Ilmu dan Hobi Duniawi Bisakah Sebagai Sarana Ibadah?

Robot pemain musik karya Al-Jazari (id.wikipedia.org)

dakwatuna.com  

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb. ustadz Pengasuh rubrik Konsultasi Agama Dakwatuna

Semoga ustadz selalu dianugerahi kesehatan jasmani dan rohani oleh Allah SWT.

Saya bekerja sebagai dosen di jurusan elektro dan memiliki hobi di bidang itu juga. Saya menyadari kalau persentase waktu lebih banyak untuk bekerja dan hobi tersebut. Namun, ibadah wajib, Alhamdulillah tidak dilalaikan. Namun, sesungguhnya manusia itu diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Sehingga, saya merasa apa yang saya lakukan dalam menghabiskan waktu sepertinya tidak menghasilkan amal/ibadah karena yang saya kerjakan adalah ilmu dunia.

Jadi yang ingin saya tanyakan adalah :

  1. Apa yang harus saya lakukan agar profesi dan hobi saya bisa bernilai ibadah/amal?
  2. Bagaimana cara mengajar (dialog) yang baik agar saya bisa meramu mata kuliah bidang saya sambil menyampaikan nilai-nilai dakwah?

Demikian pertanyaan dari saya dan saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Firdaus

Politeknik Negeri Padang

Jawaban :

Wa’alaikumus Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Saudara Firdaus yang dirahmati Allah. Semoga Allah Ta’ala memberikan ilmu-Nya dan rahmat-Nya kepada kami dan juga Anda serta keluarga.

Dari pertanyaan saudara yang pertama, kami melihat adanya cara pandang yang tidak sepenuhnya benar bahwa mengajar jurusan elektro dan hobi dengan dunia elektro adalah urusan dunia semata, yang seolah hampa nilai ibadah. Tidak demikian. Pada hakikatnya, semua perbuatan positif dan bermanfaat yang kita lakukan, jika diniatkan untuk ketaatan, kemakmuran dunia dan manusia, maka itu juga bernilai ibadah dan amal shalih.

Coba Anda bayangkan, berapa banyak pahala yang mengalir kepada ilmuwan muslim yang pertama kali menemukan kaca mata, yaitu Ibnu Haitsam. Jutaan bahan miliaran manusia tertolong oleh penemuannya. Dengan bantuan kaca mata, seorang ulama bisa menulis dan membaca kitab. Dengan bantuan kaca mata, para ilmuwan bisa melakukan observasi. Dengan kaca mata, para pelajar dan mahasiswa bisa menuntut ilmu, dan seterusnya. Lihat, walau ini nampaknya dunia, tetapi memiliki sisi nilai ibadah yang luar biasa.

Oleh karena itu, ilmu apa pun –kecuali ilmu sihir, santet, dan perdukunan- jika dipakai untuk kemakmuran dan kemaslahatan manusia, maka itu bisa menjadi sarana taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala), termasuk ilmu elektro yang sedang saudara ajarkan dan menjadi hobi. Saudara bisa menjadikan ilmu elektro untuk kepentingan dakwah. Seperti pembuatan radio dakwah, televisi, dan lainnya.

Sejenak merenungi makna ibadah

Pertama, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ ، وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ ؛ فَالصَّلَاةُ ، وَالزَّكَاةُ ، وَالصِّيَامُ ، وَالْحَجُّ ، وَصِدْقُ الْحَدِيثِ ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ ، وَالْوَفَاءُ بِالْعُهُودِ ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَالْجِهَادُ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ ، وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ ، وَالْيَتِيمِ ، وَالْمِسْكِينِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالْمَمْلُوكِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ ، وَالدُّعَاءُ ، وَالذِّكْرُ ، وَالْقِرَاءَةُ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَةِ . وَكَذَلِكَ حُبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَخَشْيَةُ اللَّهِ وَالْإِنَابَةُ إلَيْهِ ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لَهُ ، وَالصَّبْرُ لِحُكْمِهِ ، وَالشُّكْرُ لِنِعَمِهِ ، وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ ، وَالتَّوَكُّلُ عَلَيْهِ ، وَالرَّجَاءُ لِرَحْمَتِهِ ، وَالْخَوْفُ لِعَذَابِهِ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ هِيَ مِنْ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ .

“Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah. Berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua orang tua, silaturahim, menepati janji, amar ma’ruf, nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin,  ibnu sabil, budak, hewan, doa, dzikir, membaca, dan yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah dan kembali kepada-Nya, ikhlas dalam beragama untuk-Nya, sabar atas hukum-Nya, syukur atas nikmat-Nya, ridha atas ketetapan-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharap rahmat-Nya, takut atas adzab-Nya, dan yang semisal itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala.” [1]

Beliau juga berkata:

أَنَّ الْعِبَادَةَ تَتَضَمَّنُ كَمَالَ الْحُبِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى الْحَمْدِ ، وَتَتَضَمَّنُ كَمَالَ الذُّلِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، فَفِي الْعِبَادَةِ حُبُّهُ وَحَمْدُهُ عَلَى الْمَحَاسِنِ ، وَفِيهَا الذُّلُّ النَّاشِئُ عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ .

“Bahwa Ibadah adalah mencakup di dalamnya  totalitas rasa cinta, mencakup di dalamnya  makna pujian, totalitas kehinaan, makna pengagungan. Maka dalam ibadah terdapat cinta kepada-Nya dan pujian kepada-Nya atas segala bentuk kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan diri yang muncul karena  keagungan-Nya dan kebesaran-Nya.” [2]

Kedua, menurut Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, beliau mendefinisikan makna ibadah secara syara’ adalah:

وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف.

“Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna (‘ibarah) tentang apa-apa yang mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.” [3]

Coba lihat, definisi yang disampaikan dua ulama ini begitu lapang dan luas, meliputi semua perbuatan yang dapat melahirkan cinta dan ridha Allah Ta’ala. Oleh karena itu, seorang muslim, ketika dia itqan (profesional) atas pekerjaannya yang positif, maka itu akan melahirkan cinta-Nya. Ini pun bernilai ibadah, dan jangan remehkan hal itu.

Perhatikan hadits berikut:

إِنَّ اللهَ جَلَّ وَعَزَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Azza menyukai jika kalian melakukan perbuatan dilakukan secara itqan (profesional).  (HR. al-Baihaqi, Syu’abul Iman No. 4931. Ath-Thbarani, al-Awsath No. 897, Abu Ya’la No. 4386. Syaikh al-Albani menyatakan: hasan. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah No. 1113)

Tidak Menganaktirikan Ilmu Pengetahuan

Jika kita lihat dalam sejarah pertama umat ini, kita mendapati manusia ensiklopedi yang begitu banyak. Dalam satu pribadi terkumpul di dalamnya ahli matematika dan fiqih sekaligus seperti al-Khawarizmi. Kepakarannya dalam matematika terkenal seantero jagad. Tetapi, dia juga seorang ahli fiqih dengan karyanya ar-Risalah fil Washaya wal Faraidh, sebuah kitab membahas wasiat dan warisan.

Ada pula seorang ahli fiqih, ushul fiqih, psikologi, filsafat, dan sosiolog, yakni Imam al-Ghazali. Begitu pula Imam Ibnu Rusyd seorang faqih yang juga seorang filsuf. Dan, masih banyak lainnya. Kenyataan ini menunjukkan pada masa dahulu, masa kegemilangan Islam, mereka memuliakan semua ilmu sehingga umat Islam menggapai puncak kejayaannya.

Ketahuilah, pembagian ilmu dunia dan ilmu akhirat pun bukan berarti tanpa kritik. Sebab, pada prinsipnya semua ilmu yang bermanfaat berasal dari Allah Ta’ala, semuanya ilmu Allah. Perhatikanlah ilmu fisika, kimia, biologi, sosiologi, bahasa, sejarah, geologi, geofisika, astronomi, elektro, dan ilmu duniawi lainnya, semuanya berangkat dari salah satu ayat-Nya, yaitu ayat kauniyah, ayat-ayat Allah yang terdapat dalam alam ini. Di darat, lautan, dan angkasa. Bukankah ini berasal dari Allah Ta’ala?

Perhatikan ayat berikut:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isra: 70)

Ayat lainnya:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)

Begitu pula mengkaji fiqih, tafsir, hadits, ushul fiqih, dan ilmu-ilmu diniyah yang lainnya. Semuanya berangkat dari ayat Allah Ta’ala yang lainnya, yaitu ayat qauliyah. Bukankah ini juga berasal dari Allah Ta’ala? Maka, mengkaji kedua ayat ini (kauniyah dan qauliyah) adalah sama-sama ibadah. Hanya saja memang kita mesti memilah mana yang menjadi ilmu yang fardhu ‘ain, fardhu kifayah, bahkan hanya sunah saja.

Tentu saja dalam hal ini, bagi seorang muslim ilmu-ilmu agama lebih dahulu diutamakan, ilmu-ilmu yang tidak mungkin diwakilkan kepada orang lain, harus diri kita sendiri yang tahu. Seperti  ilmu tentang Ma’rifatullah Ta’ala, tata cara ibadah,  tentang cara meraih surga, menjauh dari neraka, demi kebahagiaan dunia dan akhiratnya.

Demikianlah posisi ilmu-ilmu ini di dalam Islam. Pada hakikatnya, ilmu-ilmu tersebut –yang dianggap ilmu dunia-  adalah baik, mulia, bahkan bisa menjadi wajib untuk mempelajarinya dan mengajarkannya. Sehingga dia bisa bernilai ibadah dan sarana ketundukan kita kepada Allah Ta’ala. Inilah yang perlu disampaikan pula kepada para mahasiswa yang menggeluti ilmu-ilmu ini. Sehingga, anak-anak eksak dan sosial, tidak boleh merasa minder dibanding anak-anak pesantren. Sebab mereka semua sama-sama mengkaji ayat-ayat  Allah Ta’ala.

Hal yang perlu diperhatikan

            Setelah kita mengetahui posisi ilmu  kauniyah dan keutamaannya, maka tidak berarti kita seenaknya saja menyepelekan apalagi meninggalkan ibadah yang bersifat  khusus. Seperti shalat, shaum, dzikir, tilawatul Quran, dan sebagainya. Sebab ibadah inilah sebagai sarana tazkiyatunnafs, pembersih dari iri, dengki, sombong, dan penyakit hati lainnya. Hendaknya kesibukan kita mengkaji ayat kauniyah, jangan sampai melupakan bagian ayat qauliyah dan hak  diri kita untuk bermunajat kepada Allah Ta’ala, hak keluarga, hak tetangga, dan masyarakat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. al-Qashshash: 77)

            Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.

 

[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 10/149. Lihat juga Fatawa Al Kubra, 5/154 [2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibid , 10/251 [3] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz. 1, Hal. 134.  Dar ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’, 1999M/1420H. Cet.2.

 

Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...