Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Haaa?! Empat Ringgit?

Haaa?! Empat Ringgit?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (islamicstyle.al-habib.info / nurelyana)
Ilustrasi. (islamicstyle.al-habib.info / nurelyana)

dakwatuna.com –  Awal januari yang lalu, saat sulungku baru saja memulai sekolah di Kuala Lumpur (setelah perlahan-lahan menyelesaikan ragam urusan kepindahan keluarga kami), tampil sebuah kejutan dari Bang Azzam, sulungku.

Ia sesekali naik train sendirian pulang sekolah karena sudah hafal rute perjalanan dari sekolah ke rumah. Di siang itu setiba di rumah, Azzam melapor, “Alhamdulillah… Ummi, tadi isi dompetku, kukosongkan saja, ada nenek yang duduk mengemis di pinggiran lrt Setiawangsa, aduuuuh tiap hari abang gak tega lihat nenek itu khan? Tadi abang pikir-pikir, duit abang gak usah jajan, mau kasih ke nenek itu saja.” Belum selesai Azzam bicara, alat penggorengan yang kupegang berjatuhan karena saking terkejutnya diri ini.

Astaghfirrullah.. Memangnya berapa yang abang kasih ke nenek itu, Nak?” Kulihat justru koin-koin recehannya banyak sekali. “Cuma empat ringgit, Mi. Tadi cuma sisa segitu duit Abang.” Belum selesai dia bicara, kucari kursi untuk segera duduk, terasa sakit tenggorokan mendengarnya mengatakan ‘cuma’. Ya Allah… Perlu beberapa detik untuk mengatur laju nafas ini, seraya memandangi anakku yang sholeh ini. Haaa?! Empat ringgit? Ngosongin dompet? Berputar kata-kata itu di kepalaku.

“Lho…. Ummi kok gitu? Gak senang yah kalau Abang ngasih ke nenek itu?” Tanyanya pelan, kemudian meletakkan sepatu di rak. “Bukan, Azzam. Ya Allah… Nak, Kamu kan punya roti, bagi saja rotimu kalau gitu. Kan uang jajan kamu buat beli makanan di sekolah, bukan buat ngasih orang lain.” Azzam gantian terkejut, tak menyangka atas ketidaksetujuanku, “Lhooo, Ummi? Kan kita dengar Ustadz bilang di tivi, di pengajian juga, harus banyak sedekah. Azzam kasihan sama nenek itu, Mi.” Kali ini dengan sedikit nada bersalah.

Kujelaskan kepadanya bahwa sedekah bukan hanya dengan uang. Rasa kasihan pun harus pas tempatnya. “Azzam, kita ini di Malaysia. Di negeri orang lain. Kan Abi bilang, kita jangan sembarangan memberi uang kepada pengemis. Di sini mengemis itu dilarang. Kalau ada petugas melihat Azzam ngasih uang, sedangkan sudah ada peraturannya gak boleh, Azzam bisa ditegur dan dipanggil petugas keamanan juga. Waduh, ribet ntar urusannya. Lagi pula, nenek itu setiap hari memang duduk di lrt, sembari menunduk, mukanya ditutupi handuk, dan tangannya menyodorkan mangkok kepada setiap pejalan kaki yang melewatinya. Artinya, ‘pekerjaan rutinnya’ mengemis. Padahal masih banyak wanita yang jauh lebih tua darinya, yang memiliki semangat kuat untuk menjaga harga diri dengan bekerja keras menjadi pedagang sate, membantu membersihkan rumah part-time, menjadi pengantar-jemput anak sekolah, dan pekerjaan halal lainnya.”

“Kita bisa dihukum juga, karena mendukung perbuatan yang melanggar hukum. Kan kalau pas ada petugas melihat, para pengemis ditangkap untuk dikasih pelatihan supaya bisa bekerja. Tapi mereka, termasuk nenek itu, kalau ada petugas, kabur. Lalu lanjut duduk mengemis lagi. Naudzubillah. Gak mau ada perubahan dong?” kulihat mata Azzam, tampak menimbang-nimbang kalimat penjelasanku. Dalam hati ini, “Haaa?! Empat Ringgit? Bisa buat kamu dan adekmu membeli minuman dua gelas. Atau buat beli nasi lemak, hehehehe.” Empat ringgit itu sekitar empat belas ribu rupiah kalau menghitung kurs saat ini. Saya tak menyangka bahwa sulungku sampai tidak jajan demi memikirkan pengemis di lrt ujung jalan itu. Kalaulah dia tahu, ayahnya sangat bahagia saat melihat sang anak makan dengan lahap atau meminum jus favoritnya, dibeli dengan jerih payah keringat sendiri.

Karena melihatku diam, Azzam berkata, “Jadi… salah yah Mi? Yaaah, maaf, Mi. Abang cuma pingin ikut sedekah aja.”

Gak salah, bukan berarti Abang salah kok. Tadi kan Abang lupa, bahwa di sini gak boleh ngasih pengemis. Sudahlah, gak apa-apa. Empat ringgit itu sudah rezeki buat si nenek. Lain kali, duit yang Ummi kasih, kalau sisa, yah masukkan ke celengan yang buat Abang beli buku. Setiap gajian Abi, itu ada potongan zakat dan pajaknya buat ngasih mereka yang seperti nenek itu. Dan Abang dikasih uang jajan. Berarti sudah dipercaya bahwa bisa pintar mengelola uang jajan, dipakai sesuai keperluan. Kalau jam istirahat, kan minum di kantin. Kalau ada keperluan mendadak, harus beli di koperasi, bisa gunakan uangnya.” Azzam mengangguk-angguk, raut wajahnya bagaikan seorang Khalifah yang sedang memikirkan negeri yang dipimpin, membuatku tersenyum geli.

Sebenarnya, duhai ananda, terlepas dari sebuah peraturan tegas supaya tak ada lagi pengemis di Negara ini dan kita sebagai warga yang baik dengan taat kepada peraturan, kepekaanmu membuatku kagum. Sudah beberapa kali kejadian seperti ini, membuktikan sebuah empati yang besar dari seorang anak, yang sejak balita memiliki perasaan halus sekali.

Seolah sejak kanak-kanak mulai mengerti makna ayat-Nya, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.” (al-Baqarah [2]:261)

Pernah suatu kali, teman-temanku akan pulang dari silaturrahim. Azzam kecil yang berusia 5 tahun, memeriksa kulkas, mengambil beberapa kotak susu, membungkusnya dengan beberapa roti, “Ini buat anak Budhe, ini buat anaknya Tante.” Ujarnya lincah sambil melirikku, seolah kode bahwa ia melakukan apa yang biasa kulakukan. Tak kusangka, sedetail itu perhatiannya. Dan ternyata sikap seperti ini menular pula pada adik-adiknya, Alhamdulillah…

Duhai diri, anandaku telah mengajarkan secara langsung bahwa sedekah jangan tanggung-tanggung. Bahkan ia kosongkan dompetnya, sementara diriku masih menghitung-hitung ini dan itu. Kepekaannya terhadap saudara amat kuat, melebihi diri kita yang sudah dewasa. Pernah suatu hari, ia melihat berita tentang penindasan Zionis, ia menyaksikan hingar-bingar yang terjadi pada masyarakat Palestina, Syria dan Mesir di berita televisi dan laman berita online, “Oh, kalau kita makan dan minum di restoran ini-itu,  tandanya kita kasih sumbangan kepada tentara Israel. Ogaaaah ah! Kurang ajar tuh mereka nyakitin saudaraku!” Gemas kalimatnya. Kata-kata spontan dari seorang anak muslim yang polos, peka dan berempati pada sesama. Masya Allah.

Kembali kepada topik siang jelang sore itu, “Ummi, Ummi mikirin apa? Apa Ummi marah sama Azzam? Apa Ummi sedih karena Azzam jadi menghilangkan empat Ringgit itu?” Ujarnya lagi.

Kupeluk dia sesaat, “Sudah. Cepetan mandi, kan harus susun buku lagi? Hehe.” Bagaimana mungkin bisa marah, empat Ringgit itu berbulir-bulir hikmah, duhai anakku. Bahkan dikala usiaku seperti dirimu, tidaklah sedemikian empati dan peka sepertimu. Ini barangkali salah satu efek ‘anak yang didekap seharian’ sejak bayi mungil dalam ruangan kuliah, dalam masjid kampus, dan di tempat-tempat orang tuanya menuntut ilmu. Bahkan menginspirasi buat kita semua, insya Allah.

Wallahu a’lam.

 

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Sri Yusriani, ananda dari bapak H. Muhammad Holdoun Syamsuri TM Moorsid dan ibunda Hj. Sahla binti alm H. Majid, biasa dikenal dengan nama pena bidadari_Azzam, lahir di Palembang, 19 Juni 1983. Mantan pelajar berprestasi ini sangat senang membaca & menulis sejak kecil (memiliki ratusan sahabat pena sejak SD hingga SMU sehingga terbiasa bersurat-menyurat), terutama menulis puisi. Syair dan puisinya serta cerita-cerita mini pernah menghiasi majalah Bobo, surat kabar lokal serta beberapa majalah nasional. Semasa menjadi putri kecil yang malu-malu, ia mengoleksi tulisan karya pribadi dan hanya dinikmati seisi keluarga serta bapak-ibu guru di sekolah. Beberapa prestasi yang terkait menulis adalah juara pertama menulis dan menyampaikan pidato kemerdekaan RI tingkat kotamadya Palembang, pada tahun 1997, Peserta termuda buku Antologi Puisi Kepahlawanan Pemda SumSel, serta kejuaraan menulis di beberapa majalah lokal dan nasional. Pernah menyabet juara 3 lomba puisi tingkat kodya Palembang, juara 2 menulis cerpen islami tingkat kodya Palembang yang diadakan ForDS (Forum Dakwah Sekolah), dan pada tahun 1999, semasa masih SMU dipercaya untuk menjadi pembimbing kepenulisan bagi sang ayah ketika mengikuti lomba membuat karya ilmiah tentang keselamatan kerja di Pertamina (menghadapi persaingan dengan para mahasiswa yang sudah S2 dan S3), dan Alhamdulillah, karya tersebut terpilih menjadi juara pertama. Lima tahun terakhir ini, ia tinggal di luar negeri, jauh dari bumi pertiwi. Hobi menulis pun terasah kembali, mengalirkan untaian kata pengobat rindu jiwa, sehingga kini kian aktif menulis artikel di beberapa website dan milist islami. Kini sedang mempersiapkan buku mengenai pengalaman pribadi sebagai sosok muslimah yang menikah di usia amat muda (ia menikah saat berusia 19 tahun), �Tentunya dengan ragam keajaiban yang saya temui, betapa saya amat merasakan kasih sayang Allah ta�ala dalam tiap tapak kehidupanku ini.� Prinsipnya dalam menulis, �Bagiku, Menulis itu dengan hati, dianalisa oleh semua indera, tak bisa direkayasa, tak boleh terburu-buru pula. Menulis itu adalah mengukir tanda cinta pada-Nya, mengharapkan apa-apa yang menjadi tulisan adalah cambuk motivasi diri sendiri dan dihitung-Nya sebagai amal jariyah�. Ia mengecap bangku kuliah di UPI-Bandung, dan UT-Jakarta, Lulus sebagai Sarjana Ilmu Komunikasi. Kegiatan saat ini menikmati peran menjadi ibu dari tiga jagoan ; Azzam, Sayyif dan Zuhud, mendukung penuh tugas suami yang mengemban project perusahaan di negara-negara lain, sekaligus mengatur jadwal sekolah bahasa Polish, serta menjadi pembimbing para muallaf dengan aktif sebagai koordinator muslimah di Islamic-Centre Krakow, Poland. Buku pertama kisah hikmah yang ditulisnya di Krakow baru dicetak awal maret 2012 oleh penerbit Eramuslim Global Media, dengan judul �Catatan CintaNya di Krakow-seri 1.�

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization