Topic
Home / Berita / Internasional / Eropa / Wadjda, Satu-satunya Film Islami di Festival Film Eropa

Wadjda, Satu-satunya Film Islami di Festival Film Eropa

Wadjda disutradarai oleh Haifaa Al-Mansour - Foto: wshfilmk.com
Wadjda disutradarai oleh Haifaa Al-Mansour – Foto: wshfilmk.com

dakwatuna.com – Pagelaran Festival Film Eropa atau yang dikenal dengan Europe on Screen 2014 telah berakhir pada Ahad (11/5) lalu. Dalam penyelenggaraannya selama 10 hari ini, ada salah satu film yang menarik perhatian, yaitu sebuah film dari Jerman dengan judul Wadjda.

Film ini merupakan satu-satunya film dengan tema Islam dalam festival film ini, hal yang masih sangat jarang ditampilkan film-film barat. Wadjda disutradarai oleh Haifaa Al-Mansour dengan durasi film selama 98 menit.

Wadjda juga bukannya tanpa alasan untuk mewakili Jerman dalam ajang festival film ini. Wadjda juga telah memenangi 2 penghargaan, yaitu memenangi Audience Award untuk Best Feature Film di Goteborg Film Festival 2013 dan Dioraphte Award di Rotterdam International Film Festival 2013.

Film ini mengisahkan tentang seorang anak perempuan berusia 10 tahun bernama Wadjda. Ia dan keluarganya tinggal di pinggiran kota Riyadh, Arab Saudi. Di awal film dikisahkan Wadjda kerap mengalami keisengan anak-anak lelaki yang bersepeda saat menuju sekolah.

Keinginan Wadjda untuk memiliki sepeda semakin bertambah ketika ia berniat untuk balapan dengan sahabatnya yang juga tinggal di depan rumahnya, Abdullah. Masalahnya, tradisi di sana melarang perempuan untuk mengendarai sepeda. Keinginan Wadjda tentu saja tak dikabulkan ibunya.

Wadjda tak menyerah. Ia berniat untuk mengumpulkan uang untuk membeli sepeda dengan harga 700 Riyal di sebuah toko tak jauh dari rumahnya. Ia juga meminta agar si pemilik toko tidak menjual sepeda hijau yang telah ia impikan untuk memilikinya.

Rencana pengumpulan uang pun disusun, dari menjual gelang dari tali yang ia buat sendiri sampai menjual jasa menjadi pengantar surat ‘rahasia’ dari kakak kelasnya kepada teman lelakinya yang menunggu di luar sekolah.

Di film ini digambarkan sekolah ini khusus perempuan, tempat siswa perempuan memakai baju abaya dan cadar hanya dapat dibuka setelah berada di dalam wilayah sekolah. Wadjda sendiri tidak pernah memakai cadar dan berkali-kali diingatkan gurunya untuk memakai cadar.

Wadjda pun sempat putus asa karena baru hanya menabung sebesar 70 Riyal. Tiba-tiba ia mendapatkan ide untuk mengikuti lomba baca Alquran. Padahal Wadjda sendiri tidak lancar dalam membaca Alquran. Keinginannya untuk mengikuti lomba baca Alquran ini juga mengejutkan gurunya.

Wadjda juga merelakan uang tabungannya, 70 Riyal itu untuk membeli kaset berisi lantunan ayat Alquran dan kuis-kuis yang menanyakan arti dari bahasa di Alquran. Selama belajar Alquran ini, ia juga belajar sepeda dengan sahabatnya, Abdullah.

“Membaca Alquran bukan hanya membacanya, tapi cobalah membacanya dari hati,” kata ibunya kepada Wadjda sambil mencontohkan untuk melantunkan Alquran.

Hari perlombaan pun tiba. Dari belasan siswa yang menjadi peserta, hingga tersisa tiga orang di babak final, termasuk Wadjda. Seorang pesaing Wadjda yang memiliki suara paling bagus dalam melantunkan Alquran tiba-tiba lupa melanjutkan ayat Alquran yang dibacanya.

Giliran Wadjda pun tiba. Dengan lancar, ia melantunkan Alquran dengan begitu merdu. Ia juga menyelesaikan bacaan Alquran secara acak yang diminta tim juri. Wadjda diumumkan sebagai juara 1 untuk mendapatkan uang sebesar 1.000 Riyal dan beasiswa.

Saat ditanya gurunya mengenai rencana dengan uang tersebut, Wadjda dengan lantang mengatakan akan membeli sepeda. Gurunya langsung terkejut. Gurunya mengatakan perempuan dilarang untuk menaiki sepeda. Maka itu, gurunya langsung memutuskan tidak memberikan uang itu kepada Wadjda dan akan disumbangkan ke Palestina.

Wadjda menangis di jalan menuju pulang ke rumahnya sambil membawa sertifikat juara. Di jalan pulang, ia sempat bertemu Abdullah dan menanyakan apakah ia juara dan akan membeli sepeda. “Uangnya di Palestina,” kata Wadjda sambil terus berlari menuju rumahnya.

Abdullah sempat menawarkan sepedanya untuk diberikan kepada Wadjda, namun ditolaknya. “Bagaimana kita akan balapan kalau sepedamu diberikan kepadaku,” tolak Wadjda beranjak masuk ke dalam rumahnya. Abdullah juga sempat mengatakan akan menikahi Wadjda jika sudah besar nanti. Wadjda hanya tersenyum.

Malamnya, ia melihat ibunya sedang berdiri dan menangis di balkon rumah. Saat Wadjda menghampiri, ibunya langsung menghapus air mata dan mengucapkan selamat kepada anak semata wayangnya itu. Lalu, ia menanyakan kenapa ibunya tidak menghadiri pernikahan di rumah pamannya.

Ibunya mengatakan pernikahan itu bukan pernikahan pamannya, melainkan pernikahan ayah Wadjda dengan perempuan lain karena ibunya tidak dapat memberikan keturunan laki-laki. Paternalistik dalam budaya Arab juga terlihat dalam gambar di dalam rumah Wadjda yang menunjukkan pohon dengan beberapa cabang.

Batang pohon tertuliskan nama kakek Wadjda dan cabang-cabangnya dituliskan nama anak-anaknya, salah satunya ayah Wadjda. Di setiap ranting di cabang itu ada nama-nama anak lelaki, dan cabang yang bertuliskan nama ayah Wadjda tidak ada namanya.

Ibunya menjelaskan pohon itu hanya dituliskan nama anak laki-laki saja. Wadjda pun menuliskan namanya di secarik kertas dan menempelkannya di cabang bertuliskan nama ayahnya. Namun, kertas ini ditemukan telah dirobek oleh ayahnya.

Sebagai hadiah karena Wadjda telah menjadi juara, ibunya memberikan kejutan dengan membeli sepeda yang diimpikan Wadjda selama ini. Wadjda pun memakai sepeda itu untuk ke sekolah dan berhasil mengalahkan Abdullah dalam sebuah balapan di pagi hari. (ROL/sbb/dakwatuna)

 

Redaktur: Saiful Bahri

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir dan besar di Jakarta, Ayah dari 5 orang Anak yang hobi Membaca dan Olah Raga. Setelah berpetualang di dunia kerja, panggilan jiwa membawanya menekuni dunia membaca dan menulis.

Lihat Juga

Muhammad Jadi Nama Paling Populer di Berlin dan Sejumlah Kota di Eropa

Figure
Organization