Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Petiklah Mangga Itu, Anakku  

Petiklah Mangga Itu, Anakku  

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ist)
Ilustrasi. (ist)

dakwatuna.com – Abu Aulia mempunyai tiga orang anak laki-laki, Amar, Amir dan Umar. Mereka hampir sebaya karena jarak kelahiran masing-masing hanya satu tahun. Abu Aulia sadar betul akan amanah besar dari Allah berupa tiga jagoan itu. Untuk itu dia berusaha keras untuk dapat membina anak-anaknya menjadi muslim yang kuat. Kuat imannya, mentalnya, kemauannya, tekadnya, dan juga fisiknya. Dia sekolahkan anaknya di madrasah yang baik. Sementara di rumah, istrinya juga tekun membantu mengajari mereka.

Suatu saat istrinya berkata, “Abi, seorang ibu memang madrasatul ula, tempat pertamakali seorang anak belajar. Tapi karena ketiga anak kita laki-laki, maka peran Abi sangat dibutuhkan. Ada satu hal yang sama sekali tidak bisa Umi berikan kepada mereka.”

“Apa itu Umi? Bukankah jika Umi tidak menguasai suatu hal yang harus diajarkan ke anak-anak, Umi bisa tanya ke Abi atau ke ustadz atau cari buku referensinya atau kalau perlu bisa juga browsing.”

“Tapi yang ini tidak bisa Abi. Umi memang bisa memberitahu atau mengajarkan bagaimana menjadi seorang laki-laki yang baik, bagaimana menjadi muslim yang shalih, tapi Umi samasekali tidak bisa mencontohkannya.”

Sejenak, Abu Aulia mengernyitkan dahinya. Tanda kalau belum memahami perkataan istrinya. Ia kembali bertanya,“Maksud Umi bagaimana?”

“Lho, bagaimana sih Abi ini, Umi kan perempuan, bagaimana bisa memberi contoh pada anak-anak, begini lho jadi laki-laki.”

Abu Aulia tersenyum lebar setelah mengetahui maksud istrinya. Tentu, maksudnya adalah memberi contoh dengan tindakan nyata, dengan sikap yang benar bagaimana seharusnya menjadi seorang laki-laki. Iya ya, untuk hal yang satu ini peran ayah sangat diperlukan.  Mengingat hal itulah yang membuat Abu Aulia semakin  bersemangat membina putra-putranya.

Dia berusaha sesering mungkin mengajak anak-anaknya pergi shalat berjama’ah di masjid. Mereka dilatih mengumandangkan azan dan menjadi imam shalat. Tidak lupa juga memberi teladan akhlaqul karimah di lingkungan sekitar. Di rumah juga dibiasakan untuk mengambil bagian pekerjaan sehari-hari. Sesekali juga mengajak mereka terlibat dalam pekerjaannya mencari nafkah. Bukan untuk mengeksploitasi mereka, hanya sekedar memperkenalkan pada tanggungjawab mencari ma’isyah. Tidak ketinggalan, secara rutin Abu Aulia mengajak ketiga buah hatinya berolahraga. Mulai dari lari pagi, bersepeda, berenang, sampai beladiri.

Beberapa waktu terakhir ini, dia sedang semangat-semangatnya mengajari anak-anaknya satu ketangkasan yaitu memanjat pohon. Cuma memanjat pohon? Bagi anak-anak yang tinggal di pedesaan memanjat pohon sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, tidak perlu diajari. Tapi bagi mereka yang tinggal di kompleks perumahan, jarang yang bisa melakukannya. Karena tidak ada pohon yang dipanjat.

Kelihatannya memang sepele, hanya memanjat pohon. Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Ada beberapa hal yang menjadi dasarnya. Pertama-tama, harus latihan memperkuat otot kaki dulu, otot tangan, lalu pernafasan. Tak kalah pentingnya adalah kejelian memilih dahan yang kuat sebagai pijakan. Tidak boleh asal injak jika tidak ingin terjatuh. Yang terakhir adalah perlunya keberanian. Banyak anak yang tidak berani memanjat pohon karena takut jatuh, atau takut pada ketinggian. Untunglah Amar, Amir dan Umar mengikuti semua latihan itu dengan ceria dan bersemangat. “Seru ini, Abi!” kata mereka. Walaupun kadang terpeleset hampir jatuh, atau bisa naik sampai atas, tapi giliran mau turun tidak bisa. Namun lama-kelamaan mereka akhirnya mahir juga.

Siang itu, matahari begitu terik. Musim kemarau sudah beranjak, tapi cuaca belum juga berubah, masih sangat panas dan kering. Debu-debu beterbangan menambah gerah suasana. Hari itu, seluruh keluarga Abu Aulia berpuasa. Dengan cuaca yang seperti itu, puasa terasa sedikit berat, sangat terasa hausnya, sehingga dampaknya badan jadi lemas. Tengah hari selesai sholat dhuhur Abu Aulia berpesan pada anak-anaknya, “Anak-anak, Abi mau pergi dulu, ada keperluan, kalian tunggu di rumah ya.”

“Iya, Abi.” Jawab ketiganya serentak.

“Oh ya, Abi kan sudah mengajari kalian memanjat pohon, sudah bisa semua, kan? Tidak takut lagi, kan? Nah, di kebun belakang rumah itu pohon-pohon mangga yang Ayah tanam sudah berbuah. Malah sudah banyak yang ranum. Kalian boleh mengambilnya seberapapun kalian mampu.”

Tanpa menunggu jawaban anak-anaknya, Abu Aulia segera berjalan keluar rumah sambil mengucapkan salam.

Setelah ayahnya pergi, Amar anak pertamanya, tidak beranjak dari duduknya, mengambil mushaf al-Qur’an dan kemudian membacanya. Setelah itu dilanjutkan dengan tahfidz. Tekadnya adalah usai shalat maghrib nanti dia bisa setor hafalan lebih banyak dari biasanya. Sementara Amir, anak keduanya, juga terlihat mengalunkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Namun tak lama kemudian menyudahi bacaannya dan meletakkan mushaf di rak buku. Segera ia keluar dari musholla rumahnya. Demikian juga dengan Umar adiknya.

Menjelang sholat Ashar, Abu Aulia sudah kembali ke rumahnya. Dilihatnya ketiga anaknya ada di musholla rumah, “Masih disini semua anak-anak ini.” gumam Abu Aulia dalam hati.

Tak berapa lama dari masjid terdengar kumandang azan Ashar. Merekapun segera  bersiap untuk shalat berjamaah. Kali ini mereka shalat di mushola rumah. Selesai shalat serta doa dan zikir, Abu Aulia bertanya pada anak-anaknya, “Apa yang kalian lakukan ketika Abi pergi tadi?”

Amar yang menjawab duluan, “Selama Abi pergi aku tidak meninggalkan mushola ini kecuali untuk mengambil air wudhu. Aku meneruskan tilawah dan tahfizd hingga Abi datang. Walaupun Abi mengijinkan kami untuk memetik mangga, dan akupun juga sudah mahir memanjat pohon, tapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Aku tahu Umi sudah menyiapkan makanan untuk buka puasa kita. Aku rasa itu sudah cukup. Aku tidak ingin konsentrasiku terpecah dengan urusan makanan lagi. Aku ingin fokus beribadah, Abi. Biar puasa dan amalanku jadi maksimal.”

“Bagus itu Amar. Bagaimana denganmu Amir?” Tanya Abu Aulia pada anak keduanya.

“Abi, begitu Abi pergi aku segera menuntaskan bacaan al-Qur’anku. Kemudian aku pergi ke kebun belakang rumah. Benar yang Abi katakan, mangganya sudah banyak yang ranum. Aku memanjat salah satunya dan mengambil cukup banyak Abi, sampai-sampai aku keberatan membawanya. Karena aku sedang berpuasa dan aku juga tahu umi telah memasak untuk kita. Maka mangga itu aku antarkan ke Panti Asuhan yang di ujung jalan itu lho, Bi. Mereka juga lagi berpuasa seperti kita. Jadi mereka senang banget waktu aku anterin mangga. Habis itu baru pulang, terus mandi dan balik ke sini lagi untuk tahfidz sambil menunggu Ashar.”

“Bagus itu Amir, kalau Umar bagaimana?”

Dengan wajah polosnya Umar menjawab, “Sama dengan Kak Amir Abi. Hanya bedanya, mangganya aku bawa pulang.  Aku kupas sebagian untuk nanti kita buka puasa. Aku lihat belum ada mangga di menu buka puasa kita. Jadi mangga itu untuk buahnya, biar kita tambah sehat, gitu Abi. Sebagian lagi aku simpan untuk kita makan besok. Ada juga yang mau aku bawa ke sekolah untuk teman-temanku. Kebanyakan mereka tidak punya kebun mangga seperti kita. Tentu, mereka akan senang  kalau aku bawain mangga. Setelah itu, baru aku balik ke sini untuk meneruskan tahfidz. Nggak apa-apa kan, Abi?” Katanya balik bertanya.

Nggak apa-apa, bagus juga itu Umar.” Jawab Abu Aulia.

Lho, jadi semua yang kami lakukaan bagus ya Bi? Nggak ada yang salah?” Tanya Umar lagi.

“Iya benar. Menurut Abi, semua pilihan yang kalian ambil itu bagus. Kalian mempunyai pengetahuan, kemampuan, ketrampilan dan kesempatan yang sama. Tapi kalian membuat keputusan yang berbeda. Baiklah, Abi jelaskan tentang pilihan kalian. Karena pilihan itu bisa jadi gambaran pilihan hidup kalian saat dewasa nanti.”

“Yang pertama, tentang pilihan Amar yang ingin lebih fokus pada ibadahnya, dan merasa cukup dengan apa yang sudah ada. Disamping itu, dia juga ingin lebih banyak menggunakan waktunya untuk mempelajari  dinullah. Itu bagus. Bukan berarti dia menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Tapi seseorang memang harus menentukan apa yang paling baik untuk dirinya. Abi yakin suatu saat, kecakapannya itu juga akan  bermanfaat bagi dirinya dan juga sangat dibutuhkan. Kalian lihat kan ada para ilmuwan dan ‘alim ulama yang hidupnya dihabiskan untuk belajar dan menyebarkan ilmu, bagus kan itu? Coba kita simak  firman Allah swt dalam al-Qur’an surah adz-Dzariyat ayat 56 tentang tujuan awal penciptaan manusia,

“Dan tidaklah Aku  menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada-Ku”.

Juga Firman Allah swt yang lainnya, dalam surat at-Taubah ayat 122,

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

“Yang kedua, pilihan Amir yang ingin memanfaatkan apa yang dipunyai dan apa yang mampu diraihnya agar membawa manfaat untuk orang lain. Sementara dirinya sendiri merasa cukup dengan yang sudah ada. Tahukah kalian bahwa berbuat baik kepada orang lain itu ibarat menjatuhkan sinar pada cermin. Selain menerangi cermin tersebut dan juga daerah di sekitarnya, maka sinarnya akan memantul mengenai diri sendiri. Itu artinya orang lain mendapakan manfaatnya dan kita mendapatkan  pahala dan kebaikan di sisi Allah swt. Coba kalian baca  Surah Ali Imron ayat 133 sampai 134,

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

“Sedangkan engkau Umar, pilihanmu juga tidak buruk. Kau memilih untuk memanfaatkan, apa yang mampu kau raih untuk menambah kebaikan pada diri sendiri serta keluarga dan kau nikmati sebagai rasa syukur. Itu bagus Umar, bukankah dunia seisinya ini memang diciptakan oleh Allah swt untuk manusia? Agar dimanfaatkan oleh manusia? Tentunya untuk kebaikan. Itu semua karena Allah sangat mengasihi dan menyayangi hamba-Nya. Mari kita buka al-Qur’an  surah al-Qoshshosh ayat 77,

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Hanya satu hal yang harus kau ingat Umar, janganlah berlebihan dalam segala hal.”

“Iya Abi, bukankah Abi juga senang kalau hasil jerih payahnya bisa membahagiakan kita, bisa menyehatkan kita? Jangan khawatir Abi, aku tidak akan makan berlebihan kok. Takut sakit perut.” Kata Umar menyela pembicaraan ayahnya.

“Umar, jangan sela pembicaraan Abi dong. Tidak sopan itu!” Sahut Amar

“Iya, iya Kak. Jangan marah dong, lagi puasa, khan?” Jawab Umar sambil mengerlingkan sebelah matanya, menggoda kakaknya.

Abu Aulia segera menengahi perdebatan anaknya, “Sudah, sudah, dengarkan nasehat Abi ini. Kelak, ketika kalian akan memilih jalan hidup yang akan kalian tempuh, maka ingatlah pelajaran memanjat pohon dari Abi ini. Ketika dewasa nanti, kalian akan mampu memahaminya dengan lebih baik lagi.”

“Baiklah anak-anak, sudah hampir Maghrib. Pergilah ke belakang, bantu ibu kalian.”

“Beresss, Bii….” Jawab mereka serentak.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Hamba Allah Ta'ala yang selalu berusaha untuk mendapat cinta-Nya. Lahir di Jawa Timur dengan nama Susanti Hari Pratiwi binti Harmoetadji. Pendidikan formal hanya sampai S1 Teknik Kimia ITS

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization