Guru Menulis, Guru Inspiratif

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Menulislah, maka kau ada. Pepatah itu laksana akar dalam pohon batin bagi setiap kita yang  merasa sebagai seorang penulis. Penulis bukan berarti mereka yang tulisannya telah dibukukan, diterbitkan di media ataupun yang telah menghabiskan seluruh sisa hidupnya dalam dunia tulis menulis. Penulis adalah siapa saja yang menjadikan menulis sebagai spirit kehidupannya.

Menulislah, maka kau ada. Sekali lagi, bahwa pepatah itu sungguh dapat membangkitkan gairah menulis. Bahwa dengan menulis, kita ada, kita hidup dan tak pernah mati. Bahwa gagasan kita akan tetap hidup dan tentu saja tetap dapat memotivasi dan menginspirasi dunia sekalipun jazad telah tiada. Dengan menulis, kita akan merasa benar-benar hidup, yaitu hidup yang memberi manfaat bagi bangsa, agama dan negara.

Menulis tidak memerlukan waktu 24 jam yang kita miliki. Tidak juga membutuhkan kursi yang empuk dengan meja kaca yang mahal. Menulis bisa kapan dan di mana saja kita merasa butuh menuangkan ide, pikiran dan bahkan perasaan. Yah, menulis seyogyanya adalah kebutuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak tertutup kemungkinan ada banyak emosi yang menghinggapi relung jiwa, ada banyak cerita yang patut untuk dibagikan, pun ada banyak ide yang patut disalurkan. Menulis adalah media termudah, termurah dan tersederhana juga cara yang elegan yang dapat digunakan untuk menyalurkannya.

Apa-apa yang patut untuk ditulis? Sama sekali tidak objektif. Yang penting dapat memberikan manfaat. Apa-apa yang bermanfaat? Itupun tidak objektif. Tergantung dari tujuannya. Lalu hal apa saja yang menarik untuk ditulis? Mulailah dengan menuliskan hal-hal kecil di sekitar kita, yang kita alami atau rasakan.

Tak perlu pernah mengalami nasib naas untuk bisa menghadirkan kisah yang mengharukan. Tak perlu menunggu menjadi professor baru bisa berbagi inspirasi kepada orang lain. Menulislah, maka kau ada. Bukankah Andrea Hirata bukanlah professor kesusastraan tapi novelnya mampu menembus hingga pasar dunia? Bukankah cerita Laskar Pelangi adalah kisah-kisah sederhana tapi mampu menginspirasi hingga berbagai jenjang usia? Itu karena dia berani menulis. Cerita masa kecilnya disajikan begitu renyah, mengalir, serta dengan metafora dan deskriptif yang begitu kuat.

Beruntunglah Bagi Guru

Begitulah menulis. Yang paling penting kita berani dulu, hasilnya belakangan. Profesionalisme akan menyusul dengan sendirinya jika kita membiasakan diri dengan aktivitas menulis. Nyatanya, banyak yang merasa takut menulis bahkan sebelum sempat mencoba. Alasannya beragam. Karena tak menemukan ide, merasa tak mampu membahasakan apa yang ingin diutarakan atau tak merasa cukup pintar untuk menulis. Padahal, menulis adalah tentang kebiasaan, bukan tentang kepintaran. Tidak ada yang sejak lahir langsung pandai menulis. Belajar dulu, latihan dulu, kemudian membiasakan diri untuk menulis.

Ketika banyak yang merasa kesulitan menulis karena merasa tidak tahu apa yang ingin ditulis, beruntunglah bagi guru. Guru memiliki potensi untuk menulis yang luar biasa. Ada kisah setiap hari, ada ilmu setiap hari dan berhadapan langsung dengan realita pendidikan yang selalu punya cerita.

Tulisan memang ada beragam macam, pun genrenya. Lagi-lagi, menulislah saja dulu. Roh pada jenis tulisan apa, ternyata mendapatkan feel-nya, akan menyusul setelah terbiasa menulis. Begitupun bagi guru. Setiap anak, kelas dan jam adalah kisah. Sisanya, bagaimana kita mengalirkan perasaan dan memori dalam bentuk rangkaian kata-kata.

Saat ini, dunia tulis menulis di Indonesia semakin ramai dengan bermunculannya penulis-penulis muda yang bersaing menebarkan manfaat melalui tulisan. Pun, lembaga atau media semakin ramai memberikan perhatian bagi para penulis-penulis yang ingin mengembangkan bakat dan jam terbang. Berbagai lomba menulis, baik fiksi maupun non-fiksi tidak hentinya bermunculan di social media. Berbagai kesempatan menulis pun tak hentinya ditawarkan oleh berbagai media cetak dan online.

Lagi-lagi, menulislah saja dulu. Tak harus memenangkan lomba atau agar dimuat di media cetak dan online. Dengan usaha dan kegigihan, buah yang manis akan dapat dipetik pada waktunya nanti. Wahai guru Indonesia, mari kita menulis untuk menebar manfaat bagi pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Perempuan berdarah bugis yang memiliki nama asli Jayanti ini memiliki impian untuk membangun sekolah Islam tak berbayar bagi anak-anak kurang mampu di daerah asalnya, kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Alumnus Unismuh Makassar serta Sekolah Guru Indonesia ini sedang menjalankan tugas sebagai pengelola School of Master Teacher Makassar, salah satu program pendidikan keguruan yang diinisiasi oleh Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa serta mengelola Kolong Ilmu, salah satu program dari Klinik Pendidikan Nusantara, sebuah Komunitas Volunteer yang berupa rumah baca, rumah belajar dan rumah kreatifitas bagi anak-anak pelosok Nusantara yang saat ini tersebar di tujuh titik di Indonesia.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...