Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Dia Tanpa Aku  

Dia Tanpa Aku  

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

Di Atas Amanah

dakwatuna.com – Ada sebuah catatan menarik dari pertemuan antara Aku dan Dia. Dari beberapa kalimatnya, ia berkata, “Saya baru bertemu denganmu. Maukah kamu masuk ke rumahku? Mungkin tidak banyak hal menyenangkan.” Ungkapan yang terakhir, ada anggapan bahwa seolah-olah Aku akan menemukan hal buruk. Mungkin rumahnya benar-benar tak menyenangkan.

“Bagaimana rasanya?” Mas Fadli bertanya padaku.

Aku melukis gelombang lautan di dahi yang seolah terombang-ambing oleh angin. Pertanyaan Mas Fadli lebih kepada khawatir ketimbang ingin tahu. Jawabku, “Sejauh ini baik, Mas. Dia menyenangkan. Kemarin kami bertamasya ke bukit Bintang.”

“Alhamdulillah. Yang baik dengannya ya, Gus.”

“InsyaAllah.” Aku mengangguk.

Enam bulan yang lalu, Mas Fadli menceritakan padaku tentang badai. Seperti para pujangga, ia berkata bahwa di tengah badai kita merindukan pahlawan. Pahlawan yang kata Sapardi, “Telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah”. Pahlawan yang kata Chairil Anwar, “Berselempang semangat yang tak bisa mati”. Lalu sertamerta, Mas Fadli meminta padaku untuk datang ke sebuah rumah sewaan pada sore harinya. Maka, jadilah hari itu titik awalku berkenalan dengan Dia.

Dia tahu, Aku maniak ilmu seperti buku pada pena. Meraup semua teori menjadi karya, dia tahu itu. Namun ketika sebuah keputusan jamaah tiba, bahwa aku harus memimpin al-Iltizam, sebuah tanah perang yang tak pernah aku harapkan sebelumnya. Sekerat kecewa menelusup ke dada. Aku tak pernah tahu itu, tapi setiap melihat ikhwah di wajihah yang aku cintai terbang ke sana ke mari menyapa, aku seperti hangus.

’Afwan. Antum ikhlas, Gus?” Suara Mas Said menggelegar.

“InsyaAllah. Ini sudah menjadi amanah untuk ana.” Jawabku lebih menggelegar. Sore itu Mas Said mendatangiku.

“Lantas kenapa seperti ini?” Mas Said menjulurkan berlembar kertas yang dipegangnya sedari tadi. Di kertas itu, tinta pena telah mengering, grafik kader menurun. Kajian tak pernah rutin. Kehadiranku pun dalam tiap agenda bisa dihitung. Benar-benar hancur!

Ana tahu antum berusaha amanah.” Ujar Mas Said akhirnya. “Tapi antum harus tahu, amanah saja tidak cukup!”

Darahku berdesir. Setengah berbisik kubilang, “Lantas?”

“Cinta, akhi. Antum harus cinta!”

Aku bergeming. Tak punya alibi untuk berkata tidak. Tapi tak sudi untuk membenarkan. Aku merasa telah memiliki cinta pada al-Iltizam. Tapi sebesar apa?

Cinta yang akan membentuk cita-cita besar, impian besar. Impian yang akan dibawa kemana pun, bahkan dalam tidur. Impian yang membuncah dalam hati dan darah. Impian yang mendobrak paksa pintu lelah. Impian yang akan membawa al-Iltizam menjadi besar. Aku miskin cita-cita seperti itu!

Telingaku panas. Kembali terngiang ucapan Mas Fadli setahun yang lalu, “Orang-orang yang menganggap al-Iltizam hanya sekadar organisasi seperti yang lain. Maka sampai di situlah kinerjanya. Jangan menuntut hal besar pada orang seperti itu.”

Samar-samar kulihat dia, sosok yang dikenalkan Mas Fadli dahulu. Dakwah. Berjalan meninggalkanku. Kubilang padanya untuk menunggu. Tapi Ia tak pernah menunggu. Aku yang harus mengejarnya. Terseok-seok mengajak baikan.

Dia tanpa aku

: baik-baik saja

Pilihan Langit

Maliki menelusuri kamar petakku. Bibirnya berdecak menggerutu. Seraya mengumpulkan helaian koran menjadi satu. Membacanya satu persatu. Tampak jelas riak wajahnya sendu. Katanya, di mana komitmenku?

Kau tak mengerti, jawabku.

***

Ini ketiga kalinya Bang Anas meneleponku. Memastikan perihal kesediaanku mengisi mentoring di kampus. Aku garuk kepala. Alasan belum siap sudah kuungkapkan ketika ia memintaku menjadi ketua panitia dalam sebuah seminar dakwah yang besar. Kuputar otakku, mencari alasan lain. Refleks, kukatakan,

’Afwan, ana merasa belum cukup ilmu, Bang.”

Nun jauh disana, helaan berat Bang Anas terdengar. Ke mana lagi ia harus mencari tambahan tutor? Tapi Bang Anas mengalah. Sambungan telepon terputus.

“Antum, Akh?!” Maliki membuka mulutnya.

“’Kan serahkan pada ahlinya, Akh?” Aku membela diri. Sudah tahu apa yang mau ia katakan.

“Kalau semua ikhwah seperti itu, kacau, Akh. Mengisi halaqoh itu menyebar ilmu, dan Allah sudah menyuruh kita semua untuk menebarkan ilmu. Memimpin itu wajar, toh kita semua pemimpin. Hal-hal seperti itu nggak saklek harus jadi ahli dulu. Kita sambil belajar.” Maliki menyeruput teh hangatnya, kemudian berujar kembali, “Seperti akhi Hasan. Dari segi manapun dilihat, dia pendiam dan pemalu parah. Kalo ketemu akhwat nunduk-nunduk sampe jatuh ke got, toh tetap mau mengisi mentoring. Akhi Deni, ahlinya karya tulis, toh jadi ‘ustadz’ untuk adik-adiknya juga bisa.”

Maliki terus memberikan contoh dari semua ikhwan di muka kampus. Aku meringis. Semakin sakit jika mendengar prestasi bintang-bintang itu. Memang aku yang salah.

“Ana hanya merasa tidak pantas.”

“Kalau gitu, ayo memantaskan diri!” Seru Maliki sambil tertawa. Gigi gerahamnya sampai terlihat. Jemarinya menjulur padaku seolah mengajak pergi.

Bang Anas memang pernah bilang pada kami, al-Fatih tak pernah tahu, bahwa dialah yang menaklukan Romawi. Bahwa dialah yang dimaksud dalam al-Quran. Yang ia lakukan hanyalah memantaskan diri. Terus memantaskan diri.

“Antum harus selalu belajar agar pantas mendapatkan IP (Indeks Prestasi-red) tinggi. Kalo Nggak belajar, wajar kalo antum tidak pantas mendapat IP 3,00 apalagi 4,00. Alhamdulillah, antum mendapatkan IP tinggi. Itu artinya, selama semester kemarin, antum selalu belajar, kan? Selalu berusaha memantaskan diri, bukan? Sama, antum merasa tidak pantas di dakwah ini? Ayo berusaha supaya pantas. Betul, akhi?” Kata Bang Anas saat itu. Kata-katanya kembali mengitari kepalaku. Amalan ini tak pernah pantas untuk menebus surga. Tapi, Allah selalu mengatakan untuk terus berusaha memantaskan diri.

Kucukupkan hari ini. Ada getir menulusup dalam dada. Perasaan bersalah tiba-tiba muncul. Kubiarkan saja.

***

“’Afwan, Bang.” Kataku esok harinya. Ingin minta maaf.

Beberapa saat yang lalu, kudapati Bang Anas duduk di Taman. Kuhampiri ia.

Lho, untuk apa?”

“Penolakan kemarin.”

“Ana harap, Abang tidak marah.”

la…” Bang Anas tersenyum. “Ana tidak marah sama sekali.”

Aku mengangkat kepala. Udara lega perlahan mengalir.

“Bukan antum yang menolak amanah ini. Pada hakikatnya, Allah tidak memilih antum.”

Aku terhenyak.

Bang anas pamit undur diri. Ingin menemui dosen, katanya. Meninggalkanku seorang diri. Meninggalkanku yang masih tertegun dengan ucapannya barusan. Kutatap punggung Bang Anas hingga titik terjauh. Tidak! Yang di sebelah itu!?

Itu bukan punggung Bang Anas. Itu punggung siapa? Kenapa aku jauh? Kenapa jaraknya dekat dengan Maliki? Kenapa sangat dekat dengan Hasan? Punggung Dia, ya? Punggung dakwah?

Perlahan air mata ini mengalir. Menyisakan jejak panjang di wajah. Kenapa aku begitu lega sedangkan yang lain susah? Kenapa tidak sedih ketika tak terpilih? Dan bodohnya, aku yang membuat diriku sendiri tak terpilih!

“Bukan kamu yang menolak amanah.

Pada hakikatnya,

Allah tidak memilihmu!”

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penyuka seni dan baca buku. Tergabung dalam FLP wilayah Jambi.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization