Sajakku; Kado Istimewa, untuk Dia yang Kucinta

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Aku berharap bertemu dia. Terkadang, dalam hati selalu terbesit. Siapalah aku ini? Apa-apaan sampai aku bisa seperti ini kepadanya? Tapi, aku tak bisa menutupi belenggu dahsyat ini. Dia yang kucintai, kupercaya, dan selalu kuharapkan senyumnya untukku adalah manusia mulia yang bumi pun tak pernah bosan menyenandungkan ucapan selamat padanya. Langit pun tak pernah berhenti berharap rahmat Sang Penguasa untuknya. Batu, dedaunan, angin, pasir, tak pernah luput mendoakannya. Manusia-manusia dengan jiwa, cinta, harta dan nyawa berkorban untuk satu bayaran termahal, yakni bertemu dengannya.

Dia, orang yang aku cinta. Mempunyai tahta yang begitu mulia, hidup dalam balutan sederhana tapi penuh kasih dan cinta. Dia orang yang aku cinta terlebih sangat cinta untuk umat-umatnya. Meski tak pernah bersua dan tak pernah bertemu. Dia orang yang aku cinta, akan begitu terluka melihat kita yang lari dari risalahnya. Tak pernah ia cemaskan dirinya, tak pernah dia hiraukan dirinya, apakah akan diludahi, dilempar batu, dipanggil gila, sinting, dukun, penyihir dan banyak lagi, tak pernah cemaskan itu, sama sekali tidak. Demi kehidupan ini, dia korbankan segalanya. Sungguh segalanya, bahkan tak makan pun dia rela. Asalkan dakwah tak pernah putus dari lembah ini. Bahkan,  tak berganti kain pun dia rela. Agar sahabatnya tetap bisa memiliki pakaian. Dia yang aku cinta membagi apapun yang bisa dibaginya. Tak butuh baginya isi dunia ini. Asalkan Ridha Illahi terus menyertai, maka itu lebih dari apapun yang ada di hamparan bumi. Dia yang tak terhitung berapa kali berperang melawan kemusyrikan, dengan gagah berani memimpin pergolakkan, membela kebenaran. Dia orang yang kucinta menjadi suami terbaik untuk istri-istrinya.

Doanya selalu untuk kita, umatnya. Air matanya tumpah selalu untuk kita, generasi penyambung dakwahnya. Ingatannya meski beribu tahun yang lalu tetap terbesit memikirkan kita, tongkat estafet penyambung risalahnya. Dia meski telah kembali dengan tenang ke pangkuan Illahi, seutuhnya tak pernah benar-benar kembali. Dia ada, bersama detak Islam. Dia selalu ada bersama nafas iman.

Aku manusia yang sungguh mendamba pertemuan dengannya. Mencium tangannya, menatap dia yang kucinta, melihat senyumnya, mencium harumnya, merasakan kewibawaannya. Dia tak pernah terbayangkan oleh mata. Dan, tak mampu terlintas rupa oleh hati dan ingatan adalah orang yang benar-benar aku cinta.

Tapi, berani sekali aku berkata seperti itu tanpa usaha, niat membara, dan kesadaran? Dosaku beranak-pinak. Jujur saja, aku benar-benar malu. Aku cinta padanya, sementara dusta tetap saja menjadi buah kata bibirku. Aku cinta padanya sementara malas selalu menyertaiku. Aku cinta padanya sementara lalai tak pernah bosan menjadi temanku. Aku cinta padanya sementara aku terlalu hina untuk menatap senyumnya. Semoga kesempatan yang ada dapat kumanfaatkan untuk memperbaiki diri.

Dia yang kukagumi adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

Mahasiswi Psikologi Unand. Ingin menjadi penulis inspiratif. Saat ini sedang menggarap satu buku nonfiksi bergenre psikologi, dan 2 novel.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...