Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Maukah Kau Menjadi Istri Mudaku?

Maukah Kau Menjadi Istri Mudaku?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (fizgraphic.com)
Ilustrasi. (fizgraphic.com)

dakwatuna.com – Aku termangu di depan cermin. Sembari tersenyum, kupoleskan sedikit blush-on campuran merah dan coklat di pipiku.

“Sempurna.” gumamku dalam hati. Setelan jas warna putih tulang siap menemani aktivitas kerjaku hari ini.

“Kak Ida cantik sekali,” puji Isa, adikku.

Hari ini aku akan memulai hari pertama sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar di kotaku. Dengan modal pendidikan sarjana, aku berharap dapat membantu perekonomian keluarga yang saat ini tengah terseok-seok.

“Jaga diri baik-baik ya, Farida. Lakukan semua pekerjaanmu dengan baik dan jujur,” nasihat mama beberapa saat sebelum aku berangkat ke kantor bersama Farisa yang juga mau ke kampus.

“Iya, Ma. Doakan Ida ya, Ma. Ida berangkat dulu, Assalamu’alaikum…,” pamitku.

***

“Karyawan baru, ya?” tanya seorang lelaki dewasa. Usianya berkisar antara enam sampai delapan tahun lebih tua dariku. Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan konyolnya, menurutku.

“Perkenalkan, namaku Irwan. Orang-orang kantor biasa memanggilku Pak Irwan. Tapi cukup memanggilku dengan Mas Irwan. Aku Manajer Operasional di sini,” jelasnya tanpa kuminta.

“Siapa namamu?” tanyanya sembari mengulurkan tangannya di hadapanku.

“Farida,” jawabku sekenanya tanpa menghiraukan uluran tangannya. Mataku tetap fokus ke layar monitor mempelajari data-data stok barang yang menjadi tugas pertamaku di kantor ini.

“Sudah menikah?” tanyanya sejurus kemudian.

Lagi-lagi, aku tetap fokus ke layar monitorku, “Belum,” jawabku santai.

“Mau jadi istri mudaku nggak? Kalau kamu bersedia, semua fasilitas yang kamu butuhkan akan kupenuhi. Rumah, mobil, pokoknya apa saja,” janjinya. Gombal.

Kali ini, mataku seketika menatapnya tajam. Ada kilatan marah menyambar dari sorot mataku. Laki-laki ini… Sangat tidak sopan! Seharusnya, dia tahu bagaimana cara memperlakukan karyawan baru. Aku beranjak dari kursiku. Lama-lama jengah juga mendengar ocehannya yang tak jelas.

“Mau ke mana?” tanyanya usil.

“Ke Gudang. Mencocokkan data dengan stok di sana, permisi,” pamitku sembari berlalu. Ada rasa ketidaknyamanan yang mulai kurasakan dalam suasana ini. Seperti inikah dunia kerja? pikirku.

***

Dalam waktu belum satu tahun, karirku menanjak hebat. Yang tadinya hanya seorang Staf Gudang, kini aku menduduki jabatan Kepala Gudang. Banyak perubahan sistem yang kutempuh guna melakukan perbaikan-perbaikan sistem yang selama ini tidak terkoordinir dengan baik. Hal ini tentu saja memunculkan kesenjangan di kalangan karyawan lainnya. Banyak dari mereka yang tidak menyukai prestasi kerjaku. Apalagi kedisiplinan yang kuterapkan, membuat mereka yang terbiasa santai dan menganggap enteng sebuah pekerjaan merasa terganggu. Namun, aku tetap bergeming. Bagiku, ini adalah pekerjaan yang mulia; memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Apalagi para atasan menyenangi hasil kerjaku, dan aku tetap tak peduli pada cibiran karyawan-karyawan lain yang menuding bahwa aku hanya mencari muka.

“Ida, jangan terlalu sibuk. Jika sudah di rumah, usahakan urusan kantor di kebelakangkan dulu. Istirahat yang cukup. Jangan sampai kamu sakit,” nasihat Mama. Ya, dalam beberapa bulan terakhir, aku memang sering menerima telepon dari Pak Irwan. Banyak hal yang kami bahas. Khususnya seputar permasalahan yang terjadi di kantor. Tanpa kusadari, aku menjadi cukup ketergantungan pada lelaki yang dulu sikap nyelenehnya cukup membuatku terusik di awal masa kerja. Sikapnya yang dewasa dan keputusan-keputusan bijaksana yang kerap kali ditempuhnya membuatku diam-diam mulai mengagumi lelaki yang sebenarnya sudah berkeluarga itu.

Lama-lama, aku menjadi sangat dekat dengan lelaki itu. Akal sehat tak lagi membuatku menghiraukan gunjingan dari rekan-rekan kerjaku. Cibiran-cibiran mereka terhadap hasil kerjaku selama ini rupanya telah membuatku kebal dari gosip-gosip yang beredar seputar kedekatanku dengan Pak Irwan yang merupakan Manajer Operasional yang cukup disegani di kantorku. Kepercayaan dari pimpinan pun membuatku merasa cukup terlindungi hingga aku merasa aman ketika secara diam-diam, aku menjalani hubungan yang lebih khusus dengan Pak Irwan.

“Ida, Mama nggak suka kamu terlalu dekat dengan laki-laki itu,” tegur Mama ketika aku pulang dari kantor diantar Pak Irwan.

“Iya, Ma. Tadi sekalian ada meeting dengan pimpinan. Makanya Ida diantar pulang oleh Pak Irwan,” elakku.

Selama ini, mama memang cukup mengetahui kedekatanku dengan Pak Irwan. Mama sering memergokiku menerima telepon dari Pak Irwan di tengah malam.

“Mama cuma tidak ingin kamu mendapatkan fitnah, Ida. Jangan sampai kamu menjadi perusak rumah tangga orang lain,” tegur Mama cukup tegas. Mama tahu jika belakangan ini, aku sering mendapat teror dari istrinya Pak Irwan. Hanya saja, aku selalu berkelit bahwa semua itu hanyalah kesalahfahaman. Walaupun, aku tahu bahwa Mama tak semudah itu menerima pembelaan-pembelaanku. Meski selama ini, Mama jugalah yang menguatkan aku dalam menghadapi tempaan-tempaan yang kuhadapi dari rekan-rekan kerjaku.

***

Akhirnya, aku menyadari kebodohanku selama ini. Aku terlalu larut dalam perasaan yang harusnya tak boleh kubiarkan membawaku dalam kehinaan ini. Entahlah, apa yang aku pikirkan. Entah apa yang membuatku kehilangan akal sehatku. Rupanya, prestasi dan kepercayaan yang kudapatkan selama ini telah membuatku lupa diri. Kini, aku harus menanggung semua akibat dari kecerobohanku. Aku telah gagal menjaga kepercayaan dan harapan yang telah digantungkan Mama padaku. Aku malu pada Isa, adikku. Harusnya, aku bisa menjadi kakak kebanggaan baginya. Kakak yang bisa menjadi teladan terbaik bagi adikku satu-satunya itu. Tapi, aku benar-benar begitu bodoh. Ya Allah, ampuni aku.

Ma, ampuni Ida. Ampuni semua kesalahan Ida selama ini. Ida telah gagal menjaga kepercayaan Mama. Ida gagal menjadi panutan yang baik untuk Isa.” Aku hanya berani menyampaikan hal ini pada Mama lewat sms.

Ada apa, Ida? Ada apa sama kamu? Kenapa mengirim sms seperti ini ke Mama?” balas Mama setelah berkali-kali panggilan teleponnya kuabaikan.

Ida malu, Ma, atas kebodohan Ida selama ini. Ida nggak mau membuat Mama, Ayah, dan juga Isa menjadi malu dengan kelakuan Ida. Mungkin, hari ini Ida nggak akan pulang ke rumah. Jaga diri mama baik-baik ya, Ma. Ida benar-benar minta ampun.”

            “Ida, apapun masalah kamu. kita akan selesaikan sama-sama, Nak. Selama ini, kamu cukup menjadi anak yang baik buat Mama. Kamu pun begitu bertanggungjawab terhadap adikmu. Apapun yang terjadi, Ida pulang ya, Nak. Insya Allah Mama akan selalu memaafkan kamu.” Sms Mama memberikan sedikit ketenangan di hatiku. Meski airmataku mengalir semakin deras. Mama, betapa lembut hatimu. Tapi, apakah Mama benar-benar akan memaafkan aku jika saja mama tahu apa yang sebenarnya terjadi?

***

Udara pagi ini begitu sejuk, sinar mentari pagi menelisik dari kisi-kisi jendela rumah sakit tempatku berbaring saat ini. Menyapa hangat padaku dan sesosok malaikat kecil yang tengah tertidur pulas di sampingku. Hari ini, tepat ketika adzan Subuh, aku melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Seorang bayi yang terlahir dari kebodohanku selama ini. Seorang bayi yang sempat ingin kubunuh karena tak kuharapkan kehadirannya, justru sangat diterima oleh orangtua dan adikku. Mama, dengan kebesaran jiwanya telah membesarkan hatiku agar kuat menerima segala permasalahan yang kuhadapi.

“Semua ini adalah pelajaran berharga, Nak. Jangan kamu tambahi lagi dosa yang telah kamu perbuat dengan membunuh bayi yang tak berdosa itu.”

Sikap bijak mama membuatku sadar bahwa tindakanku untuk mengenyahkan bayi dalam kandunganku selama ini adalah tindakan yang lebih bodoh dari apa yang telah kulakukan selama ini.

Kini, “malaikat” kecil yang kuberi nama Iftina Assyabiya Rafifa itu hadir menjadi kekuatan baru di kehidupanku. Dan Farisa, adikku, gadis shalihah yang harusnya kuberikan teladan yang baik itu, justru kini dia yang membimbingku untuk lebih mengenal Rabb-ku. Taubatku pada-Mu, Yaa Rabb.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Banjarmasin.

Lihat Juga

Satanic Finance

Figure
Organization