Bekerja adalah Ibadah, Berprestasi adalah Dakwah

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Pernahkah engkau bermain musik berdawai? Jika kita memasang dawai terlalu renggang, mustahil akan kita dapatkan nada yang indah. Pasti hanya nada sumbang yang akan terdengar. Namun, jika terlalu kuat memasangnya, bisa jadi suatu ketika ia akan terputus. Agar kita mendapatkan nada dan irama yang tepat, pertama-tama memang harus memasang dawai dengan ketegangan yang tepat. Namun, untuk mendapatkan nada yang harmoni, ternyata tak cukup dengan itu saja. Kita harus memastikan bahwa kita mampu memetiknya dengan cara yang tepat. Percuma saja jika sudah terpasang dawai dengan kualitas tinggi, kekuatannya tak tertandingi, juga telah terpasang dengan ketegangan yang tepat, namun kita membiarkannya begitu saja, sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa mendengar irama melodi indah yang akan mengalun dari dawai kita.

Begitu pula mimpi, ia harus kita pegang erat, dan diyakini dalam hati untuk diwujudkan melalui tahapan-tahapan dan capaian-capaian yang kita tentukan sehingga sampai pada apa yang kita impikan. Bisa jadi, saat ini kita mempunyai mimpi-mimpi yang luar biasa, yang mencakup dimensi masa kini dan menembus batas waktu di masa depan. Terlebih jika didukung dengan kapasitas diri yang memadai dan kualitas pribadi yang mumpuni. Namun, itu semua tidak menjamin terwujudnya semua himpunan mimpi itu. Mungkin karena kita lalai untuk berusaha bersungguh-sungguh dalam mewujudkan mimpi besar masa depan. Bukankah seseorang yang ingin menjadi orang besar harus mempunyai mimpi besar yang bersifat jangka panjang juga? Ketika dalam diri kita sudah dibekali modal kemampuan yang luar biasa, itu adalah bonus dari Yang Mahakuasa. Artinya, kita hanya perlu melipatgandakan modal untuk menghasilkan karya-karya luar biasa dengan senantiasa meningkatkan kapasitasdiri dan mengoptimalkan potensi yang dipunyai. Ini merupakan sebuah keharusan bagi kita.

Setiap diri kita pasti memiliki mimpi-mimpi indah untuk hidup, keluarga, masyarakat, agama, negara dan dunia. Meski terkadang, kita merasakan sesuatu yang sulit dibedakan antara mimpi atau obsesi, tujuan (goal) atau alat (tool) untuk menghasilkan karya yang lebih hebat lagi, cita-cita yang harus diikhtiarkan atau sekadar angan-angan yang tak mungkin diwujudkan karena keterbatasan yang kita punya.

Sebagai seorang muslim, agen kebaikan dan aktivis dakwah, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menghubungkan cita-cita dan mimpi-mimpi besar dengan kebutuhan dakwah dan diniatan dalam rangka beribadah kepada Allah. Bagaimana dakwah ini akan berkembang jika para aktivisnya tidak punya visi besar untuk pribadi, keluarga, masyarakat, agama, negara dan dunianya?

Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu amat buruk bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS. al-Baqarah: 216)

Terkadang, tak semua mimpi terwujud sesuai dengan harapan. Atau mungkin Allah menunda waktu perwujudan mimpi tersebut. Ada kalanya, Allah punya rencana yang lain. Begitu sakit hati ini, terasa sangat sesak di dada, satu kata: kecewa. Kekecewaan adalah sesuatu yang wajar terjadi ketika kenyataan tak sesuai harapan. Lalu, bagaimana seorang muslim menyikapi hal tersebut? Haruskah menghujat atau menolak takdir? Tentu, bukan begitu akhlak seorang muslim.

Itulah sebabnya, Allah menyuruh kita untuk senantiasa menyandingkan antara khauf (takut) dan raja’ (harapan). Agar kita waspada dan tidak berharap berlebihan. Karena memang, peluang gagal selalu ada. Jika kita merasakan kecewa yang berlebihan dan sedih berkepanjangan, cobalah tengok ke dalam hati kita. Barangkali, niat kita tiba-tiba terbelok. Bukan lagi karena Allah. Seorang muslim, apabila menemui kegagalan, maka ia akan tetap berprasangka baik kepada Allah. Segera mengevaluasi diri. Kemudian segera bangkit menjalani hari dengan penuh semangat dan kembali menata masa depan dengan sebaik-baik perencanaan.

Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (QS. al-Mu’min: 60)

Dalam harap, semoga kita senantiasa diingatkan ketika niat telah mulai tak lurus. Karena keikhlasan letaknya bukan hanya pada saat amal kebaikan itu dilakukan. Ikhlas itu, letaknya ada di setiap proses. Yakni di awal, saat berlangsung dan setelah amal itu selesai ditunaikan. Bagaimanapun kondisinya, tentunya kita ingin agar irama indah dawai hidup kita akan tetap terlantunkan. Meski itu sekarang, nanti, ataupun harus diganti oleh Allah sang Maha Perencana Terbaik dengan nada lain yang lebih indah dan pas bagi hidup kita.

Kewajiban kita adalah merencanakan dan menuliskan mimpi-mimpi kita. Berikan ikhtiar dan doa terbaik. Lalu serahkan pada Allah penghapus dan pensilnya. Tetaplah berjuang dan berusaha mewujudkan harapan-harapan kita. Karena memang, tugas kita hanyalah berusaha dan berdoa. Selanjutnya, perkara hasil adalah hak prerogatif Allah. Jangan pernah berhenti bermimpi, bercita-cita, berikhtiar dan berprestasi. Jika bekerja adalah bagian dari ibadah, maka berprestasi pun bagian dari dakwah. “Faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah.

Mahasiswi Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan UI Angkatan 2010 | Kaderisasi Salam UI 2014 | DPM UI 2013 | BPM FIK UI 2012 | FPPI FIK UI 2011 | BEM FIK UI 2011 | Lembaga Dakwah Sahabat Asrama UI 2010
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...