanan apapun di rumah mereka. Ali RA kemudian membawa kedua anaknya Hasan dan Husain sambil berjalan tertatih-tatih karena menahan lapar mengunjungi Rasulullah SAW sekedar untuk menghibur hati. Rasulullah SAW kemudian bersabda: ‘Sungguh menyedihkan hatiku melihat kalian menderita kekurangan dan kesengsaraan. Mari kita temui Fathimah’. Rasulullah SAW menemui putrinya Fathimah yang dilihatnya sedang mengerjakan shalat nafil. Mata Fathimah terlihat cekung. Perutnya tertarik sampai menempel ke punggung karena sangat lapar. Rasulullah SAW kemudian memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang dan mendoakan rahmat Allah baginya dan keluarganya. Pada saat itulah malaikat Jibril AS mendatangi Rasulullah SAW untuk menyampaikan kabar dan wahyu.

Kejadian itu telah menggetarkan ‘Arsy Allah karena para Malaikat bertasbih memuji perilaku keluarga yang mulia itu. Kisah inilah yang menjadi asbab nuzulnya Surat al-Insan, di mana pada ayat ke-8 dan 9 Allah SWT berfirman:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا   .   إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلا شُكُورً

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 8 – 9)

2. Keikhlasan Kita yang Mengalahkan Sifat Riya

Mukhlisin adalah golongan orang-orang yang Allah SWT begitu ridha dengan mereka. Namun seikhlas-ikhlasnya dalam setiap amal tidak boleh sedikitpun merasa aman dari penyakit riya. Di sinilah peran kesabaran dalam ketaatan menjalankan perintah Allah SWT. Kesabaran adalah proses puncak menuju maqam mukhlisin. Puasa mengajarkan kita tentang bagaimana sebuah amal yang kita kerjakan hanya diketahui oleh Allah SWT. Keadaan kita berpuasa atau keadaan tidak berpuasa menjadi rahasia antara kita dengan Allah semata. Inilah hikmah penting ibadah puasa kita. Melalui puasa sebulan penuh Allah men-tarbiyah kita untuk belajar meluruskan niat beramal agar tak tersusupi oleh sifat riya, ujub dan sum’ah. Riya menjadi penyebab rusaknya amal seseorang hingga tidak bernilai sama sekali di sisi Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW menyampaikan kekhawatirannya di depan para sahabat utamanya, “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, maka para sahabat bertanya: ‘apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?’. Beliaupun bersabda: ‘Syirik kecil itu adalah riya’. Pada hari kiamat ketika manusia dibalas dengan amal perbuatannya maka Allah akan berkata kepada orang-orang yang berbuat riya: ‘pergilah kalian kepada apa-apa yang kalian berbuat riya’, maka lihatlah apakah kalian mendapat balasan dari mereka”. (HR. Ahmad).

Tak ada seorangpun yang dapat merasa aman dari perbuatan syirik kecil ini bahkan para sahabat utama sekalipun seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab tidak merasa aman darinya apalagi kita yang banyak disibukkan oleh perkara-perkara dunia.

Penyakit riya amatlah berbahaya karena ia menjangkiti seseorang bukan dalam keadaan seseorang bermaksiat tetapi justru ketika seseorang beramal shalih. Selain itu bila seorang yang beriman dalam amal shalihnya ternodai oleh sifat riya, berarti terdapat dalam dirinya  satu bagian dari sifat-sifat kaum munafiqun.

Allah SWT berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan apabila mereka (kaum munafiq) berdiri mengerjakan shalat, maka mereka berdiri dalam keadaan malas dan riya di hadapan manusia dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisaa’: 142)

Puasa adalah ibadah sirriyyah (tersembunyi) antara hamba dengan Khaliqnya. Di sinilah kita diajarkan untuk mengalahkan sifat riya. Berbeda dengan shalat yang dapat terlihat dari gerakannya, zakat yang nampak dari pemberiannya, dan haji yang nampak dari manasiknya. Banyak dari kalangan ahli ibadah ketika amal-amal kebajikannya ditimbang justru sama sekali tidak membuat mizan itu bergerak. Hal ini dikarenakan amal-amalnya tersebut ternodai oleh sifat riya.

Perbaikilah selalu niat kita dalam beramal, landasilah dengan keikhlasan. Bila terbersit riya di dalam hati maka lawanlah dan jangan menunda amal, karena yakinlah itu adalah godaan syaithan yang meniupkan was-was di dalam hati kita. Pandanglah kecil amal kita dan jangan terjerumus pada kebanggaan terhadap amal.

Firman Allah SWT:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5)

3. Pengendalian Diri Kita yang Mengalahkan Sifat Menuruti Hawa Nafsu

Bulan Ramadhan yang telah berlalu telah memberikan latihan berharga terhadap seluruh unsur dalam diri kita. Unsur fikrah, jasad, ruh, hati dan harta kita telah kita arahkan menuju kemaslahatan bagi diri kita dan orang lain. Ramadhan telah memberikan banyak ajaran berupa batasan dan rambu-rambu bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Di sinilah peran kesabaran kita dalam menahan diri dari perbuatan melanggar larangan Allah. Bagi orang yang berpuasa maka tantangan terberat yang dihadapi adalah dorongan untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Namun, karena ketabahan dan kesungguhan kita dalam menjalankan ibadah shaum maka kita dapat mengendalikan keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Kegigihan kita dalam menahan pandangan dari perkara-perkara yang diharamkan, keseriusan kita dalam menjaga lisan dari perkataan-perkataan buruk, kehati-hatian kita dalam menghindarkan perut kita dari masuknya makanan-makanan syubhat dan haram, kesungguhan kita membersihkan pikiran dan hati dari prasangka buruk, sifat iri, dengki, dendam, amarah dan kesombongan, ketaatan dalam menjaga kemaluan kita dari hal-hal yang diharamkan, tidak mengumpulkan dan membelanjakan harta pada perkara-perkara yang dilarang oleh agama, mengendalikan tangan dan kaki kita agar tidak menyentuh atau melangkah ke tempat-tempat yang mengandung maksiat, serta menutup pendengaran kita dari ghibah dan perkataan-perkataan jelek dan mengandung cela. Maka ketika semua itu dapat kita kendalikan, barulah kita bisa merasakan manisnya iman. Inilah yang menjadi sebab datangnya hidayah dan taufik Allah SWT kepada kita. Amalan ibadah puasa kita telah membuat hawa nafsu kita lebih stabil dan terkendali. Kita berharap semoga semua anggota tubuh yang telah kita kendalikan itu akan menjadi saksi yang akan membela kita di hadapan pengadilan Qadhi Rabbul Jalil.

Ingatlah firman Allah SWT:

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” QS. An Nur: 24.

وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ

Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fushshilat Ayat: 22)

Inilah tiga hal di antara sekian banyak kemenangan yang telah kita capai di bulan Ramadhan dengan sebuah harapan semoga Allah memberi kemudahan untuk kita mempertahankannya di hari-hari selanjutnya. Tiga kemenangan yang akan senantiasa menyuplai energi amal bagi hadirnya cinta dan harmoni antara miskin dan kaya, atasan dan bawahan, orang tua dan anak, suami dan istri dan di antara seluruh komponen bangsa dan umat ini. Kini kita telah kembali fithrah, jangan nodai ke-fithrah-an ini hingga membuat kemenangan idul fithri ini menjadi sia-sia. Kita senantiasa berlindung kepada Allah dan memohon ampun kepadanya atas segala dosa dan kekhilafan yang kita lakukan.

Demikianlah khutbah ini jamaah sekalian, semoga ini menjadi bahan renungan bagi kita semuanya dan menjadikan kita semakin yakin dan percaya diri untuk menjadi manusia paripurna atau insan kamil dengan kemenangan ini.

Ja’alanallaahu wa iyyaakum minal  ‘aa’idiina wal faa’iziin. Taqabbalallahu minna wa minkum. Wassalaamu ‘alaikum wr. Wb.

Konten ini telah dimodifikasi pada 19/07/14 | 20:55 20:55

Guru Madrasah
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...