Topic
Home / Berita / Opini / UN, Mencerdaskan atau Membodohi?

UN, Mencerdaskan atau Membodohi?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Erma Alfaritsi)
Ilustrasi. (Erma Alfaritsi)

dakwatuna.com – Ujian Nasional (UN), deretan huruf yang tidak asing lagi di telinga para siswa. Bahkan mungkin terdengar menakutkan bagi sebagian siswa tingkat akhir pada tiap jenjangnya dalam dunia pendidikan Indonesia.  Menakutkan karena ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan juga orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan, di sekolah ataupun di rumah.

UN merupakan sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Menelisik kembali secara historis perjalanan ujian nasional di Indonesia dari mulai yang disebut dengan Ujian Negara, Ujian Sekolah, EBTANAS, kemudian pada tahun 2002 diganti menjadi Ujian Akhir Nasional yang sejak tahun 2005 hingga sekarang akhirnya berubah nama menjadi Ujian Nasional (UN) mempunyai tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia dengan melakukan standarisasi evaluasi belajar secara nasional. Namun, apakah indikator keberhasilan pendidikan hanya dilihat dari hasil UN peserta didik? Bila kita telusuri lebih dalam, UN merupakan salah satu wujud kerancuan konsep, organisasi dan kebijakan dari manajemen mutu pendidikan. Bila situasi ini tidak dikoreksi, manajemen mutu pendidikan kita tidak akan efektif, karenanya kita tidak bisa berharap mutu pendidikan negeri ini akan membaik, kendati standar UN ditingkatkan berlipat-lipat.

Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang dalam salah satu alinea pembukaannya disebutkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang jika kita implementasikan dalam pelaksanaan Ujian Nasional sudah tepatkah untuk mencerdaskan? Cerdas, kata bijak yang secara implisit berarti tidak bodoh. Jadi orang cerdas tentunya tidak akan bodoh. Lain dengan kata “pintar” , orang pintar belum tentu cerdas. Untuk itu, cerdas sendiri meliputi hal yang luas, tidak hanya dilihat dari aspek kognitif saja, melainkan juga afektif dan psikomotorik. Sedangkan fakta di lapangan banyak fenomena dan kontroversi atas karut marutnya sistem UN yang lebih menekankan hasil kognitif ketimbang proses pembelajaran. Kasus awal UAN tahun 2004 adalah tentang konversi nilai UAN yang dianggap merugikan siswa-siswa yang pandai dan lebih menguntungkan siswa yang kurang pandai karena Depdiknas menggunakan tabel konversi untuk mengatrol nilai siswa yang rendah.

Kasus lain di beberapa sekolah, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional, guru dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Parahnya ada juga sekolah yang membuat semacam “tim sukses” yang bertindak bukan seperti layaknya seorang pendidik, mulai dari cara yang baik-baik seperti mengadakan pemantapan, bimbingan belajar, sampai mepet-mepetnya mendoktrin siswa dengan dalih kebersamaan untuk saling berbagi kunci jawaban pada pelaksanaan UN. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti Dinas Pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi.

Seperti diberitakan Kompas, 24 Mei 2013, bahwa Koalisi Pendidikan menemukan bukti kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) 2013 tingkat SMA/SMK/MA beberapa waktu lalu. Bukti kecurangan sistemik itu bisa dilihat dari kunci jawaban yang dibuat rapi untuk 20 jenis soal. Menjadi sistemik juga karena pelaku kecurangannya justru pejabat-pejabat sekolah. Dan masih banyak lagi sejumlah kecurangan yang terungkap mengiringi UN mencerminkan adanya simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara guru dan siswa. Karena bukan rahasia lagi, dinas-dinas pendidikan daerah menargetkan sekolah agar meluluskan siswanya 100% , tidak peduli bagaimana caranya. Apakah ini yang disebut mencerdaskan? Alih-alih mencerdaskan tapi pembodohan dan jauh dari pendidikan karakter bangsa yang digembar-gemborkan selama ini.

Fenomena di atas baru aspek psikologi dan sosial dari pihak pelaksana yaitu guru dan siswa yang boleh kami katakan sesungguhnya mereka adalah korban dari amburadulnya sistem yang dibuat oleh pemerintah dengan menekan hingga menjadikan mereka berpikir dan bertindak pragmatis terhadap pendidikan. Secara ekonomis, dari pihak pengelola yang memandang UN hanya sebagai proyek tahunan pemerintah yang kontroversial, anggaran UN yang prestisius, kerancuan fungsi UN adalah hal yang membuatnya kontroversial. Anggaran UN yang katanya lebih dari 500 miliar, itu seakan terbuang percuma karena kerancuan tujuan UN itu sendiri. Kerancuan tujuan karena UN dinilai sebagai tiket menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Yang ketika dia tidak lulus UN maka terhambat untuk melanjutkan jenjang berikutnya.

Menurut data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2012, terdapat 1,2 juta dari 3,5 juta lulusan siswa SMP di seluruh Indonesia yang tidak dapat melajutkan pendidikan ke SMA setiap tahunnya. Ibarat sebuah pabrik, ada pengelola, pekerja dan produk hasil produksiya. Maka sistem UN pun seperti halnya pabrik yang dikelola oleh pemerintah, guru-guru sebagai pekerjanya dan siswa dengan hasil UN sebagai produknya. Jika produknya gagal maka tidak akan laku dipasaran. Miris.

Dua hal yang menjadi polemik besar dalam pelaksanaan UN adalah standarisasi soal secara nasional dan nilai hasil UN sebagai penentu kelulusan siswa. Mereka yang sudah susah payah bersekolah selama tiga tahun di SMA/SMK/MA atau SMP/MTs ditentukan nasibnya hanya dengan empat sampai enam mata pelajaran saja, masing-masing selama dua jam. Penyamarataan soal seluruh Indonesia yang terkesan memaksakan dan hasil UN sebagai penentu kelulusan inilah yang membuat publik bereaksi keras dengan berbagai kritikan. Diantaranya penyamarataan soal UN secara nasional dan pematokan hasil UN dianggap mengabaikan muatan kurikulum yang menganut prinsip kemajemukan potensi daerah dan peserta didik. Sebab menurut pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan menggunakan prinsip kemajemukan (diversifikasi) potensi daerah dan potensi peserta didik.

Selain itu, UN telah merampas kewenangan guru dan sekolah untuk melakukan evaluasi hasil belajar dan menentukan kelulusan peserta didik. Menurut pasal 58 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru dan satuan pendidikan/sekolah. Dari peraturan tersebut, dengan prinsip diversifikasi satuan pendidikan maka secara otomatis standar kelulusan siswa selayaknya dikembalikan lagi ke satuan pendidikan bukan ditentukan oleh Negara.

Adakah Solusi Pengganti UN?

UN tetap dipertahankan, karena pemerintah masih mencari solusi pengganti UN yang tepat. Di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada bahkan Finladia yang memiliki sistem pendidikan terbaik dunia pun tak melaksanakan ujian seperti ini. Memang tidak mudah untuk begitu saja menghilangkan UN. Semuanya membutuhkan proses, namun proses itu tergantung dari pengelolanya sendiri apakah akan semangat memperbaiki demi kemajuan pendidikan Indonesia atau terus mempertahankan sistem yang dianggap baik ini. Fenomena di atas harus kita jadikan refleksi terhadap kebijakan UN yang terus menerus kita lakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia tidak hanya melalui UN.

Peningkatan mutu pendidikan memang harus menjadi program utama untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Untuk itu, kita butuh solusi cerdas tanpa menghilangkan standar pendidikan nasional yang dicita-citakan pendiri Republik Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan yang diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945.

Pertama, kita perlu menelisik lebih dalam akar permasalahan pendidikan Indonesia, yaitu SDM. Di luar negeri, apalagi negara maju seperti Kanada misalnya, tidak ada Ujian Nasional karena dianggap tak bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di negara itu. Dikatakan dari hasil kunjungan kerja Komisi X DPR RI terkait RUU Pendidikan ke Belanda dan Kanada, mengungkapkan bahwa Kanada pernah mengalami keruwetan sistem pendidikan seperti di Indonesia,  “Mereka menyarankan kepada kita untuk konsentrasi pada penataan SDM. Cari yang terbaik. Kalau memungkinkan, datangkan dari negara lain”.

Belajar dari negara maju lainnya, Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan termaju di dunia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru-guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Mereka sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Di Finlandia, profesi guru adalah profesi yang paling terhormat. Dokter justru berada di bawah peringkat guru. Jadi jelas, kunci utama untuk mengawali perbaikan pendidikan Indonesia adalah perbaikan dan peningkatan mutu SDM.

Kedua, saya sepakat  bahwa tiap warga negara Indonesia mempunyai standar pengetahuan yang sama dan teruji. Memang inilah cita-cita yang ingin dicapai, tetapi tidak setuju dengan tindakan memaksakan kehendak hasil UN sebagai penentu kelulusan. Karena sarana dan prasarananya pun berbeda antara pendidikan di kota dan desa terpencil. Indonesia yang masih diganggu oleh korupsi, pendidikan juga belum merata ingin membuat standar pengetahuan bagi para peserta didik seluruh indonesia? Jika memang mau mengarah kesana  disarankan hal ini dilakukan secara bertahap. Kita harus realistis, Indonesia yang terpisah dengan pulau-pulau memang terlalu besar untuk mengadakan sesuatu kegiatan bertaraf nasional seperti di negara-negara lain. Kita harus berani memilih daerah yang mempunyai kesamaan pada banyak bidang terlebih dahulu. Maka  saya usulkan tahap awal untuk ujian akhir tingkat provinsi

Misalnya, Ujian Akhir tahun 2014 nanti berturut-turut hingga 3 tahun kedepan dilakukan Ujian Akhir Provinsi bersama. Dengan standar soal provinsi, kemudian program ini dievaluasi berhasil atau tidaknya  dalam meningkatkan taraf pengetahuan peserta didik. Jika berhasil, dengan terus memperbaiki sistem tentunya, dilakukan peningkatan ke Ujian Akhir Tingkat Kepulauan hingga 3 tahun ke depan. Baru setelah dievaluasi dari hasil ujian kepulauan ini berhasil baik, maka diadakan Ujian Nasional bersama. Kita tidak perlu tergesa-gesa membuat standar pengetahuan bagi para siswa. Kalaupun dianggap hal ini terlalu lama, cukuplah UN ini hanya sebatas untuk pemetaan saja, bukan sebgai penentu kelulusan. Namun, sampai tahun ini porsi kelulusan nilai UN masih lebih besar yaitu 60 :40, maka ini yang harus kita kritisi bersama.

Ketiga, laksanakan dengan sungguh-sungguh semangat pendidikan yang tercantum dalam  UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 bahwa Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Dengan itu, menentukan kelulusan siswa tidak bisa dengan UN saja. Karena UN hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, kompetensi kelulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Oleh karena itu, seharusnya kelulusan siswa dikembalikan kepada guru dan sekolah sebagai pihak yang paling tahu proses perkembangan siswa itu sendiri. Nilai UN bisa digunakan sebagai salah satu faktor penilaian keberhasilan sekolah dalam proses belajar mengajar. Karena pendidikan harus berorientasi kepada proses bukan hasil. Jika segala sesuatu yang kita lakukan hanya bertujuan untuk mencapai hasil maka segala cara akan dilakukan untuk meraih hasil yang diinginkan.

Keempat, keberhasilan pendidikan diukur dengan moralitas atau akhlak para lulusannya (dengan penilaian portofolio), disamping tidak mengabaikan intelektual dan kecakapan hidup. Dengan kata lain, moralitas menjadi fondasi dasar dalam membangun manusia yang tangguh. Alasannya sangat sederhana karena akhlak adalah simbol utama kemanusiaan. Ini pula yang menjadi modal utama manusia dalam berkomunikasi sosial dan alat kontrol atas capaian intelektual seseorang sehingga pengetahuannya tidak disalahgunakan. Seandanya moralitas dan karakter siswa gagal dibentuk, itu artinya proses pendidikan gagal total. Sebab keselarasan sosial, serta  dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, bahkan berpotensi gagal karena dikendalikan oleh individu-individu cerdas tetapi egois dan hedonis-materialis. Dan Inilah yang sedang menimpa Indonesia saat ini.

Sekali lagi, opini ini saya tekankan bahwa saya sepakat Indonesia membutuhkan alat ukur kinerja pendidikan. Kalau tidak ada alat ukur, darimana kita akan tahu kinerja dan standar pengetahuan siswa-siswi kita? Tetapi UN bukanlah metode yang tepat untuk menjadi alat ukur berhasil atau tidaknya kita mendidik siswa. Hambatan dan rintangan akan dihadapinya jika suatu waktu timbul aturan yang tidak disengaja membodohkan bangsa. Karena kebodohan itu sangat berlawanan dengan kecerdasan. Untuk itu, dibutuhkan waktu yang lama dan sistem yang dijalankan secara konsisten dari tiap orang yang mengaku pemimpin bangsa harus komitmen dalam mencerdaskan bangsa yang dipimpinnya.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Kaderisasi PW KAMMI Jawa Barat

Lihat Juga

Emir Qatar Janjikan Pendidikan untuk Satu Juta Anak Perempuan

Figure
Organization