Topic
Home / Berita / Opini / Rakyat Aceh Menunggu “Peuneutoh (Fatwa)”mu Wahai Ulama

Rakyat Aceh Menunggu “Peuneutoh (Fatwa)”mu Wahai Ulama

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Peta Provinsi Aceh (inet)
Ilustrasi – Peta Provinsi Aceh (inet)

dakwatuna.com – Hiruk pikuk kehidupan masyarakat Aceh saat ini, seolah laksana kapal di tengah lautan yang terombang ambing dihempas ombak, sang nakhoda yang dilanda mabuk membuat kapal tiada arah, para penumpang makin kebingungan, ada yang ikut (ikutan) mabuk, ada juga yang sadar namun tidak tahu cara mengendalikan sang kapal. Kebanyakan penumpang dan pemeran hanya pasrah terhadap keadaan.

Isu syariat Islam yang ditaburkan, seolah Aceh kian kokoh dengan keislamannya, tertanam dalam benak, Aceh laksana Mekkah atau Madinah yang nyaman tenteram, penduduk yang ahli syariat bertebaran di muka bumi Aceh, tidak pernah terdengar pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, narkoba dan lainnya, namun itu cuma sebatas ilusi di bumi bertitel syariat, namun kenyataannya hampir apa yang kita baca di koran, kita lihat di televisi bahkan dengan mata sendiri sungguh lain dari ilusi. Kadang kekejaman di Aceh sudah sampai tahap kritis dan krisis identitas.

Para pelaku kekerasan seolah terorganisir, sehingga tanpa hari tiada berita yang mencuatkan hati, korupsi kadang dilakukan berjamaah, seolah shalat yang sedang diimamkan oleh sang materialistis dan Kapitalis, praktek judi dan narkoba pun kian merajalela, bahkan hampir secara terang-terangan itu dilakukan, belum lagi remaja yang memaknai kebebasan sesuka hati dalam berpakaian dan berhubungan, seolah-olah itu suatu yang dilegalkan, sang kekasih yang dimabuk cinta disirami birahi syaithan pun bertaburan, mereka berpasangan di tempat sepi, di pojok, di mobil, bahkan tanpa merasa bersalah si wanita menyandarkan tubuhnya yang memakai pakaian ketat ke punggung sang lelaki buaya yang siap memangsanya.

Entah siapa yang bersalah, entah siapa yang bertanggung jawab terhadap kemungkaran dan kemaksiatan ini, semua seolah diam membisu. Aceh hari ini tidak menampakkan wajah Aceh yang dahulu, kala orang mengenang Aceh sebagai tanah aulia tempat lahir para syuhada yang berperang dengan rencong dan senjata apa adanya melawan penjajah Belanda yang mencoba merebut Aceh dan merusak Aceh dengan syariat Islamnya.

Konflik yang berkepanjangan, harta, anggota badan, bahkan nyawa telah banyak yang hilang dan tsunami yang melantak hampir sepertiga bumi Aceh dan ribuan nyawa melayang pun seolah hanya mitos dan sandiwara biasa, yang tidak membuat kita makin taat beragama, makin insaf atau makin menjadi manusia sebagai mana konsep manusia itu sendiri.

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”, (Q. S Al Hujarat: 13).

“Manusia hidup di dunia ini mempunyai tujuan yang jelas, yaitu tercapainya kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagiaan akhirat yang puncaknya yaitu dekat dengan Allah dengan cara bertemu dan melihat Allah yang di dalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan yang menyeluruh yang tidak pernah diketahui manusia ketika di dunia. Karena hakikat manusia itu jiwanya, maka jiwalah yang akan mendapatkan kesenangan dan penderitaan nanti di akhirat kelak”, (Al Ghazali).

Ketika kegalauan rakyat Aceh yang dia sendiri tidak pernah tahu dengan kegalauan itu, kedangkalan pemahaman agama yang membuat kita semakin jauh dari jalan tuntutan agama, tapi itu kadang juga tiada pernah menyadarinya, fatwa demi fatwa terlontar dari mulut bukan seorang mufti yang membuat kita makin buta, maka saat itulah sang pelita pembuka cahaya dan pemersatu umat yang kita tunggu, suaramu… fatwamu… dan ajakan mu wahai para ulama yang membuat kami akan dekat, sehingga kerapuhan dan kebimbangan akan sirna.

Ulama Pemersatu Umat

Ulama adalah adalah “pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan”, (Wikipedia).

Ketika kita sedang bimbang, hati tak menentu, perasaan cemas dan rasa tidak enak datang, maka kita membutuhkan bimbingan rohani, pembinaan yang bersifat religi, akan kita dapat memahami misteri pengganggu hati. Begitu juga saat keterpurukan mental dan moral merajalela, sang pahlawan tidak bertuan pun berkoar di mana-mana, mengagungkan diri sendiri dan lupa atas qudrah dan iradah Tuhannya, maka saat itu sang pencerah ulama mau berbicara dan berfatwa.

Kebengisan satu kelompok  kepada kelompok lain yang membuat individu simpatisan dan pengikutnya ikut murka kepada sesama makhluk demi meraih materi yang berlimpah, dalih aspirasi rakyat dan kesejahteraan menjadi kunci pencari dukungan, namun kadang kala melupakan etika dan arahan agama, demi ini rela mengorbankan itu, demi jabatan rela mengorbankan ukhuwah Islamiyah, bahkan kata-kata kasar pun sering mencuat dari mulut orang yang tak bertanggung jawab, sang “OTK” kian terkenal walau tanpa sosok yang nyata namun ia telah ada.

Saat ini, masyarakat Aceh seolah krisis identitas, telah lupa siapa dirinya, telah lupa siapa saudaranya, telah lupa apa agamanya, terbuai janji manis si pembisik janji, padahal kita dikenal dulu karena bersatu dan megahnya Islam di Aceh, saat ini kita sangat labil dan latah“peuneutoh-peunutoh” tak bertuan pun makin berkembang, sehingga putusan hukum bukan lagi pada mereka yang memahami hukum, sering kali menghalalkan dan mengharamkan sesuatu demi kepentingan pribadi, padahal Islam telah memperjelaskannya.

Ketika kita begitu rapuh terbuai, saat inilah kita membutuhkan peran Ulama pemersatu umat, “Wahai para ulama, berilah wejengan dan peunutoh kepada kami, mari bersatu dan satukan kami, kami ingin seperti dulu, saat ulama menjadi pegangan umat, saat ulama menjadi pilar negara, saat ulama secara langsung mengatur negara, satukanlah kami dalam panji Islam, nasihatilah kami yang telah salah langkah dan terbuai kemaksiatan berlimpah tahta dan harta, dan perangilah kami bila kami menjadi orang zhalim setelah dinasihati, agar generasi kita mampu memahami mana kebenaran dan mana kepentingan”.

Semoga Aceh hari ini dan kelak benar-benar Aceh yang Islami, tidak pernah mengkafirkan sesama muslim namun saling menasihati, jangan biarkan Aceh hancur dan ambruk karena moral dan pemahaman agama  yang dangkal, kami selalu menunggu peranmu wahai ulama, jangan diam lagi, karena kita telah begitu hancur, kemaksiatan merajalela, kemungkaran dan kezhaliman begitu megah, seolah-olah kita bukan penghuni Serambi Mekkah, satukan kami dalam memerangi kemungkaran, kemaksiatan dan kezhaliman karena engkau adalah pewaris para Nabi. “Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda).

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumnus STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara.

Lihat Juga

Di Mauritania, Ratusan Tokoh Agama Mendesak Pusat Pendidikan Ulama Dibuka Kembali

Figure
Organization