Memahami Mahawir Dakwah

Ilustrasi. (Foto: inet)

dakwatuna.com – Akhi al-Karim, masih ingatkah tabiat jalan dakwah yang materinya telah kita terima dahulu? Jalan dakwah yang kita lalui ini sangatlah panjang. Karenanya, kita harus menitinya dengan penuh keteguhan dan keuletan, membuat langkah-langkah maju secara bertahap dan strategi bernafas panjang wajib dilakukan agar perjalanan bisa sampai di ujung tujuan.

Jalan dakwah penuh dengan halangan dan rintangan, penuh dengan onak dan duri bahkan godaan dan tipuan yang menyesatkan. Karenanya kita harus menempuh jalan itu dengan melipatgandakan kesabaran. Sabar membimbing dan menuntun kawan seperjuangan atau kawan yang dahulu pernah dalam bimbingan kita, sabar menerima nasihat dan kritik yang bermanfaat atau kritik yang hanya sekedar kritik, sabar dan menahan diri dari godaan dan rayuan duniawi yang melalaikan dan menyengsarakan. Karena semakin jauh perjalanan ditempuh semakin berat ujian dan cobaan menghadang.

Jalan dakwah ini memiliki beban yang sangat berat, beban risalah Ilahiyah, beban menyelamatkan manusia dari kejahilan, kezhaliman dan kesengsaraan. Karenanya kita harus memperkuat diri dengan kekuatan iman dan taqwa, kekuatan ilmu dan amal shalih.

Akhi al-Karim,

Jalan dakwah ini sangatlah panjang, penuh halangan dan rintangan. Beban yang dipikul dalam perjalanan itu pun sangatlah berat. Itulah tabiat jalan dakwah kita, dan itulah sunnah dakwah. Untuk itu, kita tidak akan bisa memahami mahawir dakwah tanpa memahami tabiat dan sunnah dakwah.

Bila satuan hari dan peristiwa dalam perjalanan dakwah ini kita ukur dengan jarak kilometer, mungkin hari ini kita telah menempuh jarak perjalanan ribuan kilometer. Sepanjang perjalanan itu, banyak suka-dukanya, banyak pemandangan yang indah, tetapi ada yang mengerikan.

Bila perjalanan dakwah yang hampir tiga dekade ini ibaratnya sama dengan tiga ribu kilometer, ketahuilah bahwa yang pertama melangkahkan kaki dan memulai perjalanan ini pada titik 0 kilometer hanya beberapa orang dai saja. Kemudian dalam perjalanan semakin banyak yang bergabung. Sedikit orang dai itu mulai melangkah pada saat kaum muslimin dicengkeram ketakutan luar biasa kepada rezim orde baru yang diktator. Sehingga fokus dakwah pada beberapa kilometer pertama ini adalah menyebarluaskan fikrah Islam yang shahih dan syamil, melakukan rekruitmen dan pembinaan calon-calon kader bangsa pilihan dan kemudian menata (mengorganisasikan) mereka dalam kerja-kerja dakwah.

Tahapan dakwah dengan fokus kerja seperti ini disebut Mihwar Tandzimi. Salah satu outputnya adalah lahirnya Qaidah Harakiyah yang memiliki Syakhshiyah Islamiyah Da‘iyah.

Tahap kedua perjalanan dakwah ini disebut Mihwar Sya’bi. Setelah para kader dan aktivis dakwah  mulai lahir dan tumbuh dalam jumlah yang memadai, selain program rekruitmen dan pembinaan tetap harus berjalan. Mereka mulai dilibatkan dalam proyek pembangunan masyarakat yang diinginkan oleh Islam. Kemudian berbagai lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan dan paguyuban, yayasan-yayasan sosial, pendidikan dan dakwah mulai tumbuh di setiap pelosok negeri. Lalu lahirlah para pekerja sosial yang tulus, guru-guru ngaji yang mukhlish, para pendidik profesional, dan pemimpin-pemimpin informal di tengah masyarakat yang merindukan keteladanan dalam kepemimpinan. Pada tahapan ini, Qaidah Sya’biyah yang akan menjadi basis sosial pendukung dakwah akan mulai terwujud.

Pada tahap ketiga, yang biasa disebut dengan Mihwar Muassasi, fokus kerja dakwah ditambah. Bukan hanya bekerja untuk melahirkan Qaidah Harakiyah dan Qaidah Sya’biyah, tetapi juga melahirkan Qaidah Fikriyah. Yakni melahirkan para teknokrat pemikir yang akan membimbing dan menentukan arah perjalanan bangsa dan bahkan terlibat dalam menjalankan dan mengendalikan kehidupan ini agar menjadi lebih baik.

Pada mihwar ini, para kader dakwah mulai terlibat dalam pengelolaan lembaga-lembaga formal. Baik lembaga kemasyarakatan, politik ataupun Negara.

Akhi al-Karim,

Hari ini, perjalanan dakwah kita sudah sampai di sini, sampai pada mihwar ketiga. Bila kita mengandaikan dengan jarak kilometer, jarak yang telah kita tempuh mungkin telah memasuki ribuan kilometer ketiga. Bila diukur dengan kondisi fisik manusia, tentu perjalanan yang sudah cukup jauh dan meletihkan. Di sinilah kita perlu merenung dan mencoba memahami perjalanan dakwah kita, perjalanan yang lalu dan perjalanan yang akan datang, agar lebih terjamin keselamatan kita hingga sampai tujuan.

Secara psikologis, bila perjalanan baru dimulai, semangat masih membara, soliditas tim sangat bagus. Ketika itu, jumlah kader masih sedikit dan kontrol Qiyadah sangat kuat. Problema personal pun nyaris tidak pernah terdengar. Problema internal yang muncul umumnya sebatas kebingungan mendapatkan uang kontrakan rumah, repot menutup tunggakan biaya kuliah atau pusing mencari biaya istri yang akan melahirkan. Akan tetapi, kondisi ini pun justru menjadikan dakwah lebih dinamis dan menambah militansi kader. Satu-satunya problem yang ada adalah problem eksternal; kediktatoran rezim dan pengucilan masyarakat yang masih merasa aneh dengan tampilan dan aktivitas kader dakwah.

Ketika dakwah sudah memasuki Mihwar Sya’bi, jumlah kader mulai banyak. Sehingga daya jangkau kendali Qiyadah dan Murabbi mulai berkurang. Pada mihwar ini, interaksi sosial kader mulai meluas. Interaksi tidak sebatas dengan sesama kader seperti saat dakwah masih di Mihwar Tanzhimi. Lingkungan baru ini sedikit banyak mempengaruhi tingkat konsistensi khuluqiyah dan sulukiyah sebagian kader.

Kader yang lengah akan mengalami idzabah ruhiyah  (pelarutan ruhani). Beban ekonomi keluarga semakin berat, anak mulai banyak, perjalanan dakwah masih panjang dan beban bertambah berat. Sementara sikap represif rezim orde baru tidak kunjung surut. Dalam kondisi seperti ini, sebagian kader mungkin saja mulai merasa letih. Sebagian dari mereka yang letih mulai mampu merevitalisasi diri sehingga mampu melanjutkan perjalanan dengan kondisi yang prima. Namun sebagian yang lain tidak mampu merevitalisasi diri sehingga surut dari jalan dakwah, hanyut ditelan zaman atau memilih jalan memperbaiki taraf hidup dan membangun ekonomi keluarga. Bagi yang memilih jalan ini, ketahuilah bahwa inilah jalan kehancuran itu.

Akhi al-Karim,

Kondisi di atas mungkin saja hadir dalam setiap tahapan perjalanan dakwah kita, kapan saja. Baik pada Mihwar Sya’bi, Mihwar Muassasi dan Mihwar-mihwar yang akan datang lainnya. Karenanya marilah kita renungkan apa yang diceritakan oleh Abu Ayyub al-Anshari berikut:

“Ketika kaum muslimin sedang berperang membuka kota Konstantinopel, Istanbul saat ini, saat itu kaum muslimin berbaris dua baris, barisannya sangat panjang yang belum pernah ada barisan prajurit kaum muslimin sepanjang itu sebelumnya. Sementara pasukan Romawi berjaga-jaga di pinggiran pagar dan benteng kota Konstantinopel. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba salah seorang prajurit kaum muslimin melesat lari sendirian menyerang pasukan Romawi. Kontan saja kaum muslimin berkomentar, ‘Laa ilaha illaLlah, ia mencampakkan diri ke dalam kehancuran (padahal Allah mengatakan, “dan janganlah engkau campakkan dirimu ke dalam kehancuran)’”

Mendengar komentar tersebut, sahabat Rasulullah saw, Abu Ayyub al-Anshari mengatakan, ‘Kalian jangan menta’wilkan ayat ini seperti itu, kalian menganggap saudara kita yang mencari syahadah seperti itu sebagai mencampakkan diri ke dalam kehancuran! Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan kepada kami, orang-orang Anshar. Suatu ketika, di antara kami ada perbincangan lirih, tanpa didengar Rasulullah saw. ‘Selama ini kita telah meninggalkan urusan keluarga dan mata pencaharian kita hingga Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah saw, karenanya sebaiknya sekarang kita (istirahat dari jihad) membenahi urusan mata pencaharian kita yang terbengkalai!’ Ketika kami sedang berbincang seperti itu, Allah menurunkan wahyu dari langit,

Mencampakkan diri ke dalam kehancuran artinya berhenti berjihad untuk membenahi mata pencaharian. Maka, dalam kondisi apapun, Abu Ayub tetap berjihad fi sabilillah, tidak surut lalu menghilang, hingga ia pun mati syahid dan dimakamkan di Konstantinopel. (tafsir at Thabari 3/590 )

Ketika perjalanan dakwah sampai pada mihwar muassasi, dan dakwah dilakukan lebih terbuka, banyak yang tertarik dan bergabung dengan gerbong dakwah ini di tengah jalan. Saat itu, aktivitas pembinaan dan penataan kader lebih berat dibanding saat kita masih berada di Mihwar Tanzhimi dan Muassasi. Sementara itu, tugas dan peran para Murabbi semakin banyak. Dan pertumbuhan Murabbi baru dan kader-kader yang berkualitas tidak secepat respon publik terhadap dakwah.

Ketika Dakwah semakin luas dan merambah ke berbagai sektor kehidupan, kondisi ini mengharuskan kita melibatkan kader-kader muda potensial, kader dan simpatisan yang profesional untuk mengambil bagian, dalam berbagai peran dan tugas dakwah.

Pelibatan ini memiliki beberapa alasan. Pertama, pelibatan adalah bagian dari tarbiyah yang penting. Sehingga mereka memahami realita dan menguasai lapangan disamping menguasai teori dan nilai. Kedua, dakwah adalah milik semua dan beban dakwah adalah tanggung jawab semua. Semakin banyak yang terlibat dalam dakwah berarti semakin banyak yang memikul bebannya. Ketiga, semakin luas jangkauan dakwah semakin besar tuntutan adanya spesialisasi dan distribusi tugas dan beban.

Permasalahan ini menuntut para kader yang sudah lama terlibat dalam dakwah untuk berjiwa besar. Karena peran besar mereka sebelumnya, pada Mihwar Muassasi ini mulai tereduksi dan terdistribusi. Di sinilah kita akan memahami kaidah dakwah yang sudah kita hafal sejak dahulu,

لِكُلِّ مَرْحَلَةٍ طَبِيْعَتُهِا وَلِكُلِّ مَرْحَلَةٍ اِحْتِيَاجَاتهََُاَ وَلِكُلِّ مَرُحَلَةٍ رِجَالهُاَ

Setiap marhalah memiliki karakter (sifat) tersendiri, dan setiap marhalah memiliki kebutuhan dan setiap marhalah memiliki pemimpinnya (tokoh, pionir).

Di sini, bukan berarti kita meminggirkan para pendahulu dari panggung dakwah. Tidak! Zaman sudah berkembang. Pembagian peran dan distribusi pekerjaan suatu keharusan. Peran mentarbiyah kader-kader muda sehingga mereka memiliki kematangan ma’nawi, fikri dan tanzhimi adalah peran besar yang hanya bisa dilaksanakan oleh para as-Sabiquunal Awwalun yang telah memiliki pengalaman panjang dalam tarbiyah. Selain itu, mereka juga harus berperan pada bidang tertentu yang mereka kuasai.

Akhi al-Karim,

Pada Mihwar ini, kemungkinan ada kader yang terkena polusi ideal dan moril adalah bagian dari sunnah kehidupan. Kemungkinan ada kader yang terseret arus kehidupan duniawi adalah manusiawi.

Sehingga, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan terkait hal ini. Pertama, tidak boleh dengan serta merta menyalahkan jamaah dan kebijakannya hanya karena ada satu atau dua kasus tertentu tanpa ada bukti yang kuat. Kedua, mendahulukan husnuzhan kepada ikhwah karena sangat mungkin apa yang kita lihat adalah salah. Jangan sampai sesuatu yang kita duga terkena polusi ternyata kacamata yang kita gunakan kacamata lama yang cocok kita gunakan pada saat kita ada di Mihwar Tandzimi. Jangan sampai kita menduga saudara kita itu telah terseret pada kemewahan duniawi, ternyata apa yang dia belanjakan untuk dirinya tidak lebih dari lima persen dari kekayaan atau pendapatannya dan ternyata apa yang ia infakkan untuk dakwah atau untuk membantu ikhwah yang lain jauh lebih besar. Ketiga, setelah mendahulukan husnuzhan dan kemudian melakukan tabayyun lalu ternyata apa yang kita duga sebelumnya benar, ada kewajiban tausiah dari kita secara langsung atau meminta tolong seseorang untuk mentausiahi dan bukan membicarakan aib saudara kita itu karena menutup aib adalah hak saudara dan kewajiban kita.

Akhi al-Karim,

Dalam perkembangan dakwah seperti sekarang ini, adanya sebagian kader yang “kritis” dan berani menyampaikan kekritisannya adalah baik bagi kita dan dakwah, apapun kondisi kekritisan itu. Kekritisan itu menjadi penyeimbang laju dakwah kita bahkan kadang menjadi polisi tidur yang membangunkan pengendara mobil dakwah ini dari kelalaian.

Kekritisan juga menjadi dinamisator yang akan menjadikan dakwah lebih dinamis. Hanya saja, kalau kader yang “kritis” adalah diri kita sendiri, tentu kita tidak ingin kekritisan itu membuat kondisi jamaah menjadi lebih buruk. Dan kita juga tidak ingin kalau kekritisan kita itu merugikan diri sendiri, yakni kita menjadi lebih jauh dari jamaah dakwah ini.

Untuk itu, kajilah terlebih dahulu masalah yang akan kita kritisi itu. Benarkah ada kesalahan? Kalau benar, apakah kesalahan itu kesalahan prinsip atau teknis? Atau mungkin ilmu dan pengetahuan kita terkait masalah tersebut masih terbatas sehingga tidak bisa menilai masalah itu dari berbagai sisi? Terakhir, jangan sampai “kekritisan” kita ini menjadikan diri kita sebagai “pengamat dakwah”, bukan pelaku dakwah.

Jangan sampai kita mengatakan telah terjadi kemunduran tarbiyah, sementara kita sendiri sudah berbilang tahun futur dari tarbiyah. Jangan sampai kita mengatakan telah terjadi penyimpangan dalam manhaj dakwah, tetapi kita tidak pernah membaca dan meng-update pengetahuan kita tentang kebijakan jamaah terkait manhaj dakwah. Semoga kita diridhai Allah dalam meniti jalan dakwah ini. Aamiin.

Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah (LKMT) adalah wadah para aktivis dan pemerhati pendidikan Islam yang memiliki perhatian besar terhadap proses tarbiyah islamiyah di Indonesia. Para penggagas lembaga ini meyakini bahwa ajaran Islam yang lengkap dan sempurna ini adalah satu-satunya solusi bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah saw adalah sumber ajaran Islam yang dijamin orisinalitasnya oleh Allah Taala. Yang harus dilakukan oleh para murabbi (pendidik) adalah bagaimana memahamkan Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah saw dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mutarabbi (peserta didik) dan dengan menggunakan sarana-sarana modern yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Disqus Comments Loading...