Topic
Home / Berita / Opini / Ketulusan Cinta Prabowo di Mata Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri

Ketulusan Cinta Prabowo di Mata Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Prabowo Subianto. (itoday.co.id)
Prabowo Subianto. (itoday.co.id)

dakwatuna.com – Debat kandidat Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang disiarkan langsung melalui beberapa stasiun TV di tanah air ternyata tidak hanya menarik perhatian seluruh lapisan masyarakat di tanah air, tapi juga menyita perhatian seluruh mahasiswa Indonesia di luar negeri.

Seperti yang terjadi di Australia, di awal musim dingin (winter) dengan hujan dan angin yang cukup kencang, banyak di antara mahasiswa yang bela-belain ke kampus untuk menyaksikan debat Capres-Cawapres lewat TV streaming. Tidak lain adalah untuk mendapatkan koneksi internet yang kuat sehingga nonton debat tidak macet-macet, tapi yang punya sinyal internet yang kuat di rumah mereka juga antusias nonton lewat TV streaming di rumah masing-masing.

Alhasil, usai debat kita bisa melihat komentar-komentar bertebaran di social media seperti di Twitter dan Facebook, entah sekedar memuji salah satu Capres Cawapres pilihannya atau menyindir bahkan sinis dengan Capres dan Cawapres yang lain.

Di antara ribuan status dan kicauan yang ada di Facebook dan Twitter, mungkin salah satu yang berisi adalah status Facebook yang ditulis oleh Prayudhi Azwar, seorang mahasiswa PhD yang sedang belajar Monetary Economics di The University of Western Australia (UWA). Yudhi, panggilan akrab Prayudhi Azwar, pegawai Bank Indonesia yang sedang tugas belajar di Australia ini menyoroti tentang Capres Prabowo Subiyanto yang mungkin selama ini luput dari penglihatan mata batin kita. Berikut ulasannya lewat status Facebook-nya:

Kutatap Tulus Cinta di Matanya

Reaksi jenderal yang dahulu kusangka agresif dan kejam, sungguh di luar dugaan. Tak sekalipun dia menyerang memojokkan lawannya. Tak pula dia menyindir atau menatap sinis lawan debatnya. Bahkan tak segan dia memuji, menghormati pendapat rivalnya.

Saat dipojokkan kembali dengan isu HAM yang menderanya dan membunuh karirnya 16 tahun lalu, dia bisa saja memojokkan kembali dengan menjawab: “tanya kepada bu Megawati, mantan presiden yang pernah mengangkat saya sebagai Cawapres 2009”? Atau bertanya kembali, “kenapa Pak JK sendiri tidak adili saya waktu Bapak menjabat Wakil Presiden?”

Tapi tidak. Memojokkan bukan sifatnya, tidak ada dalam jernih pikirannya. Mungkin karena begitulah sifat ksatria. Sifat seorang negarawan. Maka dia hanya berkata: “tanyalah kepada atasan saya”.

Atasan yang kita semua tahu persis berada justru di kubu Pak JK sendiri.
Usai debat, beliau bukan hanya hangat menyambut memeluk rivalnya. Juga saat ditanya wartawan, dengan ringan dia menjawab: “saya harus mau diserang”.

Dia juga tidak keberatan pesaingnya berbangga hati menunjukkan prestasi terpilih menjadi kepala daerah. Padahal kita semua tahu bahwa dialah orang yang pertama mengusungnya.

Sejujurnya, tak banyak saya melihat pribadi dengan karakter yang seikhlas dirinya, saat ini. Batin saya seolah menangkap kilau kepribadiannya. Kepribadian yang akan mampu menyatukan elemen-elemen yang terserak di negeri ini.

Sejarah telah mencatat pengorbanannya untuk bangsanya. Mempertahankan keutuhan NKRI dengan darah dan nyawanya. Dan itu terjadi berulang kali. Di pertempuran di Timor-Timur, dalam misi impossible pembebasan sandera sipil di Mapenduma, penangkapan 2 agen berkulit putih tahun 1984, yang menyulut disintegrasi Papua, dan dalam berbagai operasi tempur berat lainnya. Dia tak tonjolkan semua bakti yang telah ditorehkan untuk ibu pertiwi yang dicintainya, dengan sepenuh jiwa raganya.

Karena itulah, keteguhan kata-katanya memberi makna yang dalam bagi yang memahami bersih nuraninya. “Saya sekian tahun adalah abdi negara, yang membela HAM. Mencegah kelompok radikal mengancam hidup orang-orang yang tidak bersalah,”

Lalu di mana kita? Di mana nurani?

Kenapa kita rakyat sipil, yang katanya lebih beradab, dan yang telah dijaga hak hidup dan keleluasaan menjalankan berbagai jenis usaha, masih tetap terdorong memojokkannya. Tidak cukupkah kita menyaksikan betapa para jenderal-jenderal senior yang semestinya berjiwa korsa itu terus menuduhnya sebagai psikopat, gila, pelaku bom natal dan membebankan dosa satu institusi TNI tahun 1998 di pundaknya, seorang sendiri.

Tidakkah hati kita tergerak, untuk sekedar menghargai lelaki yang teguh ini? Mudah-mudahan nurani kita pada akhirnya bisa memaknai semua ini.
Perth, 10 Juni 2014

Ditulis di keheningan winter, 1:27 AM dini hari

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Muslimah yang tinggal di Australia

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization