dakwatuna.com – Masalah penentuan awal bulan qamariyah Hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, tidak terlepas dari upaya pengamatan (rukyat) hilal sesuai dengan contoh Rasul. Rukyat selalu dilaksanakan sesudah maghrib. Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati sesudah maghrib. Namun, pengamatan hilal yang muda sangat sulit, karena hilal yang sangat tipis itu sering kali terganggu oleh cahaya senja (syafak) akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer. Mengapa hilal yang dijadikan penentu awal bulan, walau pun itu sulit diamati? Logika astronomis bisa menjelaskannya. Hilal adalah penanda yang mudah dikenali bahwa malam itu mulainya bulan baru. Malam-malam sebelumnya ditandai dengan bulan sabit tua yang tampak pagi hari, lalu dilanjutnya malam tanpa bulan (darkmoon atau bulan mati), baru kemudian malam dengan hilal. Isyarat di dalam Al-Quran menempatkan hilal sebagai penentu awal bulan, selain perintah Rasul “Shumu li ru’yatihi ” (Berpuasalah bila melihatnya — hilal)”.
Hilal adalah bulan sabit pertama yang dijadikan sebagai penanda awal bulan Hijriyah. Itulah contoh Rasul yang sekaligus menjadikan awal hari dan tanggal dalam Islam adalah saat maghrib. Setelah hilal teramati, malam itu dimulainya bulan baru. Kalau itu hilal awal Ramadhan, maka semua ritual Ramadhan dimulai saat itu pula. Shalat tarawih dan sahur adalah ritual khas Ramadhan yang dimulai sejak malam terlihatnya hilal.
Saat ini dengan perkembangan teknologi pengamatan, bulan sabit bisa teramati pada siang hari. Teknik yang umum dilakukan adalah menghalangi cahaya matahari dengan alat penutup terpisah dari teleskop (seperti yang dilakukan Legault, lihat gambar di atas), atau dipasangkan pada ujung teleskop (seperti dilakukan Martin Elsasser, lihat gambar di atas), atau menggunakan tabung panjang di depan teleskop (seperti teknik Elsasser lainnya). Lalu pengamatan dengan teleskop yang dilengkapi dengan kamera digital. Kadang digunakan filter inframerah untuk mengurangi cahaya biru dari langit sehingga cahaya bulan sabit bisa tampak lebih menonjol. Citra yang direkam kamera digital bisa diproses dengan komputer untuk meningkatkan kontras cahaya bulan sabit.
Berikut ini beberapa contoh bulan sabit yang dipotret siang hari:
1. Bulan Sabit Sebelum Konjungsi
Bulan sabit sebelum konjungsi berhasil dipotret dari Observatorium Bosscha, ITB. Konjungsi terjadi pada 16 September 2012 pukul 07:54 WIB. Namun sehari sebelumnya, pada 15 September 2012, pukul 14:54 WIB (17 jam sebelum konjungsi) bulan sabit tipis berhasil diamati. Citra diproses setelah dikoreksi dengan citra gelap (koreksi atas ketidakrataan piksel kamera), kemudian ditingkatkan kontrasnya.
2. Bulan Sabit Saat Ijtimak
Thierry Legault memotret bulan sabit saat ijtimak pada pukul 09:14 waktu setempat. Tekniknya adalah menghalangi matahari dengan papan berlubang (lihat gambar atas), lalu memotretnya dengan teleskop yang dilengkapi filter inframerah 850 nm dan kamera digital. Kemudian citra diproses dengan koreksi medan rata (flat field, koreksi piksel kamera), lalu ditingkatkan kontrasnya dan diberi warna biru (sekadar pilihan warna Legault).
3. Bulan Sabit Setelah Ijtimak
Elsasser memotret bulan sabit muda yang berumur 4 jam 11 menit pada siang hari, pukul 09.08 – 09.40 waktu setempat. Teknik yang digunakan adalah memotret dengan teleskop yang dilengkapi tabung panjang untuk menghalangi cahaya matahari. Citra kamera digital kemudian diproses untuk meningkatkan kontras bulan sabit.
Terlihatnya bulan sabit siang hari tidak menunjukkan pergantian bulan. Bulan sabit siang hari bisa menunjukkan bulan sabit tua (sebelum konjungsi, umur < 0 jam), bulan sabit saat konjungsi (umur = 0 jam), atau bulan sabit muda (setelah konjungsi, umur > 0 jam). Jadi, rukyat bulan sabit siang hari BUKAN hilal penentu awal bulan. Bulan sabit yang pasti sebagai bulan sabit awal bulan (hilal) hanyalah yang teramati setelah maghrib.
Teramatinya bulan sabit siang hari bukan jaminan akan terlihatnya hilal saat maghrib. Pengamatan Jim Stamm bisa menjadi contoh. Jim Stamm menceritakan pengamatan dengan teleskop, tanpa kamera, hanya melihat dengan mata via okuler teleskop. Detektornya adalah mata. Kepekaan mata manusia sekitar panjang gelombang biru-hijau. Pada siang hari pk 13.00 dengan langit biru yang cerah (deep blue), bulan sabit tidak terlihat. Pada siang hari pukul 14:40 dan 16:50 dia berhasil melihat bulan sabit ketika warna langit lebih “biru keputihan” (silvery blue). Bulan sabit masih termati sampai 17.10, setelah itu tidak teramati lagi. Dia bertanya: What did happen? Are the colors deceiving my expectations of contrast? Is there a filter quality of the atmosphere that may be enhancing the contrast at a lower altitude? Is there some kind of relationship between scattered sunlight and the reflected light of the crescent?
Penjelasan tidak berhasilnya rukyat pada saat maghrib, walau siang harinya terlihat adalah sebagai berikut: Pengamatan hilal adalah masalah kontras antara bulan sabit dan cahaya latar depan. Pada saat pk 13:00 cahaya bulan sabit masih kalah dari cahaya langit biru. Bagi mata, cahaya bulan sabit dan cahaya langit sama-sama terangnya, sehingga bulan sabit tidak terlihat. Ketika bulan (dan matahari) makin rendah sekitar pukul 14:40 sampai 17:10, langit tampak agak pucat, masih biru tetapi lebih putih. Bulan sabit pun sebenarnya mengalami peredupan ke arah panjang gelombang kuning-merah, tetapi intensitas hamburan cahaya langit berkurang. Saat itulah kontras bulan sabit meningkat (bulan sabit terlihat lebih terang dari cahaya langit) sehingga bulan sabit terlihat. Ketika matahari menjelang terbenam sampai terbenam, cahaya bulan sabit melalui atmosfer yang lebih tebal, warnanya makin kuning-merah, sementara atmosfer pun mulai menghamburkan cahaya kuning-merah. Kontras cahaya bulan sabit menurun lagi, alias bulan sabit kalah terang dibandingkan cahaya langit. Akibatnya bulan sabit tidak terlihat.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: