Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Manusia; Visi Besar dan Misi Jitu Meraihnya

Manusia; Visi Besar dan Misi Jitu Meraihnya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: blogspot.com)
Ilustrasi. (Foto: blogspot.com)

dakwatuna.com – Pernah ada dialog yang terabadikan dalam al-Quran. Tentang amanah memimpin bumi. Allah memberi amanah kepada gunung agar dia memimpin dan memakmurkan bumi. Namun sertamerta, gunung yang besar dan gagah perkasa menolaknya, takut tak bisa mengembannya dengan seluruh kemampuannya. Kawan tahu? Setelah itu, amanah memimpin bumi diberikan kepada seorang manusia. Padahal ia adalah makhluk yang sering alpa dan lupa.

Allah tidak sertamerta membiarkan manusia terjun sendiri tanpa pedoman, Allah Yang Maha Pengasih mengutus utusan-utusan terbaik-Nya menyeru kebenaran, mengajak manusia untuk berhukum dengan katalog hukum paripurna: Syariah. Puluhan, ratusan, bahkan ratusan ribu utusan-utusan mulia –bergelar Nabi dan Rasul- itu telah memenuhi sejarah bumi, mewarnainya dengan perjuangan hingga jadilah manusia seorang khalifah sejati. Pemimpin yang menjaga dan memakmurkan bumi, berhukum dengan hukum Allah. Walau ada saja, bahkan sebagian besarnya malah berbelok ke arah-arah buntu; menuju jurang kehancuran yang mereka buat sendiri.

Manusia hidup dan memenuhi bumi bukan tanpa tujuan. Mari kita iqra’! Ternyata ada visi dan cita-cita besar yang telah ditetapkan Sang Pencipta bagi makhluk terbaik ini. Mari saya ajak kawan berlayar sejenak di tulisan-tulisan ini.

وَإذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (Q.s. 2:30)

                Saya yakin kawan sudah mengerti mengapa Allah menggelari utusan-utusan-Nya dengan sebutan Rasul. Bagaimana? Rasul adalah asal kata dari arsala; mengutus. Rasul juga bisa dikatakan mursal, yaitu orang yang diutus. Secara Istilah, maka disimpulkanlah bahwa Rasul itu Arsala Ma’ahu ar-Risalah. Orang-orang yang diutus bersamanya sebuah risalah, risalah langit yang suci nan mulia.

Dan, intisari dari risalah-risalah yang silih berlanjut itu mengerucut menjadi 2 hal besar; sebuah misi mulia dan visi yang besar:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

                “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.s. 51:56). Ibadah adalah misi. Ibadah adalah jalan bagi manusia untuk melatih diri menjadi pribadi yang baik, benar, lurus, dan bermanfaat. Jika dilaksanakan dengan konsisten, misi ini akan menghasilkan visi tingkat awal secara individu bernama taqwa, sebuah pribadi unik yang Imtitsalu Awamrihi, Wa Ijtinabu Nawahihi; melaksanakan segala perintah tanpa banyak tanya dan curiga, serta menjauhi segala larangan-Nya tanpa bersungut-sungutan.

Jika setiap manusia beriman telah mencapai visi awal ini secara berjama’ah, maka geliatnya akan menggema mewarnai bumi dengan segala potensi jasadi dibingkai dengan kekuatan wawasan dan ruh perjuangan sebagau kekuatan raksasa serta pertahanan tebal bernama iman sebagai produk taqwa.

Sampailah bahtera muttaqin ini pada visi tingkat tinggi yang hanya dapat diraih dengan bersatunya semua orang bertaqwa; tegaknya kalimat Allah, terbitnya Islam menjadi guru bagi Dunia atau Ustadziyatul Alam  versi Ustad Hasan al-Banna. Sering pula kita dengar dengan nama Khilafah Islamiyah, Kepemimpinan Muslimin yang Super Power dan Terpusat.

Kenapa Ibadah menjadi misi bukan sebagai visi? Mari kita tengok sejenak bagaimana Allah mengaitkan ibadah dengan pembentukan pribadi:

إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 29:45).

Shalat adalah ibadah utama, semua muslim tahu itu. Namun yang perlu kita garisbawahi bahwa ia menjadi tolok ukur manusia, apakah siap menjadi pemimpin atau tidak?

Dalam shalat ada letak kesempurnaan. Ia adalah bentuk ibadah paripurna. Segala penghormatan ada disitu; hormat, ruku, sujud, menunduk, harapan, doa, memuji, mengagungkan Allah Maha Penguasa. Tak sampai di situ saja, ternyata pendidikan kedisiplinan juga tertera di dalamnya. Logikanya, bagaimana caranya dalam melampaui kesibukan 24 jam, seorang muslim bisa tepat waktu datang menuju Allah menyampaikan keluh kesahnya dan menemui-Nya dalam sejuknya lantunan bacaan-bacaan shalat? Hal itu dilakukan 5 kali sehari. Sekali lagi, 5 kali sehari. Setiap waktunya pun dibatasi, diatur, hingga rasa disiplin diri manusia terasah dan terbiasa.

Tak ada agama lain yang punya ibadah sedisiplin itu.

Benar, sungguh benar firman Allah. Shalat yang 5 kali sehari itu menjadi akses hamba untuk mentraining diri hingga jika sudah benar-benar fokus dan khusyu’ dalam sholat, ia akan mengalami metamorfosis karakter; menahan dari kekejian dan kemungkaran.

Hebat, ya? Sudah disiplin, tenang, bisa menahan dari perbuatan keji dan munkar.

Bagaimana jika kita shalat, namun belum bisa menahan dari segala kekejian dan melakukan kemungkaran? Jawabannya juga sederhana saja: berarti shalat kita belum benar, khusyu’. Ada yang harus dikoreksi lagi. Ingat, yang salah bukan shalatnya, tapi kita sebagai pelakunya. Sudah ikut ‘aturan baku’ atau masih amburadul.

Kawan, ujung dari semua rukun-rukun ibadah adalah visi jangka pendek bernama taqwa. Sedangkan taqwa adalah bekal menuju izzah (Eksistensi). Dan izzah adalah bekal kuat untuk memimpin. Dan kepemimpinan adalah mutlak bagi seluruh manusia.

Kesimpulannya, ibadah yang benar akan menghasilkan manusia seutuhnya. benar-benar sesuai fungsi dan cara kerjanya sebagai calon Khalifah di muka bumi.

Visi Tingkat Tinggi: Soko Guru Dunia

                Setalah taqwa menjadi software utuh di dalam hardware jasad seorang muslim, maka saat itulah cita-cita menjadi guru bijaksana bagi dunia akan tercapai. Generasi emas Muslimin 1400 tahun yang lalu dengan karakter taqwa telah membawa jazirah gersang Arab, “Secara tiba-tiba menjadi kekuatan yang besar dan sangat disegani, bahkan mengalahkan dua imperium besar saat itu, Byzantium di Barat dan dinasti Persia Sassania di Timur.” Begitu tulis DR. David Nicolle, Peneliti Peradaban Islam dalam buku Historical Atlas of Islamic World.

                Tak pernah disangka, bangsa yang lebih dikenal sebagai enterpreneur dan follower yang baik, dengan hanya 23 tahun sentuhan risalah Nabi Muhammad, bangkit menjadi kekuatan adidaya yang menguasai 2/3 daratan bumi selama 12 abad lebih. Kapal-kapalnya yang besar melintas dan menjaga batas-batas samudera. Lembaran-lembaran ilmu dari bahasa penjuru dunia dikonversi ke bahasa Arab, ditengarai, dikaji di universitas-universitas Baghdad, Cordoba, al-Azhar (dulu orang eropa belajar ke Negara-negara Muslim) menguasai bumi dari awal 633 M sampai jatuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 M. Menguasai dunia selama 1291 tahun lebih. Tak ada peradaban lain yang bisa selama itu menguasai Bumi dengan bijak dan menorehkan tinta emas sejarah seperti yang ditorehkan generasi emas Islam di zamannya.

Baik, Khilafah secara bahasa adalah Pengganti. Jika kita simpulkan maknanya secara singkat adalah: Wakil Allah di bumi yang menegakkan Syari’at-Nya. Khalifah menegakkan 2 hal; al-Imarah dan ar-Ri’ayah, memakmurkan bumi dan menjaga atau memeliharanya. Bahasa mudahnya,“Yang belum ada kita bangun, yang sudah ada kita jaga.”

Masalah kita saat ini adalah; krisis manusia berjiwa pemimpin, krisis pemimpin yang berjiwa pemakmur dan pemelihara. Perhatikan sejenak, “Manusia itu ibarat unta-unta yang banyak. Namun hampir tak ada yang bisa ditunggangi dari kesemuanya.” Begitu sabda Rasulullah Saw. Beliau mengumpamakan, dari sekian miliar manusia yang berjalan di atas bumi, sedikit sekali manusia yang bisa melaksanakan fungsi kepemimpinan sejati.

Berkatalah KH. Asril Rusli Muhammad, seorang Cendekiawan Muslim, “Maka karena mencari pemimpin itu sulit, mereka harus disiapkan. Jika jama’ah tidak menyiapkan kader-kadernya untuk memimpin, itu artinya mereka memperpendek usia jama’ah itu.”

Dari mana potensi menjadi khalifah bumi diukir? Harus memulai dari mana? Jawabannya sungguh sudah ada dalam diri kita sendiri: memimpin diri sendiri adalah bekal pertama dan utama untuk memimpin ummat.

Mau bukti? Salah satu alasan Michael Hart menorehkan nama Nabi Muhammad dalam tingkatan pertama buku 100 Orang Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah adalah ketika Nabi Muhammad menjadi Pemimpin Negaranya, masalah keluarga sudah beres, pundi-pundi harta sudah ada. Hal-hal terkecil sudah terlaksana dan terorganisir dengan baik. Berbeda dengan Jenghis Khan yang –walaupun menjadi Penakluk Besar- tapi hidupnya tak lebih dari membunuh, merampas, dan menjarah. Atau Mao Zedong –si Revolusioner Cina yang gegap gempita–  yang berulangkali durhaka pada ayah-ibunya, rumah tangganya hancur berkeping-keping.

Tak ada alasan bagi siapapun untuk menahan Nabi Muhammad dari gelar Manusia Rangking Satu.

Mari kita runut dari permulaan. Manusia menjalani misi ibadah dengan standar yang benar. Maka hasil pertama yang tercapai adalah taqwa. Selanjutnya, jika taqwa sudah menjadi perangkat utama seorang Muslim secara kolektif, maka akan bersatu padu menuju visi tingkat Internasional; menjadi guru bagi dunia.

Ingat, bukan pendekar jika tak pernah bertarung. Bukan jagoan jika tak pernah dilawan. Bukan satria jika belum pernah berperang. Tahapan-tahapan besar ini dari jauh-jauh hari telah disadari musuh Islam. Maka dengan segala cara mereka akan tampil melawan secara terang-terangan atau tersirat. Agar bangunan taqwa seorang muslim roboh, agar cita-cita tinggi sebagai khalifah bumi dilupakan pemuda-pemudanya. Maka hanya dengan pertolongan Allah, keyakinan kuat, jamaah yang solid, ukhuwah yang rekat, lawan-lawan dan rintangan akan terlewati, walau akan terwarnai merah darah atau lelah bercampur intimidasi.

Jika sudah begitu kita berbuat, maka tercapailah peradaban mulia, “Peradaban adalah gabungan antara Materi dan Rohani. Hardwarenya adalah hadharah, softwarenya adalah tsaqafah.” Begitu kata seorang guru. Peradaban emas yang melahirkan bangunan-bangunan dan karya monumental, serta manusia-manusia besar yang mewarnai dengan pelangi-pelangi keilmuan.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 4.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan

Lihat Juga

Kendaraan Sebuah Gagasan

Figure
Organization