Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Pilihlah Karena Agamanya

Pilihlah Karena Agamanya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Malam begitu indah dengan bulan sabit yang terlihat sesudah magrib. Cuaca Karawang begitu panas. Aku hanya memandangi bulan itu, bulan sabit yang bercahaya di kala malam belum sempurna. Keindahan alam yang patut aku nikmati. Hmm… Aku letih sekali hari ini. Banyak aktivitas yang mendorongku memacu banyak tenaga untuk terus berlari bersama waktu.

Ingatanku melayang pada kegiatan siang tadi. Jalanan dipenuhi oleh atribut kampanye dari berbagai partai dan caleg. Hampir, tak satupun wajah di atribut tersebut yang aku kenali. Kudengarkan dengan seksama saran Mbak Dewiq tuk memilih caleg dengan teliti agar aspirasi warga terus diperhatikan oleh pemerintah eksekutif dalam pertemuan Majelis Ta’lim Al-Barokah. Kusimak terus apa yang disampaikan oleh beliau dalam sosialisasi Caleg tersebut. Dia  menjadi tim yang menjelaskan salah satu caleg tersebut yang sekarang sudah menjadi Anggota DPR RI. Mbak Dewiq bersemangat sekali dalam penjelasan tersebut, seolah-olah aku dan anak muda masjid di Majelis Ta’lim ini terbawa arus semangat yang berkobar.

Bulan sabit itu perlahan membesar, masih membentuk sabitnya. Aku masih disini, menikmati keindahan warnanya. Sembari meneguk sedikit teh hijau hangat yang adikku buat. Mungkin, ini kesekiankalinya Lastri membuatkan ramuan teh hijau hangatnya sesuai takaran teh dan air panas tanpa gula pasir atau pemanis lainnya.

“Apa yang Mbak Wulan pikirkan saat ini, serius sekali?” Tanya Lastri

“Ahh.. tidak, hanya melihat keindahan bulan sabit itu saja, dan…. “

“Dan apa?” Lastri memotong

“Dan penentuan pilihan mbak yang belum diputuskan harus memilih yang mana?”

“Hayoo… Mbak Wulan sudah punya pilihan pasangan hidup yaa? Siapa mbak… siapa? Ayo kasih tau Lastri”

“Kamu ini, Mbak belum selesai bicara sudah dipotong saja.”

“Opss… maaf mbak.”

“Sekarang kan masa kampanye, namun Mbak belum menentukan akan memilihsiapa. Partai politik ini dan itu masih Mbak pelajari visi dan misi serta kualitas mereka. Memang sih, Mbak ulusan Hukum, tapi bab ini Mbak harus mengetahuinya. Kini, semua partai memberikan informasi yang bagus-bagusnya saja. Apalagi dia sudah menguasai televisi. Mbak mencari penyeimbang dengan chat di grup rekan-rekan kampus dan media online. Mbak benar-benar selektif untuk ini. Mbak tidak mau Indonesia tidak maju dalam 5 tahun ke depan. Hanya karena para pemangku amanah tidak bekerja serius dan tidak amanah dengan jabatannya.”

“Gitu ya mbak? Rumit juga yaa permasalahan Mbak. Padahal, aku juga akan memilih pertama kali, kan aku sudah punya KTP. “ Sahut Lastri

“Mbak kenal dengan teman mbak yang sudah punya kelompok dan bergabung di partai, mereka soleh dan solehah. Pada saat mbak berbincang dengan mereka, semakin lama Mbak semakin nyaman. Ditambah info terkait dengan dunia Islam, kini Mbak makin merasa ilmu Mbak bertambah. Namun, Mbak belum bisa bergabung dengan partai. Mbak inginnya netral aja. Namun, pada saat pencoblosan nanti mbak harus memilih sebagai warganegara yang baik dengan menggunakan hak pilih. Sayangkan, jika suara kita tidak disalurkan? Doakan Mbak ya, agar tidak tergiur dengan partai yang bagi-bagi amplop agar mencoblos mereka.”

“Amin, Lastri terus doakan buat Mbak apa yang terbaik. Juga setiap selesai shalat Lastri doakan agar Mbak menemukan jodoh yang soleh. Aamiin Yaa Rabb.”

“Kok kesana-sana ngobrolnya, Lastri kamu… ahh sudah lahh.. Doakan aja terus. Terimakasih.” Aku selalu tersipu, kalo bab itu yang selalu Lastri ucapkan.

“Mbak juga sering berdoa dong, agar segera Allah swt mempertemukan dengan jodohnya Mbak…” Lastri terus menggoda dan senyum-senyum gak jelas.

“Yaa udah Mbak. Yuk makan dulu, sudah siap di meja makan tuh!”

“Malam ini Mbak gak makan malam.”

“Wahh yang lagi diet, mau nikah nih?” Lastri terus menggoda

“Sudah sana jangan terus mengganggu Mbak.”

“Aku tau lho Mbak, kalo perempuan yang menyendiri sambil melihat bulan itu pertanda sedang merindukan seseorang. Merindukan seorang suami yang soleh ya Mbak?”

“Sudah sana jangan ganggu Mbak. Kamu nih, selalu menggoda Mbak! Sana masuk rumah! Jangan lupa, piring yang kotor kamu bersihkan.”

Hmm…Malam terus berputar, bulan sabit masih menerangi langit Karawang. Aku senang menyendiri. Banyak perenungan yang ada. Bangsaku ini mau dibawa kemana? Sudah lama kuikuti perkembangan pemerintahan, politik, hukum, keamanan dan ekonomi, masih saja terlihat tidak ada perubahan yang berarti. Apakah memang pemerintah berjalan sangat lambat? Ataukah ada hal lain yang tidak aku ketahui tentang kejadian perencanaan pemerintah selain info di televisi dan media online?

Mungkin, jika ada suami lebih enak membahas ini, akan lebih seru. Dan pembahasanya bisa jadi makin jernih dinilainya. Ya Rabb, berilah aku seorang suami yang soleh lagi cerdas. Itulah pintaku sehabis shalat Qiyamullail. Rasanya kesendirianku ini harus cepat berakhir. Semoga dalam waktu dekat ini. aku dipertemukan dengan pria yang soleh lagi cerdas itu. Aku tak pernah lelah berdoa kepada Allah swt. Insya Allah akan selalu ada keindahan pada waktu yang tepat. Allah swt mempunyai takdir sendiri dalam merencanakan sesuatu yang terindah buat hamba-Nya.

Kini, warna bulan sabit itu makin terang, seiring berjalannya malam. Kutulis rencanaku bulan ini. Salah satunya, rencana memilih partai dan caleg. Rencananya ini masih aku kosongkan, aku harus shalat Istikhoroh terlebih dahulu.

Sms dari Ardi masuk dalam hpku dan kubaca. Dia menginformasikan agar para muslim memilih partai Islam. Supaya semakin kuat persatuan dan umat Islam bisa menjalankan program keumatan untuk membangun Indonesia dengan Rahmatan Lil ‘Alamin.

Aku pertimbangkan lagi saran Ardi tersebut. Lalu, kolom kosong itu? Aku isi dengan Partai Islam. Namun, aku belum menentukan Partai Islam yang mana. Bulan sabit masih menerangi malam ini. Sementara waktu sudah menunjukan pukul 22.00 waktu Karawang. Sudah tiga jam aku disini. Entah kenapa, terlintas dalam ingatan tentang partai yang peduli banjir Jakarta dan banjir di daerah lainnya. Relawannya sangat terlihat sigap seperti sudah lama terlatih. Pada saat kampanye, mereka tertib. Aku tak mampu berkata apapun saat mereka melakukan demo di Jakarta dengan tertib dan aman. Mereka juga peduli dengan Palestina. Akhir-akhir ini, partai ini peduli dengan kondisi Mesir dan selalu ingin belajar atas keberhasilan pemerintahan Turki. Bulan sabit malam ini, mirip sekali dengan Partai Islam tersebut. Apakah itu yang menjadi petunjuk? Akupun tak tau. Shalat Istikhoroh harus aku jalani sebelum hari H pencoblosan. Dan aku, mulai pamit pada bulan sabit itu. Jikalau bulan sabit itu kembar maka ini yang akan tampak unik.

***

Hari pencoblosan itu pagi ini, aku sudah siapkan siapa yang akan kupilih. Bukan hanya pilihan diriku sendiri, tetapi juga pilihan keluarga. Mereka kompak dan setuju dengan pilihanku. Karena mereka menganggap aku sebagai orang yang tak pernah asal pilih. Ada data dan pertimbangan yang panjang. Pagi ini, ruang-ruang TPS menentukan nasib bangsa ke depan. Ketiga temanku, Dina, Ajeng, dan Rita sudah mampir ke rumah tuk bersama-sama ke TPS. Ketiga temanku ini pula sudah menentukan pilihannya. Namun, mereka masih saja bertanya-tanya atas pilihanku.

“Kamu pilih partai mana?” Tanya Ajeng

“Aku pilih partai karena agamanya. Seperti kita memilih jodoh, juga karena agamanya.”

“Ciee… Wulan sudah siap-siap menikah nihh?” Canda Dina

“Ahh… itu persamaan saja. Argumenku, pilihlah Partai Islam. Aku bisikan ke tiga temanku ini, bahwa aku memilih partai ini.” Lalu mereka bertiga kompak tertawa. Ternyata sahabat baikku yang bertiga ini mempunyai pilihan yang sama.

“Itukan partai Islam yang disukai anak-anak muda. Capresnya juga masih muda. Ahh kalian, pikiran kita nyambung yaa, padahal kita tak pernah membahas ini. Kalian bertiga memang hebat.”

“Udah jangan terus ngobrol, kapan kita berangkat ke TPS nya?” sahutku

Ketiga sahabatku tertawa lepas dan mereka saling memandang.

Kami bergegas. Taklupa, membaca doa sebelum berangkat ke TPS.

Saat yang menegangkan. Pencoblosan segera dimulai. Tibalah giliranku. Satu suara begitu berharga. Kuhantarkan Indonesia, kulakukan hakku sekaligus kewajibanku.

“Ya Rabb, kami titipkan pemimpin yang cinta pada rakyatnya. Yang bekerja dengan amanah, dan selalu dekat pada-Mu.” Doaku di balik bilik suara ini.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Penulis yang pembelajar. Memiliki hobi travelling.

Lihat Juga

Din Syamsuddin: Agama Harus di Praktekkan dalam Kehidupan Sehari-hari

Figure
Organization