Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Saat Bangunan itu Menjadi Saksi

Saat Bangunan itu Menjadi Saksi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: bernaaltay.com)
Ilustrasi. (Foto: bernaaltay.com)

dakwatuna.com – Lampu jalan bersinar remang. Lalu lintas pun tampak sepi. Sesekali lampu kendaraan membantu bintang di langit menerangi jalan itu. Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Tampak begitu lengkap nuansa sunyi malam di Jalan Amarta.

Tak jauh dari tepi jalan, berdirilah sebuah bangunan. Bangunan ini telah berdiri sejak beberapa tahun lalu. Saat itu, bangunan ini akan dijadikan ruko-ruko. Akan tetapi, keterbatasan dana membuat sang pemilik proyek hanya dapat membuat pondasi. Hingga kini, bangunan bertingkat empat ini belum memiliki dinding ataupun atap.

Ketenangan malam ini terganggu oleh sebuah suara dari dalam gedung itu. Suara itu tak hanya terdengar kali ini. Pernah beberapa kali terdengar suara serupa. Suara yang jika diamati akan kita sadari sebagai teriakan disertai isak tangis. Entah siapa atau apa yang berteriak di tengah malam seperti ini. Tak satu orang pun yang tahu dan ingin tahu.

 

***

KRIING

Alarm pagi milik Ardy berbunyi begitu kencang. Ardy membuka matanya sejenak, melirik dengan malas pada jamnya. Tangannya menyentuh jam dan mematikan alarm. Ia  pun kembali memejamkan mata. Membenamkan dirinya dalam mimpi-mimpinya. Mimpi-mimpi yang ia yakini jauh lebih indah dari kehidupannya yang diwarnai kegelapan. Segelap malam yang ia lihat di balik balutan helm tadi malam.

Namun, mimpi yang akan hadir tiba-tiba pergi entah kemana. Justru siraman air yang hadir membahasi baju Ardy. Ia pun terbangun menggigil. Tubuhnya belum siap untuk menerima air yang dingin ini.

Pak Handoko, telah berdiri berkacak pinggang sembari memegang ember yang isinya telah sukses ia guyur pada anaknya tadi.

“Kamu itu! Udah jam setengah tujuh bukannya siap-siap. Mau nggak sekolah lagi?!” bentaknya pada anaknya.

”Masih ngantuk nih, Pa. Nanti gampang deh masuk sekolah mah.” jawab Ardy sambil mengucek mata.

“Eh nanti-nanti. Emangnya sekolah punya kamu apa? Kamu itu ngehargain usaha papa dong. Udah nyekolahin kamu susah-susah. Belajar nggak pernah, bolosnya sering. Lagian siapa suruh semaleman keluyuran?”

Sejenak Ardy kaget. Ia tak menyangka bahwa ayahnya akan tahu bahwa semalam ia keluar rumah. Semalam, ia sukses keluar dari rumah dengan motornya tanpa seorang pun yang tahu. Paling tidak itu yang ia duga.

Yaelah, Pa. Aku kan ada tugas nyiapin sekolah buat ngurus MOS untuk siswa baru.” jawab Ardy dengan wajah meyakinkan.

“Ada tugas kok nggak ijin dulu? Keluar diem-diem pula.” balas Pak Handoko tak percaya.

“Emang dikira aku masih kecil apa? Dikit-dikit ijin. Aku udah gede, Pa. Udah, ah. Aku mau mandi!”

Ardy pun berlalu. Meninggalkan sang ayah yang masih tak percaya dengan jawaban anaknya. Pasti ia menyimpan sesuatu, pikir Pak Handoko.

***

Waktu masih menunjukkan pukul 6.  Tetapi jalanan BSD City sudah padat.  Tampak sebuah motor Astrea membelah keramaian dengan paksa. Motor tua itu terkesan sulit mengimbangi nafsu sang pengendaranya yang tak ingin terlambat ke sekolah. Bagi Ardy sendiri, mengebut dengan motor tua bukan hal yang asing. Kebiasaan terlambat ke sekolah melatih ia untuk melakukannya.

Setengah jam kemudian, ia telah sampai di depan gerbang sekolahnya. Hanya beberapa detik sebelum Pak Kusnandar menutup pintu gerbang. Setelah turun dari motor, ia merapikan dasi dan bajunya. Meskipun sering membolos dan terlambat, Ardy bukanlah siswa yang nakal. Ia dikenal para guru sebagai siswa yang sopan terhadap guru. Pakaian yang ia kenakan pun cukup rapi. Sayang, kemampuannya yang tak menonjol di akademik membuatnya dikesampingkan oleh para guru.

“Eh Ardy. Kemana aja kemarin? Kesiangan ya bantuin emak?” Sindir Pak Boby, guru Kimia Ardy, saat berpapasan dengan Ardy di pintu gerbang. “Kamu itu udah sering membolos. Nilainya… Aduuh… mengkhawatirkan deh. Ini udah mau UN. Segera diperbaiki ya!” Tambah Pak Bobby panjang. Ardy hanya bisa nyengir sambil mengangguk tak pasti. Baginya sindiran seperti itu bukan hal yang asing.

Ia hanya berlalu. Berjalan bimbang menuju kelas.

***

“ Lihat indahnya alam kita. Di sana itu Pulau Payung. Pulau itu menjadi tempat utama untuk snorkeling. Airnya dangkal dan ikannya bagus-bagus.” ucap  Guide pariwisata sembari menunjuk ke pulau di seberang lautan.

Ardy tak mengerti, mengapa ia bisa berada di atas jembatan di antara dua pulau bersama para turis. Tapi ia pun tak ingin peduli akan semua itu. Ia merasa bebas dengan menkmati indahnya alam.

“Iya nih, keren banget ya. Kalau yang di seberang sana itu namanya pulau apa?” tanya Ardy sembari menunjuk pulau di salah satu ujung jembatan.

“Itu Pulau Tidung Kecil. Pulau itu dibiarkan tak berpenghuni. Pulau itu merupakan milik pemerintah…” ucapan sang guide terpotong. Hening. Ardy pun melihat ke samping. Ia kaget ketika ia mendapati dirinya hanya sendiri.

Ia kembali menatap pulau yang tadi ia tunjuk. Seketika, pulau itu tampak menjauh. Jembatan yang ia pijak seakan memanjang. Tak lama kemudian, kegelapan datang menerjang. Ardy berlari sepanjang jembatan menjauhi kegelapan yang mulai menggerogoti. Akan tetapi ia tak mampu berlomba dengan kegelapan. Ia terjatuh dan seketika berteriak.

“Aaahhhhhhh…” teriak Ardy sekencang-kencangnya seakan memohon pertolongan.

CTAK

Sebuah spidol, yang mendarat keras di kepala Ardy, membangunkannya dari mimpi itu. Ardy terjaga dari mimpinya. Ia pun dihadapkan pada realita berupa kemarahan Bu Diana yang merasa pelajaran Teori Relativitas-nya diinterfensi.

“Ardy! Dari tadi ibu sudah sabar liat kamu  tidur. Tapi kamu malah teriak-teriak nggak jelas. Itu mengganggu pelajaran Ibu, tahu! Sekarang, kamu keluar!” teriak Bu Diana sembari menunjuk keluar.

Ardy hanya bisa terpaku. Perlahan, ia melangkah keluar kelas. Sekilas, ia mendapati teman-temannya menatap sinis. Udah jarang masuk, tukang tidur pula! pikiran Ardy merangkai arti tatapan teman-temannya.

***

KRIING

Bunyi bel tanda pulang sekolah berdering.  Para siswa pun segera menata bukunya. Memasukkan ke dalam tas dan bersiap pulang. Begitu pula dengan Ardy. Ia tak sabar pulang. Sekolah selalu terasa menyiksa baginya.

“Temen-temen jangan langsung pulang ya. Ada yang mau dibahas dulu tentang persiapan UN.” ucap Alvin ketika guru telah keluar kelas. Ardy mengernyitkan dahi. Ia tahu Alvin bukanlah tipe orang yang peduli terhadap  pelajaran. Bahkan bisa dikatakan lebih parah dari Ardy sendiri. Lalu mengapa ia peduli tentang persiapan UN? Batin  Ardy curiga.

“Ok. Jadi berhubung UN udah mepet, temen-temen kelas lain udah mulai nawarin untuk terima kunci jawaban. Murah kok Cuma 30 ribu per-anak.” ucap Alvin untuk meyakinkan teman-temannya. “Ayo. Tiga puluh ribu bisa buat nilai lu semua tinggi tinggi lho. Yang mau ikutan ngacung ye!”

Ardy diam. Ia tak berminat untuk mengangkat tangan. Ia memang terkenal sok pinter karena anti mencontek, tetapi nilainya selalu pas-pasan. Ardy melirik sekelilingnya, mencari yang seperjuangan dengannya untuk tidak mencontek. Tak ada, tegur benaknya ketika ia telah putus asa mencari dalam keramaian tangan yang mengacung.

“Dy, lu doang yang nggak beli nih. Yakin lu? Ini UN boy.” tegur Hadi, sang ketua kelas. Ardy hanya tersenyum. Tidak, itulah artinya.

Ciih gaya lu! Nilai di bawah KKM mulu tapi sok nggak mau beli kunci jawaban. Soal UN lebih susah tahu!” cetus Alvin. “Bilang aja ga punya duit.”

Ardy tersentak. Ia paling sensitif soal masalah ini. Ia akui memang keuangan keluarganya pas-pasan.  Penghasilan Pak Handoko, yang sebenarnya cukup besar, harus dibagi untuk kebutuhan 5 anak.

“Maksud lu apa nih?” tantang Ardy sambil berdiri.

“Ya, lu paling nggak ada duit, kan? Motor aja Astrea. HP? Cina bajakan. Abal banget dah lu.” ujar Alvin semakin memanasi suasana. Ardy berjalan mendekeati Alvin. Akan tetapi, Hadi dan teman-temannya melerai. Alvin hanya tersenyum sinis.

Lu semua nyontek aja bangga. Malu, woi!” teriak Ardy spontan. Seketika itu ia sadar, ia telah salah berbicara. Teman-temannya yang tadi menghalanginya, kini justru menggiringnya keluar. Ia pun terpaku diam ketika tasnya di lempar tepat ke wajahnya. Ia pun bangkit dan berjalan sembari menunduk. Berjalan dalam sedih. Membelah suasana keramaian pulang sekolah.

***

Seperti biasa, malam ini tampak sepi. Jalan Amarta dilalui sebuah motor yang ditumpangi oleh sepasang kekasih. Sang perempuan memeluk erat pacarnya yang sedang menyetir motor.

“Sayang, ke bangunan itu yuk. Sepi tuh.” bisik si perempuan yang dibalas dengan anggukan dan senyum sang pacarnya.

Motor itu pun menepi ke bangunan tua itu. Mereka tak sadar, tak jauh dari motor mereka terdapat motor lain yang telah tersembunyi dengan baik dalam kegelapan malam. Entah motor apa dan siapa. Mereka pun turun dari motor sembari berpelukan erat. Mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Mereka ingin mencari sudut gelap yang tersembunyi. Akan tetapi, belum sempat mereka selesai menaiki tangga, terdengar teriakan yang menggema.

“Aaghhhhh.”

Sepasang kekasih itu pun saling menatap dan berharap menemukan jawaban dari kekasihnya.

“Udah nggak apa-apa sayang. Paling cuman orang gila di bawah yang teriak-teriak.” ujar sang laki-laki meyakinkan kekasihnya. Si perempuan hanya bisa tersenyum ragu dan menuruti keinginan pacarnya. Akan tetapi, baru saja mereka melewati satu anak tangga ketika terdengar suara tendangan terhadap benda keras.

KCRENG!

Secara spontan, kedua pasangan itu pun mulai mengatur langkah untuk mundur. Baru beberapa anak tangga yang berhasil mereka turuni, ketika suara isak tangis mulai terdengar. Begitu pilu. Pasangan tadi pun mulai merinding. Mereka bergegas meninggalkan bangunan dan suara misterius yang mengerikan dari dalamnya.

***

Setengah jam yang lalu.

Ardy baru saja sampai di bangunan tua di pinggir Jalan Ampera. Ia pun menuju lantai empat. Tempat ia biasa mencurahkan semua kekesalannya di tengah malam. Ia menyukai tempat ini karena di sinilah ia bisa melampiaskan berbagai permasalahannya. Tak jarang ia harus berbohong kepada Pak Handoko untuk dapat keluar rumah malam-malam. Pak Handoko sendiri tipe ayah yang sangat percaya pada anaknya. Terlebih, ia mengetahui Ardy telah  dewasa. Lebih dewasa dari teman-temannya.

Namun bagi Ardy, kedewasaan itu begitu menyiksanya. Ia menanggung beban sebagai manusia dewasa seorang diri. Maka, di sinilah ia membagi kisahnya. Seperti hari ini. Mulai dari dimarahi ayah, sindiran guru-guru sampai dimusuhi teman-teman.

“Emang siapa yang mau keluyuran malem? Aku juga nggak mau. Tapi ke siapa harus kubagi kisah ini? Emang gampang ya setiap hari dihina, dipandang sebelah mata!” ucapnya sembari menatap ke langit seakan meminta jawaban dari bintang yang bersinar indah. Meski ia tahu, tak akan ada jawaban di sana.

“Emang salah ya kalau kita nggak bisa belajar karena kita nggak suka pelajarannya? Bukannya kita berhak mempelajari pelajaran yang kita cintai? Kenapa aku nggak boleh?! Kenapa aku nggak boleh belajar IPA?! Kenapa aku harus IPS hanya karena pindahan?!

“Emang salah ya jadi orang jujur? Emang harus gitu aku nyontek biar diakui? Nilaiku emang selalu jelek. Tapi, nggak boleh ya bangga dengan nilai jelek yang jujur?”

“Emang salah ya jadi orang sederhana? Harus gitu jadi orang kaya? Emang semua ini dinilai dari harta? Nggak ada apa penilaian lain?”

Teriakan Ardy terdengar begitu panjang, seakan ia menuduh sesuatu. Menyalahkan sesuatu yang tak ia ketahui.

“Tau ah!! Aaaghhhhhhh” teriaknya begitu kencang, sehingga ia tak menyadari dua orang di lantai dua tertegun. Ardy pun menendang sebuah ember cat kaleng.

KCRENG!

Ia pun tertunduk berlutut sambil menangis pilu. Ia tahu jika seseorang melihatnya, mungkin ia akan dianggap cengeng. Akan tetapi, ia tak peduli. Toh, semua orang yang ia kenal sudah menganggapnya manusia dengan sejuta kekurangan. Lagipula, di langit sana masih ada bintang yang setia menguatkannya. Mungkin ini saatnya aku pergi, ucap benak Ardy sembari menatap langit.

***

Pagi itu, adzan subuh berkumandang syahdu. Bulan masih tampak di langit dini hari. Ardy pun menepikan motor dan beristirahat sejenak di salah satu musholah di pinggir jalan. Sebenarnya, ia tak berniat untuk shalat subuh. Maklum, ia jarang menjalankan shalat jika tidak di sekolah. Orang tuanya pun tak peduli akan hal itu. Akan tetapi, kelelahan setelah semalaman berkendara membuat ia harus beristirahat. Ardy sendiri malu jika ia ketahuan hanya numpang istirahat. Oleh karena itu ia pun memutuskan untuk ikut shalat.

Namun, entah kenapa shalat kali ini terasa berbeda. Ia merasa begitu pasrah. Mungkin karena memang ia tak tahu harus bagaimana lagi setelah ini. Keputusan kabur dari rumah sudah pasti akan membuat pelakunya bingung. Apalagi jika tak memiliki tujuan atau persinggahan.

Itulah yang Ardy rasakan. Ia pasrah dan memohon petunjuk dengan setulus hati pada Allah SWT. Tanpa terasa, ia menangis dalam sujudnya.

Selesai shalat, ia duduk termenung. Ia mengusap wajahnya. Ia tak percaya telah menangis dalam beribadah. Selama ini, ia hanya menjalankan shalat agar tak dikatakan orang kafir oleh teman-temannya. Tapi, ia tak pernah mengerti maknanya.

Kini, dalam kepasrahan semuanya terasa berbeda. Ia merasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Ia merasa mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,”  salam seorang ustadz muda, yang telah berdiri di atas mimbar, menyadarkan Ardy dari lamunannya. Kuliah subuh rupanya, benak Ardy tersadar.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh” balas para jama’ah. Ardy masih terpaku di tempatnya. Ia merasa harus mendengarkan kuliah subuh ini.

“Saudara-saudaraku sekalian. Hidup ini begitu indah. Selalu penuh dengan nikmat Allah. Akan tetapi, banyak sekali dari kita yang tidak sadar akan kenikmatan itu. Kita selalu berpikir yang ada hanya ujian dalam hidup ini. Mengapa? Karena kita tak pernah sadar, ujian itu adalah nikmat yang paling luar biasa. Bagaimana tidak? Seseorang yang diuji pastilah dinilai sudah mampu menyelesaikannya. Sebagai perumpamaan, soal ujian anak kelas 3 SMA tidak mungkin diberikan kepada anak kelas 3 SD. Soal anak kelas 3 SMA hanya akan diberikan untuk anak kelas 3 SMA. Karena ia telah mengetahui materi yang diberikan. Begitu juga cara Allah memberikan ujian pada hamba-Nya. Bila kita mendapat ujian yang berat. Sadarlah, itu pertanda Allah menilai kita mampu. Jangan sampai kita kabur dari masalah yang ada. Berserah dirilah kepada Allah. Memohon petunjuk dan berikhtiarlah semaksimal mungkin untu melewat ujian itu. Mungkin sekian dari saya. Kurang lebihnya mohon maaf. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh..”  jawab para hadirin kompak, kecuali Ardy. Ia masih tertegun. Cara penyampaian sang ustadz begitu biasa, masih sangat jauh dibandingkan para penceramah di televisi. Begitu pula dengan materinya. Akan tetapi, entah mengapa Ardy merasa mendapat jawaban masalahnya dari kuliah tadi.

Ardy termenung lama pagi itu. Ketika sinar fajar mulai tampak di ufuk timur, ia bangkit. Ia keluar dari masjid dengan langkah pasti. Aku sadar harus bagaimana dan kemana, ucap benaknya yakin.

***

3 April 2012

Empat bulan sudah sejak peristiwa larinya sepasang kekasih dari bangunan tua di pinggir Jalan Ampera itu. Kini bangunan itu masih berdiri kokoh. Masih seperti biasa pula, ia menjadi misteri. Beberapa bulan ini, isu gedung berhantu pun semakin santer terdengar. Apalagi belakangan ini sering terlihat setitik cahaya di lantai empat. Suara-suara yang muncul pun semakin aneh. Begitu pula dengan hari ini. Suara-suara samar mulai terdengar seiring dengan munculnya setitik cahaya di lantai empat.

Tidak ada yang tahu dan ingin tahu apa yang terjadi di sana. Hanya seekor kucing yang tahu. Karena di sanalah ia biasa mendapatkan sepotong roti dari seseorang. Seseorang yang kini menghabiskan malamnya dengan shalat tahajud, mengaji dan belajar dalam kesunyian. Meski ia hanya berbekal emergency lamp dan sajadah.

 

16 Juli 2012

Sebuah sekolah di BSD City sedang melaksanakan upacara awal tahun yang sekaligus upacara pembukaan Masa Orientasi Siswa bagi siswa baru. Jadwal masuk yang mepet dengan libur Ramadhan membuat sekolah menggabungkan kedua upacara itu. Ketika masuk sesi pengumuman, dibacakanlah para alumnus tahun kemarin yang berhasil masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Tiba-tiba para guru tertegun serempak. Mereka saling pandang meminta kepastian dari sesama guru yang lain. Mereka masih tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

“Ardy Kautsar Fahmi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.”

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Anak laki-laki kelahiran Lumajang tahun 1995 ini sangat menyukai cerpen. Ia memulai kepenulisan saat masih bersekolah di MTs Husnul Khotimah. Ia, yang aktif dalam Forum Lingkar Pena ranting MTs, mendapat didikan dari seorang penulis FLP Jawa Tengah, Sunarno. Selama SMA, pemilik nama asli Muhammad Miqdad Robbani ini kurang aktif menulis cerpen dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk menulis essai di blognya. Saat ini, ia berstatus sebagai mahasiswa baru Universitas Indonesia di jurusan Manajemen.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization