Topic
Home / Pemuda / Pengetahuan / Maghrib: Batas Hari dalam Kalender Islam

Maghrib: Batas Hari dalam Kalender Islam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi pergantian siang menuju malam. (wikispaces.com)
Ilustrasi pergantian siang menuju malam. (wikispaces.com)

dakwatuna.com – Mengapa batasan Maghrib menjadi acuan hari dalam Islam? Tidak ada dalil dalam Al-Quran yang secara tegas menyebut Maghrib sebagai batas awal hari dalam Islam. Tetapi hadits Rasul tentang rukyat awal dan akhir Ramadhan dapat menjadi dasar bahwa hari dimulai sejak Maghrib. Hadits itu memerintahkan, “Berpuasalah bila melihatnya (hilal) dan berbuka (Beridul Fitri) bila melihatnya”.

Rukyat Hilal yang dapat meyakinkan telah masuknya bulan baru adalah rukyat setelah Maghrib. Ketika telah terlihat Hilal, maka saat itulah awal bulan berlaku. Kalau itu awal Ramadhan, maka malam itu Shalat Tarawih dan amalan Ramadhan dimulai. Lalu puasa dimulai sejak Shubuh sampai Maghrib. Kalau itu awal Syawal, Shalat Tarawih tidak ada lagi berganti dengan gema takbir menyambut Idul Fitri. Jadi, tanggal awal bulan bermula saat Maghrib. Harinya pun bermula saat Maghrib. Jadi dalam Islam, Kamis malam adalah malam Jumat, karena hari dimulai saat Maghrib. Ungkapan itu sudah lazim dan memasyarakat di Indonesia.

Ketika Ilmu Hisab (Perhitungan Astronomi) berkembang, batasan Maghrib pun tetap dijadikan rujukan awal hari. Posisi bulan saat Maghrib menjadi rujukan dalam penentuan masuknya awal bulan Islam. Beberapa kriteria klasik menggunakan batasan Maghrib untuk menandai awal bulan. Misalnya,  “Ijtimak Qoblal Ghurub” (konjungsi bulan-matahari sebelum Maghrib) dan “Wujudul Hilal” (hilal dianggap wujud atau sebagian piringan bulan masih di atas ufuk) saat Maghrib. Kriteria Visibilitas Hilal atau Imkan Rukyat (kemungkinan ketampakan hilal) menggunakan posisi bulan saat Maghrib dengan syarat ketinggian tertentu atau parameter lainnya sebagai syarat masuknya awal bulan.

Kini, pengamatan bulan sabit siang hari sudah dimungkinkan dengan teknologi teleskop dengan penutup matahari, filter inframerah, kamera digital, dan perangkat lunak pengolah citra. Orang menyebutnya “Rukyat Qoblal Ghurub” (Pengamatan sebelum maghrib) yang dianggap sebagai alternatif solusi. Tetapi sesungguhnya itu bukan solusi, tetapi masalah baru dalam hukum ibadah. Rukyat siang hari tidak bisa memastikan pergantian bulan kalender, kecuali saat terjadi gerhana matahari. Karena itu bulan sabit siang hari bukan hilal penentu awal bulan.

Rukyat bulan sabit siang hari  menjadi persoalan hukum ibadah. Karena tidak bisa memastikan pergantian bulan kalender, kemudian ada gagasan menggabungkan rukyat bulan sabit siang hari dengan hasil hisab untuk  ijtimak (konjungsi). Menurut gagasan itu, kalau sudah ijtimak dan bulan sabit teramati, maka masuklah bulan baru. Gagasan itu sangat janggal. Kalau ijtimak dijadikan penentu, maka buat apa ada rukyat bulan sabit? Mengapa tidak mempercayai saja hasil hisab tentang ijtimak itu? Tampaknya gagasan itu berupaya untuk mengakomodasi pengamal rukyat dengan dibuktikan terlihatnya bulan sabit. Tetapi bukti itu salah dan membuat rancu secara hukum.

Kalau sudah ijtimak dan terlihatnya bulan sabit dianggap sudah bulan baru, lalu apa hukumnya hari itu? Kalau itu awal Ramadhan, apakah saat itu sudah memasuki 1 Ramadhan sehingga semestinya umat Islam sudah wajib puasa? Puasa itu harus diawali sejak shubuh, jadi kalau awal bulan jatuhnya siang hari, apakah ia wajib menggantinya kalau saat itu tidak berpuasa? Kalau pun sedang berpuasa, niatnya dalam keraguan. Pagi hari puasa bulan Sya’ban, siangnya puasa Ramadhan. Rancu secara hukum!

Karena terbentur pada masalah hukum ibadah, mungkin juga ada yang memodifikasi ketentuannya. Walau sudah ijtimak dan terlihat bulan sabit siang hari, ketentuan ibadahnya mulai Maghrib seperti lazimnya. Oh, kalau begitu untuk apa bersusah-susah melakukan rukyat siang hari, kalau ujung-ujungnya menggunakan konsep rukyat setelah maghrib dalam menentukan awal hari.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Djamaluddin, lahir di Purwokerto, 23 Januari 1962, putra pasangan Sumaila Hadiko, purnawirawan TNI AD asal Gorontalo, dan Duriyah, asal Cirebon. Tradisi Jawa untuk mengganti nama anak yang sakit-sakitan, menyebabkan namanya diganti menjadi Thomas ketika umurnya sekitar 3 tahun, nama tersebut digunakannya sampai SMP. Menyadari adanya perbedaan data kelahiran dan dokumen lainnya, atas inisiatif sendiri nama di STTB SMP digabungkan menjadi Thomas Djamaluddin. Sejak SMA namanya lebih suka disingkat menjadi T. Djamaluddin. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan di Cirebon sejak 1965. Sekolah di SD Negeri Kejaksan I, SMP Negeri I, dan SMA Negeri II. Baru meninggalkan Cirebon pada 1981 setelah diterima tanpa test di ITB melalui PP II, sejenis PMDK. Sesuai dengan minatnya sejak SMP, di ITB dia memilih jurusan Astronomi. Minatnya diawali dari banyak membaca cerita tentang UFO, sehingga dia menggali lebih banyak pengetahuan tentang alam semesta dari Encyclopedia Americana dan buku-buku lainnya yang tersedia di perpustakaan SMA. Dari kajian itu yang digabungkan dengan kajian dari Al Quran dan hadits, saat kelas I SMA (1979) dia menulis �UFO, Bagaimana menurut Agama� yang dimuat di majalah ilmiah populer Scientae. Itulah awal publikasi tulisannya, walaupun kegemarannya menulis dimulai sejak SMP. Ilmu Islam lebih banyak dipelajari secara otodidak dari membaca buku. Pengetahuan dasar Islamnya diperoleh dari sekolah agama setingkat ibtidaiyah dan dari aktivitas di masjid. Pengalaman berkhutbah dimulai di SMA dengan bimbingan guru agama. Kemudian menjadi mentor di Karisma (Keluarga Remaja Islam masjid Salman ITB) sejak tahun pertama di ITB (September 1981) sampai menjelang meninggalkan Bandung menuju Jepang (Maret 1988).� Kegiatan utamanya semasa mahasiswa hanyalah kuliah dan aktif di masjid Salman ITB. Kegemarannya membaca dan menulis. Semasa mahasiswa telah ditulisnya 10 tulisan di koran tentang astronomi dan Islam serta beberapa buku kecil materi mentoring, antara lain Ibadah Shalat, Membina Masjid, dan Masyarakat Islam. Lulus dari ITB (1986) kemudian masuk LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung menjadi peneliti antariksa. Dan tahun 1988 � 1994 mendapat kesempatan tugas belajar program S2 dan S3 ke Jepang di Department of Astronomy, Kyoto University, dengan beasiswa Monbusho. Tesis master dan doktornya berkaitan dengan materi antar bintang dan pembentukan bintang. Namun aplikasi astronomi dalam bidang hisab dan rukyat terus ditekuninya. Atas permintaan teman-teman mahasiswa Muslim di Jepang dibuatlah program jadwal salat, arah kiblat, dan konversi kalender. Upaya menjelaskan rumitnya masalah globalisasi dan penyeragaman awal Ramadhan dan hari raya dilakukannya� sejak menjadi mahasiswa di Jepang. Menjelang awal Ramadhan, idul fitri, dan idul adha adalah saat paling sibuk menjawab pertanyaan melalui telepon maupun via internet dalam mailing list ISNET. Amanat sebagai Secretary for Culture and Publication di Muslim Students Association of Japan (MSA-J), sekretaris di Kyoto Muslims Association, dan Ketua Divisi Pembinaan Ummat ICMI Orwil Jepang memaksanya juga menjadi tempat bertanya mahasiswa-mahasiswa Muslim di Jepang. Masalah-masalah riskan terkait dengan astronomi dan syariah harus dijawab, seperti shalat id dilakukan dua hari berturut-turut oleh kelompok masyarakat Arab dan Asia Tenggara di tempat yang sama, adanya kabar idul fitri di Arab padahal di Jepang baru berpuasa 27 hari, atau adanya laporan kesaksian hilal oleh mahasiswa Mesir yang mengamati dari apartemen di tengah kota padahal secara astronomi hilal telah terbenam. Kelangkaan ulama agama di Jepang juga menuntutnya harus bisa menjelaskan masalah halal-haramnya berbagai jenis makanan di Jepang serta mengurus jenazah, antara lain jenazah pelaut Indonesia. Saat ini bekerja di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional)� Bandung sebagai Peneliti Utama IVe (Profesor Riset) Astronomi dan Astrofisika. Sebelumnya pernah menjadi Kepala Unit Komputer Induk LAPAN Bandung, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa, dan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN. Juga mengajar di Program Magister dan Doktor Ilmu Falak di IAIN Semarang. Terkait dengan kegiatan penelitiannya, saat ini ia menjadi anggota Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), International Astronomical Union (IAU), dan� National Committee di Committee on Space Research (COSPAR), serta anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI dan BHR Daerah Provinsi Jawa Barat. Lebih dari 50 makalah ilmiah, lebih dari 100 tulisan populer, dan 5 buku tentang astronomi dan keislaman telah dipublikasikannya. Alhamdulillah, beberapa kegiatan internasional juga telah diikuti dalam bidang kedirgantaraan� (di Australia, RR China, Honduras, Iran, Brazil, Jordan, Jepang, Amerika Serikat, Slovakia, Uni Emirat Arab,� India, Vietnam, Swiss, dan Thailand) dan dalam bidang keislaman (konferensi WAMY � World Assembly of Muslim Youth �� di Malaysia). Beristrikan Erni Riz Susilawati, saat ini dikaruniai tiga putra: Vega Isma Zakiah (lahir 1992), Gingga Ismu Muttaqin Hadiko (lahir 1996), dan Venus Hikaru Aisyah (lahir 1999).

Lihat Juga

Yakesma Babel Ajak Anak Yatim dan Dhuafa Shopping Bareng

Figure
Organization