Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Akhlak sebagai Harta Berharga Seorang Muslim

Akhlak sebagai Harta Berharga Seorang Muslim

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ (الأحزاب:

Ilustrasi. (Foto: Kompasiana.com)
Ilustrasi. (Foto: Kompasiana.com)

21)

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulallah itu suri teladan yang baik bagimu .(Al-Ahzab: 21)

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق. (رواه أحمد)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda, “Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan Akhlak yang baik. (Musnad Imam Ahmad, 2: 381)

Akhlak dan Pengertiannya

dakwatuna.com – Islam dengan ajarannya yang syumuliyyah telah menjadikan umat Muhammad sebagai umat yang terbaik. Mulai dari ibadah, akidah, muamalah, termasuk akhlak Islamiyah, semuanya telah Allah atur sedemikian rupa dengan perantara Rasulullah sebagai teladan yang terbaik.

Akhlak secara etimologis berasal dari suku kata “خلق- يخلق- خلقا” yang berarti asal menciptakan, membuat, atau menjadikan (A.W Munawwir, 1997: 363). Ditinjau dari segi terminologis, akhlak berarti sejumlah sifat tabiat fitri (asli) dan diusahakan pada seorang manusia. Pendapat ini mengutip dari Ibnu Masykawaih yang hampir senada dengan ucapan Al-Ghazali, “Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.” (Wawasan Al-Islam, 154). Berdasarkan definisi di atas, akhlak merupakan sesuatu yang bersifat tabiat. Baik itu asli (fitrah) atau bukan (diusahakan), baik secara kasat mata (zahiriyah) atau pun tidak nampak (bathiniyyah). Jauh lebih dari itu, akhlak merupakan sesuatu yang bersifat melekat (spontanitas) pada seseorang (Ar-Raghib Al-Ashfahani, 2009: 120)

Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam mu’jam-nya memasukkan dua istilah ketika membahas kata خلق, yakni خَلْق (khalqun) dan خُلُق (khuluqun), khalqun adalah kalimat khusus yang digunakan untuk keadaan, bentuk, dan gambar yang terindra oleh penglihatan, sedangkan khuluqun adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekuatan dan tabiat yang terindra oleh akal maupun kearifan. Ini disa dilihat dalam salah satu Rasulallah saw,

اَللَّهُـمَّ كَمَا حَسَّـنْتَ خَلْقِـيْ فَحَسِّـنْ خُلُقِـيْ

 Ya Allah sebagaimana Engkau telah indahkan rupaku, maka baikkanlah akhlakku.

Posisi Akhlak dalam Perkembangan Peradaban

Sejak anak cucu adam melakukan dosa pertama dengan terbunuhnya Habil, maka sejak saat itu pula kita bisa melihat bagaimana akhlak manusia, bahkan mungkin jauh lebih awal ketika Adam dan Hawa berbuat kesalahan di surga. Hal ini jelas menggambarkan bahwa manusia tidak terlepas dari akhlak, terlepas dari baik dan buruknya akhlak itu. Dan karena hal ini pula yang menyebabkan tidak ada satu peradaban bahkan ajaran (agama) sekalipun yang mengesampingkan satu aspek akhlak. Setiap ajaran (agama) dan peradaban mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menilai dan meletakkan akhlak itu sendiri.

Yunani-Romawi misalnya, dengan kultur mereka yang kerap mengagungkan akal dan kepuasaan sesaat, turut memengaruhi cara pandang dua negeri adidaya kuno ini terhadap akhlak. Mulai dari pandangan kaum Sofis yang menitikberatkan akhlak kepada kepemilikan hak, berlanjut pada peran akal yang menjadi tolok ukur akhlak seperti yang tergambar pada pendapat Socrates, Plato, dan Aristoteles,  hingga penafsiran akhlak yang sangat hedonistik dari murid Socrates, Aristippus. Dia mengatakan, “Segala sesuatu yang dapat mewujudkan kelezatan, itulah akhlak.” (Ali Abdul Halim Mahmud, 1996: 99)

Lain Yunani-Romawi, lain pula Yahudi-Nasrani (Masehi). Dengan karakteristik bangsa Yahudi yang keras, ini membawa ajaran Yahudi menjadi tidak memiliki pengaruh sama sekali, dan tidak bisa memberi batasan ideal tentang konsepsi akhlak itu sendiri. Setali tiga uang dengan Yahudi, mudahnya ajaran masehi untuk diotak-atik membuat akhlak bukan menjadi hal yang sakral lagi dalam ajaran ini. Dengan mudahnya orang melanggar etika, berbuat hina, atau sebagainya. Toh, pada akhirnya semua dosa bisa ditebus kepada rahib-rahib. Puncaknya, Yahudi yang banyak tahu berbagai hal, dengan kesombongannya malah diam seolah tidak pernah mendengar adanya sebuah perintah wahyu. Sebaliknya, Nasrani yang jauh dari petunjuk (bahkan mungkin hilang dari asalnya), malah sibuk melakukan apa yang mereka tidak ketahui asalnya.

Berpindah pada Komunis yang punya pandangan sendiri terkait peran akhlak. Akhlak mereka tergambar dari sifat kecenderungan Komunis dalam melawan apapun yang sifatnya doktrin dari Tuhan (agama). Seperti ucapan seorang Borjuis (Ali Abdul Halim Mahmud, 1996: 122) yang mengatakan bahwa kita ada untuk memerangi adab dan akhlak (yang bersumber dari agama). Ini lebih karena pandangan komunisme itu sendiri terhadap agama. Komunisme menganggap agama (lebih jauhnya lagi Tuhan) seperti halnya seorang pemilik saham, penanam modal, atau para penguasa perusahaan. Baik agama (Tuhan) maupun majikan (tuan) mereka anggap sebagai sesuatu yang menuntut dan memanfaatkan sesuatu dari pegawai (rakyat umum). Sehingga akhlak mereka anggap sebagai akal-akalan yang dibuat oleh agama –juga pemilik modal- sebagai batasan dan acuan bekerja rakyat kecil yang tentunya menguntungkan agama. Seperti yang dikatakan oleh Halim Mahmud bahwa komunisme tidak memandang sedikit kebaikan insaniyah dalam etika atau akhlak. Maka melalui ini setidaknya kita sudah tahu bagaimana Komunisme memandang dan menempatkan  akhlak dalam pandangan mereka.

Islam sebagai din penyempurna dan penutup risalah, mempunyai pandangan dan penempatan yang lebih sempurna akan akhlak. Islam jauh mengungguli ajaran dan pandangan hidup lainnya baik yang ada sebelum atau sesudah Islam ada. Bukan hanya dalam pengaturannya akan akhlak terhadap sesama muslim, tetapi Islam juga mengatur akhlak sesama makhluk hidup, diri sendiri, dan dengan Cang Pencipta tentunya. Satu rangkaian belandaskan akidah yang tidak dimiliki oleh ajaran dan pandangan hidup yang lainnya.

Asas Akhlak dalam Islam

Hadits di atas merupakan alasan paling kuat dan paling agung dari diutusnya Rasulallah saw. Dalam hadits itu terkandung betapa menekankannya Rasulullah akan akhlak sebagai inti risalah dan ajarannya. Penekanan ini telah Rasulallah kuatkan dalam kesempatan lain kepada para sahabatnya.

“Tidak ada timbangan yang paling berat kecuali akhlak.” (at-Tirmidzi)

“Paling banyak yang menyebabkan masuk surga, yaitu taqwa pada Allah dan berakhlak baik”. (H.R Baihaqi)

Hadits-hadits di atas hanya beberapa dari banyaknya hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang urgensi dan nilai akhlak dalam ajaran Islam, tanpa menganggap kecil urusan lainnya. Baiknya akhlak seseorang merupakan salah satu bukti baiknya akidah seseorang. Karena antara akhlak dan akidah (juga yang lainnya) terdapat sebuah hubungan korelatif yang tidak mungkin terpisahkan.

 سأل رسول الله صلى الله عليه و سلم عن البر والاثم قال البر حسن الخلق والإثم ما حك في نفسك وكرهت أن يطلع عليه الناس. (البخارى)

Rasulallah saw ditanya tentang kebaikan dan dosa. Rasul menjawab, “Kebaikan (al-birru) adalah akhlak yang baik, dan dosa itu adalah sesuatu yang berada di hatimu dan kamu takut orang lain mengetahui akan hal itu.”

Hadits ini menerangkan tentang penjelasan Rasulallah kepada Nawwas bin Sam’an Al-Anshary tentang birrun dan itsmun. Di sini disebutkan bahwa yang dimaksud birrun adalah husnu al-khulq. Sedangkan birrun yang diartikan berbuat baik apalagi kepada orang tua adalah sesuatu yang sering berdampingan dengan perintah tidak menyekutukan Allah. Ini menjadi penguat kesekian-kalinya tentang besarnya peran akhlak dalam Islam. Karena dengan akhlak, seseorang dapat dibedakan apakah dia mukmin yang kuat atau yang lemah.

Dari kata husnu al-Khulq ini pula kita mendapati kata yang serumpun, yakni Ihsan yang merupakan satu diantara tiga rukun agama selain dari Iman dan Islam. Ada dua macam Ihsan dalam pengaplikasiannya. Pertama, Ihsan dalam beribadah. Ini sesuai dengan Ihsan yang Rasulullah terangkan kepada Jibril di hadapan para sahabat, “Ihsan adalah ketika kamu beribadah kepada Allah seolah-olah Dia melihatmu, meskipun sejatinya kamu tidak melihat-Nya.” Adapun yang kedua adalah Ihsan dalam artian berbudi beperti baik kepada sesama manusia. Hal ini terpatri dalam firman Allah surat al-Isra ayat 23, Ali Imran ayat 134, dan al-Ankabut ayat 69.

Bahkan lebih dari itu, ihsan jenis kedua ini seperti yang telah disebutkan di awal. Yakni lebih besar cakupannya dan bukan hanya kepada manusia. Tetapi kepada hewan, tumbuhan, dan seluruh makhluk bernyawa yang ada di muka bumi ini.

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ. (البخارى)

Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah kita mendapat pahala karena kita menolong hewan?” Nabi saw menjawab, “di setiap yang mempunyai limpa basah ada pahalanya.” (Shahih Muslim, 4: 104)

Rasulullah Sang Duta Akhlak

Bukti Islam sebagai agama yang sempurna tidak habis pada tingginya posisi dan luasnya cakupan akhlak. Tetapi kesungguhan Allah dalam menjadikan Islam sebagai Rahmatan lil Aalamin terlihat jelas dengan menjadikan Muhammad  sebagai manusia terbaik dan pengemban risalah Islam sendiri. Korelasi antara Al-Quran sebagai pedoman dan Muhammad sebagai utusan tergambar benar pada jawaban Aisyah ra kepada Sa’ad bin Hisyam bin Amir ra,

فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ

“Sesungguhnya akhlak Nabi saw adalah Al-Quran.”

Dalam sumber lain, Siti Aisyah menyertakan surat al-Mukminun ayat 1-5 dalam menjelaskan maksud hadits ini.

Itu sebabnya al-Quran dan as-Sunnah menjadi dua sumber hukum Islam paling komprehensif. Karena al-Quran dan hadits (yang mewakili segala tingkah dan ucapan Rasulullah) adalah wahyu Allah swt yang disampaikan melalui malaikat Jibril dan hikmah.

Menjadi Generasi Ulul Albab dan Suri Teladan Umat

Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berfikir. (Ali Imran : 7)

Modal keimanan dan intelektualitas adalah modal paling utama untuk menjadi insan Ulul Albab. Yakni salah satu insan yang utama diantara manusia lainnya. Dan mahasiswa, mempunyai dua modal penting itu. Mereka hidup di tengah arus beredarnya ilmu pengetahuan, akses yang mudah akan sumber-sumber ilmu membuat mahasiswa setidaknya memenuhi satu dari dua syarat ini. Tinggal memilih, apa siap menjadi insan Ulul albab dengan memperkuat keimanan dan memperbaiki akhlak tentunya, atau justru sebaliknya? Sungguh semua kembali pada kita. Karena sejatinya kita tidak akan pernah menjadi pemimpin dan pembaharu bangsa jika tidak memiliki karakter keimanan yang kuat dan wawasan yang luas. Pemimpin tidaklah membutuhkan kecerdasan wawasan, tetapi karakter diri yang baik bagi seorang muslim haruslah berdasarkan akidah Islamiyah.

Selain dari itu, sudah bosan rasanya mendengar jargon mahasiswa sebagai agen perubahan. Namun sejatinya, masyarakat tidak akan pernah tergiring untuk berubah ke arah yang lebih baik tanpa adanya teladan yang baik pula. Semua bermula pada diri kita sendiri. Menuju perubahan masyarakat, diawali perubahan akhlak, perubahan besar yang dianggap kecil oleh kebanyakan orang.

 أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Wallau a’lam bish-shawab…

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa sastra Arab Unpad 2011, Wakil Ketua BEM FIB Unpad dan aktif di Hima Persis Unpad.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization