Memori Cinta Serambi Mekah

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Masjid Baiturrahman Kota Banda Aceh masih berdiri anggun dan kokoh. Aku memandangnya dari lantai dua gedung Museum Tsunami, dari balik jendela kaca besar yang berkilau ditimpa cahaya matahari. Dulu, sembilan tahun yang lalu, halaman masjid itu dipenuhi puing-puing runtuhan bangunan, dan jasad-jasad tak bernyawa tumpuk-menumpuk seperti timbunan sampah.

Aku tercenung. Sendirian. Bayangan-bayangan masa lalu meninggalkan jejak kelam, semuanya terekam dengan jelas dan kembali berputar membangunkan memori yang lama terkubur. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.  Peristiwa itu sangat dahsyat, bahkan aku mengira hari itu adalah Hari Kiamat. Pikiranku melayang-layang di udara, terbang ke sana ke mari.

***

Ulee Lhue, 26 Desember 2004

Dalam balutan baju koko putih, aku terus mempersiapkan diri. Menghafalkan kalimat ijab qobul. Ratri cantik sekali, ia mengenakan baju gamis putih. Wajahnya putih bersinar meskipun dengan riasan seadanya. Pak penghulu, wali dan dua orang saksi telah siap melaksanakan prosesi suci itu. Tangan ayah Ratri mejabat tanganku erat, ia menatap dalam-dalam. Keringat dingin mengucur di kening, rasanya grogi. Persendianku seperti mau lepas.

“Saya terima nikahnya Ratri Hasanah binti Yusuf…” belum selesai kalimat itu kuucapkan, tiba-tiba bumi Aceh berguncang dahsyat. Rumah panggung kayu itu berderit kencang, piring-piring berjatuhan dan serpihan kayu mulai rontok. Semua berteriak, menangis, bertakbir dan menjerit. Suasana akad nikah yang syahdu berubah menjadi hiruk pikuk.

Aku terhuyung-huyung, berjalan tak tentu arah seperti orang yang sedang mabuk. Semuanya berdesakan di pintu rumah, ingin menyelamatkan diri sebelum rumah itu roboh.

“Semuanya cepat keluar!” Teriakku. Satu persatu anggota keluarga dan tamu undangan berhasil diselamatkan.

“Bagaimana ini gempa, apa mau dilanjutkan?” tanya seorang kerabat.

Aku melirik ke arah calon mertua dengan tatapan penuh harap agar prosesi akad nikah itu tetap dilanjutkan.

Sepertinya calon mertua memahami makna tatapanku, “Sudah kepalang tanggung kita lanjutkan saja.”

Pernikahanku hanya disaksikan sedikit orang, sebagian tamu undangan memilih pulang. Seluruh keluarga dan para undangan duduk beralaskan tanah, diantara rimbunnya pohon kelapa yang tumbuh di pesisir pantai Ulee Lhue. Lagi, ayah Ratri menjabat erat tanganku.

Aku menarik nafas panjang, “Saya terima nikahnya Ratri Hasanah binti Yusuf dengan mas kawin seperangkat alat shalat tunai.” Pak penghulu berucap hamdalah, Ratri sudah resmi menjadi istriku. Keluarga dan para undangan mengucapkan selamat.

Beberapa menit kemudian, lamat-lamat kudengar orang-orang berteriak kegirangan melihat ikan-ikan bergelimpangan, “Air laut surut, banyak kali ikannya!” Mereka berlomba-lomba menangkapi ikan yang menggelepar-gelepar. Firasatku berkata lain. Air laut surut, ini pertanda tidak baik. Tsunami.

Aku berteriak-teriak dari kejauhan, “Jangan ke pantai!” Namun apa daya suaraku tak mampu menjangkaunya. Hilang ditelan angin.

“Memangnya ada apa, Faris?” tanya ibuku.

Aku tak sempat menjawab pertanyaannya, “Ayo kita semua pergi dari sini, carilah tempat yang lebih tinggi!” Seketika semuanya menjadi panik.

Mobil-mobil bak terbuka sudah dipenuhi orang, semuanya memaksakan diri untuk menaikinya. Sempit, berhimpitan. Tak ada tempat yang tersisa untukku. Ayah, ibu, istri dan mertuaku sudah berada di atasnya.

Kupandangi Ratri, dan mengecup keningnya, “Pergilah ke tempat yang aman, jangan khawatirkan Abang.” Ada gurat cemas di wajahnya.

Ibu berkali-kali berpesan, “Faris, apapun yang terjadi janganlah mati kecuali dalam keadaan Islam.” Bulir-bulir bening membasahi pipinya yang keriput.

“Tenanglah Ma, insya Allah Faris baik-baik saja.” Aku berlari ke arah Juki, motor tua itu setia menunggu di halaman rumah panggung yang miring akibat gempa.

Brem! Brem! Aku memacu Juki secepat kilat. Nging! Nging! Suara itu berdenging semakin keras, seperti suara pesawat terbang yang mendekat. Aku menoleh ke belakang, dari kejauhan terdengar teriakan-teriakan ketakutan. Suara tawa anak-anak berubah menjadi tangisan pilu.

Nging! Nging! Suara itu semakin dekat memekakkan telinga. “Ada apa ini?” Batinku. Aku terus menambah kecepatan, Juki mulai berkerikit. Lagi, aku menoleh ke belakang. Tiba-tiba, air hitam bercampur pasir dan puing-puing bangunan mulai melahap pohon kelapa yang ada di depannya. “Allahuakbar!” Aku berteriak, bayang-bayang kematian ada di benakku.

Ayolah Juki, jangan menyerah! Motor butut itu mulai terengah-engah. Air bah raksasa itu semakin mendekat. Byur! Aku ditelan olehnya, melayang-layang di antara timbunan sampah rongsokan. Dadaku sakit sekali, akibat menelan air bercampur pasir. Ujung-ujung kayu yang patah menyayat tubuhku. Perih.

Dalam kegelapan dan pekatnya gulungan ombak tsunami, aku memohon pada-Nya, “Jika memang ini saatnya hamba mati…matikanlah dalam keadaan husnul khatimah.” Pasrah. Tiba-tiba, aku menabrak sebuah dinding. Timbul, tenggelam. Sekilas kulihat ada seutas tali menjuntai dari atap rumah yang dindingnya masih berdiri kuat.

Dengan tenaga yang tersisa aku berusaha menggapainya. Hap! Berhasil, dengan tubuh dipenuhi luka aku memanjat ke atap rumah. Dan terduduk lemas di atasnya, rasanya tak kuat lagi. Kutumpahkan rasa syukur itu dalam sujud panjang berurai air mata. Kupandangi sekeliling, air tsunami itu masih melampiaskan murkanya. Ia menyeret apa saja yang ada di hadapannya. Sepintas, kudengar sayup-sayup suara meminta tolong.

“Tolong! Tolong!” Seorang kakek tua bergelantungan di batang pohon yang patah. Terseret arus. Aku berusaha meleparkan tali itu padanya, ia berhasil menggapainya. Namun naas

, tali itu terputus. Ia terus menjauh dan menghilang.

Aceh saat itu, gelap gulita di malam hari, tidak ada seberkas cahaya sedikitpun. Dinginnya angin malam menusuk tulangku. Malam itu, aku bermalam di atas atap rumah bersama dengan beberapa jenazah yang tersangkut di pinggir-pinggirnya, tak ada lagi rasa takut di hatiku.

***

Fajar menyingsing, di bawah kaki langit biru. Aku mulai menelusuri bumi tempat berpijak dengan mata nanar. Ini benar-benar pemandangan yang mengerikan. Semuanya rata dengan tanah, tak ada sehelai ilalangpun berdiri tegak. Krak! Aku tidak sengaja menginjak jenazah yang tertutup triplek. Bau anyir jenazah bercampur lumpur, menyengat hidung.

Sudah tiga hari aku berjalan tak tentu arah. Sepertinya terjangan tsunami membawaku hingga beberapa kilometer dari Ulee Lhue. Tak ada satupun manusia hidup yang kutemui. Lapar. Aku mengais-ngais timbunan sampah, berharap ada makanan untuk mengganjal perut. Sebungkus mie instan tersumbul dari balik serpihan kaca, aku mengunyahnya tanpa dimasak.

Dari kejauhan kulihat tanda-tanda kehidupan. Tiga orang laki-laki datang berbaris sambil menggotong kantong mayat.

Aku berteriak seraya melambaikan tangan, “Tolong! Di sini ada orang!” Satu kali panggilan tidak terdengar.

“Tolong!” Salah satu dari mereka menoleh ke arahku.

“Di sana ada yang hidup!” Pekiknya kepada teman yang lain. Mereka menghampiriku, lega rasanya.

Aku terus mengikuti mereka mengevakuasi mayat, ada seorang anak kecil berusia dua tahun. Ia tidak beranjak dari samping jenazah lelaki paruh baya, aku terus memperhatikannya. Iba. Ia membelai lembut rambut jenazah, “Ayah, bangun! Bobonya jangan lama-lama…” Mataku berkaca-kaca sambil memalingkan wajah menyembunyikan tangis.

“Hari ini sudah cukup, kita kembali ke posko!” Lelaki bertubuh tegap itu membawa jenazah tersebut. Anak kecil itu terus menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan kaku.

“Kemana kita akan pergi?” tanyaku pada salah satu dari mereka.

“Kita akan ke posko pengungsian di desa Lampisang.”

Setelah beberapa hari di pengungsian, aku mulai mencari jejak-jejak keluarga yang mungkin masih tersisa. Berbekal sepeda milik seorang pengungsi, dimulailah pencarian itu. Kukayuh sepeda itu ke daerah Lhoknga, rumahku hanya tersisa dinding dapurnya. Semua kenangan masa kecil, runtuh bersama rumah itu. Aku mendekat, ada goresan merah di dinding. Syaiful masih hidup, posko Masjid Lampenerut. “Pak Wa Syaiful masih hidup!” Batinku menjerit kegirangan.

Segera kunaiki sepeda itu, menuju Masjid Lampenerut. Selama perjalanan sudah terbayangkan kegembiraan bertemu dengan keluarga yang lain. Ayah, ibu, mertua, dan istri. Berharap mereka masih hidup. Senja menjelang, keringat sebesar jagung membasahi tubuhku. Masjid Lampenerut dipenuhi pengungsi, aku menghampiri seorang relawan dan bertanya perihal pak Wa Syaiful.

Pak Wa Syaiful memelukku. Erat. Ia menangis kencang, aku terharu tak sanggup membendung air mata yang deras mengalir.

“Pak Wa mana yang lainnya? Mana ayah, ibu, mertua, dan istriku?” tanyaku penuh harap.

Pak Wa Syaiful terbata-bata, “Faris, ayah dan Ma sudah dimakamkan di kuburan massal di Pocut Baren.” Mataku bengkak karena menangis, rasanya masih belum percaya mereka telah tiada.

“Apa ada kabar tentang istri dan mertuaku, Pak Wa?”

Pak Wa Syaiful menepuk punggungku, “Kemarin pak Wa dapat kabar dari seorang relawan, kemungkinan istrimu ada di RS Fath.” Tanpa berpikir panjang, aku segera menuju RS Fath. Pasien-pasien luka dirawat di koridor rumah sakit, semua ruangan sudah penuh.

Aku bertanya kepada petugas rumah sakit, “Adakah pasien bernama Ratri Hasanah?”

Ia mulai membuka buku catatan pasien, “Ada Pak, di ruangan nomor 34.”

Kubuka pintu itu, ayah mertua duduk di sisi Ratri. Ia menyambut dan merangkulku, ada embun di matanya. Ratri terus bergumam, ia tak sadarkan diri. Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya, ternyata ia menggumamkan ayat-ayat al-Qur’an. Ia melantunkan sebuah ayat. Ini bacaan al-Qur’an terindah yang pernah kudengar. Kuresapi maknanya di relung-relung hati terdalam. Tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. Air mataku jatuh, membasahi pipi Ratri.

Tiba-tiba, seorang dokter menghampiri ayah mertua, mereka berbincang-bincang sejenak di luar ruangan. Aku mengitipnya dari balik pintu, ayah mertua terduduk menutup kedua wajahnya. Tubuh ringkihnya berguncang-guncang menahan kesedihan.

***

“Abi,” tangan mungil itu menggamit tanganku, memecah lamunan. Senyumnya yang ceria menghibur hati.

“Ayo kita pulang, Bi. Ummi sudah menunggu.” Ia menyeretku menuruni tangga ke lantai satu. Ratri duduk di atas kursi roda. Nabila, putriku membantu mendorong kursi roda.

Masih terngiang-ngiang di telinga, vonis dokter sembilan tahun yang lalu, “Cedera hebat yang dialami Ratri merusak syarafnya, kemungkinan ia mengalami kelumpuhan permanen dari bagian pinggang sampai kakinya. Ia tidak akan bisa berjalan, kecuali jika Tuhan berkehendak lain.”

Kutatap matanya yang bening. Ia cantik lahir batin, aku benar-benar jatuh cinta. Seulas senyum menghiasi bibir merah Ratri. Menatap cerahnya masa depan. Aku berjalan gontai, di bawah kaki langit biru Kota Banda Aceh.

Seorang ibu rumah tangga, yang sedang mencoba hobi baru yaitu menulis. Ternyata menulis itu mengasyikkan sama menariknya dengan membaca.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...