Topic
Home / Berita / Opini / Refleksi Kritis Tujuan Pendidikan

Refleksi Kritis Tujuan Pendidikan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Dari pesawat terbang yang saya cintai, saya melihat ilmu pengetahuan yang saya puja memusnahkan kebudayaan, padahal saya mengharapkan mereka dimanfaatkan untuk kebudayaan. (Charles A. Lindbergh, Jr.)

Membincang masalah pendidikan bagai mereguk hamparan lautan samudera yang membentang luas, tak pernah kering meski direguk oleh ribuan musafir yang tengah dilanda dahaga. Selalu ada rasa yang menggoda, menggelitik di ruang dialektika, tawar dan asinnya realitas problematika pendidikan menjadi rasa penyedap dan menjadikan nikmat yang berputar di arena gelanggang inspirasi para pemerhati pendidikan, menjadi gincu indah yang senantiasa melekat di bibir.

Pendidikan bangsa pada dasawarsa belakangan ini meninggalkan isak tangis mendalam bagi warga masyarakat. Isak tangis yang mencekat rongga kemirisan kaum pinggiran. Mereka yang kaum papa seringkali menjadi korban atas kekejaman yang tak kunjung usai. Kekejaman memihak yang dibungkus dengan nama pendidikan menjadi sarana efektif bagi kaum kapitalis untuk mengamankan strata sosial mereka.

Realitas sosial yang kerap terjadi di masyarakat adalah banyaknya institusi-institusi pendidikan yang kini berubah arah menjadi tempat-tempat industri. Lembaga pendidikan seakan-akan bermetamorfosa menjadi agen kapitalis baru. Jual beli nilai yang tertera pada ijazah menjadi sesuatu yang tidak asing lagi diperdengarkan oleh media, gratifikasi dalam beberapa lini pendidikan mulai bermunculan, orientasi pendidikan kemudian kehilangan ruh dan hanya berorientasi pada materi. Out-put yang dihasilkan pendidikan negeri inipun seakan menjadi mesin kapitalis baru yang mematikan ekonomi rakyat. Sebagai contoh riil yang terjadi di masyarakat adalah pendirian super market yang berdampingan dengan usaha rakyat miskin.

Tidak bisa dipungkiri, disadari atau tidak, bahwa pendidikan bangsa yang sudah berjalan sekian puluh tahun sejak kemerdekaan dideklarasikan lebih menekankan pada aspek kognitif saja. Sehingga wajar, bumi pertiwi di era modern ini menjadi hunian manusia-manusia yang cerdas, terampil tapi lebih bertendensi pada kepribadian cacat dan integritas lemah. Institusi-institusi pendidikan lebih produktif memproduksi para cerdik kapitalis yang cacat moral.

Melihat fenomena ini, maka tidaklah mengherankan apabila praktek korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, berbagai tindak asusila dan serangkaian peristiwa amoral lainnya selalu menghiasi berita diberbagai media yang ada di Negeri ini. Sepertinya, ada yang hilang pada ruh pendidikan bangsa ini. Ruh-ruh yang berdimensi afeksi dan psikomotorik sepertinya masih terlalu tinggi menggantung di langit sehingga perlu usaha keras dan cerdas untuk membumikannya. Ruh-ruh tersebut belum bisa berintegrasi dengan intelektual. Seakan-akan terdapat partisi tebal yang menyekat moral spiritual dengan moral intelektual.

Plato, salah seorang filsuf Yunani dalam Ahmad Tafsir (2010) pernah menelurkan suatu konsep penting menyatakan bahwa masyarakat yang rusak akan memproduksi individu-individu yang cacat. Individu-individu yang cacat itu akan menyumbangkan kesulitan sosial bagi masyarakat. Karena itu, Stevenson dan Habermen (2001) menilai Plato sebagai orang pertama yang melihat pendidikan sebagai kunci utama dalam membangun masyarakat.

Konsep penting yang dikemukakan oleh plato di atas seharusnya menjadi perhatian serius untuk merefleksikan tujuan di tengah karut-marutnya dunia pendidikan bangsa. Karena sejatinya, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia sempurna, manusia-manusia yang cakap dalam integritas dan bukan manusia-manusia yang gagap moral. Manusia yang cerdas secara logika dan luhur dalam budi pekerti sehingga produk yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan benar-benar menjadi agent of chage yang konstruktif bukan destruktif.

Perefleksian dalam dunia pendidikan haruslah sejalan nilai moral yang memihak pada terciptanya konstruksi masyarakat ideal yang berkarakter dan berpihak pada masyarakat yang tidak teruntungkan. Kaitannya dengan hal ini, terdapat teori modernisasi pendidikan yang dikemukakan oleh Weberian dan al-Abrosyian dalam Muhaimin (2012). Weberian menyatakan bahwa pendidikan modern itu adalah pendidikan yang bisa membangun kesadaran peserta didik untuk berpihak pada kelompok yang tidak teruntungkan, kelompok tertindas atau kelompok mustadl’afin. Sedangkan al-Abrosyian menyatakan bahwa pendidikan modern adalah pendidikan yang mampu membentuk peserta didik yang komitmen dan concern terhadap fadlilah al-akhlaq (keutamaan akhlak) dalam berbagai aspek kehidupan.

Pendidikan yang bersifat seumur hidup (long life education) haruslah berorientasi pada pembinaan karakter sehingga tujuan pendidikan akan menghasilkan manusia humanis yang berkepribadian paripurna. Tidak hanya cerdas logika tapi juga cerdas rasa. Hal ini sebagaimana tertera dalam UU nomor 20 tahun 2003 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Jika difahami secara mendalam, UU di atas sudah mencakup pendidikan karakter dengan terinternalisasikannya kekuatan ruh spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan ini semua, diharapkan pendidikan bangsa bisa merefleksikan tujuan pendidikan yang membangun karakter peserta didik. Sehingga diharapkan akan terciptanya manusia-manusia humanis generasi rabbani yang mulia dalam moral dan cantik dalam intelektual.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Angkatan 2011. Aktif dibeberapa organisasi dan forum-forum keilmuan diantaranya adalah LSO-FORSIFA UMM sebagai ketua umum periode 2013-2014, RESIST, Aktivis HPMM (Himpunan Pemuda Muslim Mencorek), Grup diskusi mahzab poros tengah ulil abshar, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, kajian teori sosial kritis jamaah klandungan. disamping itu, penulis juga tercatat sebagai kader PPUT (Program Pendidikan Ulama Tarjih) UMM angkatan 2011.

Lihat Juga

Bentuk-Bentuk Penyimpangan di Jalan Dakwah (Bagian ke-1: Penyimpangan Tujuan)

Figure
Organization