Talenta Kaum Muda Dalam Merebut Kepemimpinan Bangsa (Bedah Konsepsi Kepemimpinan Perspektif Al-Quran)

Ilustrasi. (inet)

Pendahuluan

dakwatuna.com – Dilansir dari Harian Republika edisi Senin, 17 Februari 2014 bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menaikan status kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) di Pemerintahan Provinsi Banten ke tingkat penyidikan. Langkah ini disertai penetapan status pada Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. KPK melansir nilai proyek yang menjerat Atut itu sekitar Rp. 9 miliar. “Alkes Banten nilai kontrak adalah Rp. 9.313.685.000”, kata juru bicara KPK Johan Budi dalam pesan singkat kepada Republika.

Kenyataan tersebut memaksa kaum muda untuk ambil bagian dari sebuah perubahan. Betapa tidak, kejahatan korupsi yang mulai menggerus panggung kepemimpinan bangsa ini, merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri. Realitas inilah yang menjadi alasan terkuat bagi kita kaum muda untuk tampil berani, mengambil alih posisi kaum tua yang terbukti gagal menjalankan amanat demokrasi. Jika bukan kita yang merebut posisi sentral kepemimpinan bangsa maka kursi-kursi kemerdekaan itu akan direbut oleh manusia-manusia yang tidak manusiawi.

Berangkat dari hal tersebut, penulis merasa perlu untuk menggali lebih dalam mengenai pentingnya menjadi kaum muda yang memiliki daya tawar dan daya saing. Sudah saatnya kita mulai berpikir besar namun tetap terdepan dalam aksi-aksi lokal. Selayaknya tahun ini menjadi momentum penting bagi kaum muda untuk memprakarsai sebuah kebangkitan baru. Karena tahun ini bertepatan dengan berlangsungnya pesta demokrasi, menjadi peluang bagi kaum muda untuk merakit gagasan agar negeri ini tidak lagi menjadi republik sakit.

Oleh karena itu, gagasan sederhana ini ingin mencoba mengurai hakikat kepemimpinan, menggali nilai Al-Quran dalam merekonstruksi talenta kepemimpinan Qur’ani, serta upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk suksesi kepemimpinan muda. Paradigma yang melibatkan konsepsi kepemimpinan Al-Quran merupakan tema yang tepat, hadir di tengah-tengah kerinduan umat mencari sosok dan figur kepemimpinan yang benar-benar mewakili berbagai sendi pluralitas bangsa. Ini merupakan upaya kaum muda untuk terus memperkaya perspektif dan perluasan wawasan, serta menjadi wadah sekolah kebangsaan.

Berpijak dari pemikiran di atas, maka menjadikan Al-Quran sebagai sudut pandang utama adalah sebuah keharusan dalam membangun karakter kepemimpinan, karena produksi pemimpin-pemimpin berwawasan Al-Quran menjadi kebutuhan mendesak dalam menyongsong Indonesia Baru. Masih adakah harapan bangsa ini untuk memiliki pemimpin bertalenta Qur’ani?

Mengurai Hakikat Kepemimpinan

Aristoteles seorang filsuf Yunani kuno mengatakan bahwa manusia adalah zoon politican atau dalam arti yang lain adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, dan tidak mungkin bisa terlepas dari manusia yang lainnya. Komunikasi dan interaksi menjadi komposisi kehidupan yang penting dalam menjalin kontrak-kontrak sosial yang pada akhirnya baik disadari ataupun tidak bahwa kontrak sosial tersebut mengikat setiap orang dalam komunitas suatu kehidupan, di mana sebagian  di antaranya menjadi pemimpin (ra’in) dan sebagian menjadi pengikut (ra’iyah).

Miswan Thahadi (2008: 210), menambahkan bahwa kontrak sosial terjadi mekanisme alamiah. Orang yang lebih kuat pengaruhnya dalam setiap  komunitas diikuti oleh orang-orang yang lemah, selanjutnya secara berkelanjutan kepemimpinan semakin terlembagakan dalam struktur sosial yang lebih permanen.

Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976: 754), istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang berarti bimbing atau tuntun. Setelah ditambah awalan “pe-“ menjadi pemimpin yang berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Apabila ditambah akhiran “-an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai, setelah dilengkapi dengan awalan “ke-“ menjadi kepemimpinan berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama (Inu Kencana, 2009: 1).

Sedangkan secara terminologis, makna kepemimpinan dijelaskan oleh para ahli dengan redaksi yang berbeda-beda. Veithzal Rivai (2009: 106) mengutip tulisan James M. Black dalam bukunya Islamic Leadership mengatakan Leadership is capability of persuading others to work together under their direction as a team to accomplish certain designated objectives (Kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan tertentu).

Dalam karya yang berbeda Veithzal (2003: 3) menegaskan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini yaitu: (1) Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut; (2) Kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah tanpa daya; (3) Adanya kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan yang berbeda-beda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya dengan berbagai cara.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan secara umum memiliki arti yang sangat luas, tergantung perspektif pendekatan yang digunakan. Namun pada hakikatnya dari semua definisi dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan mengarah pada kemampuan mempengaruhi, memberi inspirasi dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Lalu, bagaimana Islam menjelaskan konsep kepemimpinan di tengah teori-teori kepemimpinan yang semakin berkembang? Di dalam Islam para ulama memprioritaskan topik kepemimpinan secara khusus, karena itu merupakan salah satu pondasi tegaknya agama. Seperti yang diungkapkan Syeikh Islam Ibnu Taimiyah yang dikutip Jamal Madhi (2001: 2), bahwa memimpin urusan manusia termasuk kewajiban terbesar agama, bahkan tidak akan tegak agama kecuali dengannya.

Merujuk pada pembahasan sebelumnya yang lebih banyak membedah makna dan hakikat kepemimpinan secara umum, maka perlu kiranya menelaah lebih mendalam hakikat kepemimpinan dalam Al-Quran. Islam memandang kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang berarti wakil. Pemakaian kata khalifah setelah Rasulullah SAW wafat menyentuh maksud yang terkandung di dalam perkataan “amir” (yang jamaknya umara) atau penguasa. Oleh karena itu, kedua istilah ini dalam bahasa Indonesia disebut pemimpin formal. Namun jika merujuk kepada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Maka kedudukan non-formal dari seorang khalifah juga tidak bisa dipisahkan lagi. Perkataan khalifah pada ayat tersebut tidak hanya ditujukan pada para khalifah sesudah nabi Muhammad SAW, tetapi adalah penciptaan nabi Adam as. yang disebut sebagai manusia dengan tujuan untuk memakmurkan bumi, yang meliputi tugas menyeru orang lain berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan munkar. Senada dengan hal tersebut,  Abu Ridha (2004: 59) menambahkan bahwa dalam konsepsi Islam berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh mencakup aktivitas manusia dalam memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas merupakan suatu tindakan dan fungsi  siyasah yang otentik.

Berbicara mengenai kepemimpinan dalam Al-Quran, selain kata khalifah disebutkan juga kata ulil amri yang satu akar dengan kata amir sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kata ulil amri berarti pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam, mari  merujuk dan menelaah sebuah ayat yang populer dalam Al-Quran Surat An-Nisa [4] ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Beberapa mufassir memberikan gambaran yang berbeda mengenai pemaknaan ayat tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1992: 72-73) bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan, dan seluruh pemimpin lainnya yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum. Senada dengan hal itu, Ibnu Katsir (2000: 518) setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah umara dan ulama.

Jika kita berbicara perintah taat pada ayat tersebut, Zulmaizarna (2009: 98) menjelaskan bahwa ketaatan mutlak adalah pada Allah dan rasul, dalam pengertian bahwa kehidupan manusia hendaklah berpegang dan berpedoman pada Al-Quran dan hadis. Ketaatan pada pimpinan adalah selama kepemimpinannya berdasarkan garis yang telah ditentukan dalam ajaran Islam, tetapi jika terjadi perselisihan pendapat dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, maka segeralah kembali ke jalan Allah.

Dalam hadis Rasulullah SAW istilah pemimpin dijumpai dalam kata ra’in atau amir, seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:

كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته

Setiap orang di antaramu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari & Muslim).

Berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis Rasulullah SAW tersebut,  Veithzal (2003: 7) menyimpulkan bahwa kepemimpinan dalam Islam itu adalah kegiatan menuntun, membimbing, memandu dan menunjukkan jalan yang diridhai Allah SWT. Masih menurut Veithzal (2009: 225), mengatakan bahwa dalam Islam pemimpin dan kepemimpinan juga telah ada. Pemimpin adalah sosok dan kepemimpinan adalah nilai, pemimpin yang memiliki nilai kepemimpinan adalah sosok yang mampu menerjemahkan nilai-nilai spiritual dan motivasi dalam sebuah sistem formal maupun non-formal, sehingga kebermaknaan kepemimpinan akan terasa oleh sistem tersebut.

Merakit Talenta Kepemimpinan Qur’ani

Al-Quran dan hadis memberikan contoh berbagai model kepemimpinan yang bukan hanya memiliki keunggulan kepribadian yang kuat, tapi juga sesuai dengan tuntutan zamannya. Rasulullah SAW adalah model pemimpin yang menghimpun semua keunggulan tersebut dan senantiasa sesuai dengan tuntutan zaman. Al-Quran sebagai kitab yang memahami betul pentingnya kepemimpinan dalam kehidupan manusia, menawarkan berbagai model dan kriteria bagi seorang pemimpin agar dapat membangun kepemimpinan yang bernilai tinggi.

Pada dasarnya setiap orang memiliki talenta kepemimpinan. Talenta sering diartikan juga dengan bakat atau potensi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976: 766), potensi dapat diartikan sebagai kesanggupan, kekuatan dan kemampuan. Indra Kusumah (2001: 91) menjelaskan beberapa kekuatan inti seorang pemimpin yang dijelaskan dalam Al-Quran:

Pertama, Hafizhun ‘Alim (Sosok yang mampu memelihara dan berpengetahuan luas). Al-Quran mengabadikan keberanian nabi Yusuf as. dalam menawarkan diri menjadi pemimpin,

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Yusuf berkata: ‘Jadikan aku bendaharawan negara (Mesir) . Sesungguhnya aku orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan’. (QS. Yusuf [12]: 55).

Hafizhun ‘Alim adalah kekuatan inti nabi Yusuf as. yang berjuang dengan melibatkan diri ke dalam sistem birokrasi pemerintahan Mesir. Ia berjuang melawan hedonisme dan kekuasaan korup yang menggiring negara pada kehancuran. Faishal Umar (2005: 30) mengutip komentar Al-Qurthubi, “Sesungguhnya Yusuf meminta jabatan karena ia tahu bahwa tidak ada orang lain yang sebanding dengannya dalam keadilan, ketakwaan, dan dalam memberikan hak-hak fakir miskin.”

Kedua, Basthatan fi al-‘Ilm wa al-Jism (Keunggulan pada kekuatan ilmu dan fisik). Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Muhammad AR (2010: 191) memiliki gagasan penting mengenai kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin. Pertama, seorang pemimpin itu harus memiliki ilmu pengetahuan; kedua, pemimpin itu harus berlaku adil dalam setiap keputusannya; ketiga, sehat fisik dan jiwanya serta kemampuan lain yang memadai. Hal tersebut dibenarkan oleh Ibnu Qayyim (1999: 76) bahwa dengan menyempurnakan ilmu, maka kepemimpinan dalam agama akan didapatkan. Kepemimpinan dalam agama adalah kekuasaan yang alatnya adalah ilmu. Landasan teologisnya bisa kita pahami dari kisah dalam Al-Quran  berikut ini:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu’. Mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?’ Nabi (mereka) berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilih (Thalut) menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa’. Allah memberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.’ (QS. Al-Baqarah [2]: 247).

Thalut adalah seorang pemimpin yang diangkat dalam nuansa pertarungan dan arus perlawanan mengembalikan eksistensi kejayaan Bani Israel. Hari-harinya adalah peperangan melawan dominasi raja Jalut yang zhalim.

Ketiga, Raufun Rahim (sosok yang santun dan pengasih). Al-Ghazali (2003: 134) memberikan pandangannya bahwa pemimpin adalah orang yang mempunyai berbagai kebijaksanaan, juga memiliki ilmu pengetahuan, kecermatan, kearifan, serta kasih sayang dalam mengatur dan mengarahkan masyarakat ke arah yang benar. Saat Allah SWT menggambarkan mengenai kedatangan kekasihnya sebagai rahmat untuk seluruh alam. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 128,  sebagai berikut:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah [9]: 128).

Raufun Rahim ini dinisbatkan kepada nabi Muhammad SAW yang hidup di tengah kebodohan umat, kompleksitas problem sosial ekonomi dan friksi antara kabilah yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.

Pemimpin bertalenta Qur’ani adalah model kepemimpinan yang memiliki semua kekuatan inti di atas. Indra Kusumah (2002: 94) menambahkan bahwa ada dua pra-syarat bagi pemimpin yang diklasifikasikan oleh para ulama sebagai kekuatan inti pemimpin, yaitu: Pertama, Kafa’ahKafa’ah adalah kemampuan dan keterampilan yang meliputi kemampuan konseptual (conceptual skill), kemampuan hubungan kemanusiaan (human interpersonal skill), dan kemampuan tekhnik (technic skill).

Kedua, amanah. Amanah berkaitan dengan karakter kepemimpinan sekaligus kepribadian kepemimpinan. Amanah berarti memiliki segenap keunggulan sikap dan karakter utama yang menjadikannya memiliki kredibilitas dan integritas yang tidak diragukan.

Betapa kita merindukan kepemimpinan bertalenta Qur’ani, memimpin dengan melayani, membangun generasi untuk kembali kepada realitas Islam yang hilang dan kembali mengulang sejarah gemilang.

Suksesi Kepemimpinan Muda Untuk Indonesia Baru

Keberadaan pemuda dalam kehidupan kemanusiaan sangat penting, karena mereka potensial untuk mewarnai perjalanan sejarah umat manusia. Pemuda adalah calon pemimpin masa mendatang, mereka yang akan mengubah umat menjadi jaya atau sebaliknya. Mencetak kaum muda bertalenta serta mampu menggabungkan sikap kepeloporan dan kepemimpinan bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan iklim sosial politik  untuk berkiprah.

Tanpa dukungan kondisi sosial politik, sulit untuk membangkitkan gairah kepemimpinan kaum muda. Kondisi sosial dan politik masih terlalu sering mengaduk emosi dan perasaan publik. Alih-alih berharap pada peran strategis kaum muda, sebagian dari mereka justru menarik diri dan merasa lacur untuk melibatkan diri dalam dunia kekuasaan. Kekuasaan politik merupakan media kesejahteraan umat. Karena idealnya kekuasaan mampu menjaring perasaan, harapan, cita dan keinginan rakyat dengan penuh amanat.

Di sinilah letak strategis kaum muda. Mereka diposisikan oleh Ralp Miliban (2009: 32), sebagai kalangan yang berada di antara level elit kekuasaan dan kalangan grass root. Pada level elit, kaum muda bisa dijadikan alat mobilisasi untuk meraup keuntungan politis. Sementara pada level grass root, kaum muda sangat mungkin menjadi katalisator dan akselerator aspirasi kalangan bawah terhadap berbagai persoalan sosial yang hanya mampu diterjemahkan oleh kaum muda lewat serangkaian aksi sosial.

Upaya menghasilkan kepemimpinan muda hanya mampu dilahirkan dari pendidikan kepemimpinan dalam waktu yang panjang. Maka dari itu, penulis mencoba mengartikulasi empat langkah besar untuk mewujudkan terlahirnya kepemimpinan muda bertalenta Qur’ani, sebagai berikut:

  1. Kaderisasi Kepemimpinan

Mayoritas para pakar kepemimpinan meyakini bahwa kemampuan kepemimpinan dan potensi untuk menjadi pemimpin sebaiknya ditanamkan pada tujuh tahun pertama dari usia anak. Hal tersebut diperkuat oleh Veithzal (2003: 84), bahwa untuk melahirkan seorang pemimpin yang berkualitas diperlukan proses dengan jangka waktu yang cukup lama. Seluruh kehidupan manusia sejak masa kanak-kanak hingga remaja merupakan masa kaderisasi untuk menjadi pemimpin dalam upaya membentuk pribadi, agar memiliki keunggulan dalam aspek-aspek yang dibutuhkan untuk bersaing.

Mengapa kaderisasi kepemimpinan diperlukan? Karena semua manusia termasuk yang sekarang menjadi pemimpin, suatu saat pasti akan mengakhiri kepemimpinannya, baik dikehendaki maupun tidak. Kaderisasi kepemimpinan adalah langkah awal dalam menanam benih kepemimpinan. Dalam pelaksanaannya, kaderisasi kepemimpinan terbagi menjadi kaderisasi formal dan informal. Secara informal upaya untuk menanam benih pemimpin adalah dimulai dari lingkungan keluarga.

Sejalan dengan itu, Montgomery dalam buku karya Thariq As-Suwaidan (2005: 234) membenarkan hal tersebut, “Ada satu hal yang kita tidak boleh keliru, bahwa dasar-dasar pembentukan karakter seseorang harus dibangun di rumah, termasuk pembentukan kepemimpinan harus dimulai pula dari sana. Atas dasar prinsip-prinsip yang baik dan lurus yang dibentuk di rumah inilah seorang guru akan membangun karakter anak ketika ia memasuki masa sekolah. Apabila pondasinya belum terbentuk, maka guru atau siapa saja, tidak dapat berbuat apa-apa terhadap anak tersebut.

Secara formal, kaderisasi kepemimpinan dapat dilakukan dengan menggagas sekolah kepemimpinan. Sekolah kepemimpinan dapat dilakukan dengan mendirikan lembaga-lembaga pelatihan untuk mengajarkan kepada generasi muda talenta-talenta kepemimpinan. Memberikan mereka kesempatan untuk berdialektika yang dikatakan Anis Matta (2006: 111) sebagai suatu proses pembinaan intensif untuk satu proses engineering. Suatu proses konstruksi terhadap umat dengan cara membangun unsur inti masyarakat. Yaitu: pemimpinnya.

2.  Membina Masyarakat

Ketika menjelaskan Al-Quran surat Hud [11] ayat 117,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَىٰ بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri zalim, sedang penduduknya adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.

Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy dalam buku Muhammad Sajirun (2011: 15) mengatakan bahwa orang yang baik pada ayat tersebut adalah orang yang shalih pada diri sendiri dan juga bekerja untuk memperbaiki orang lain. Maka dari keshalihan pribadi harus mampu memunculkan keshalihan sosial, dan semangat ini tidak akan muncul kecuali dengan membina masyarakat.

Mengutip perkataan Anis Matta (2006: 120), bahwa membina masyarakat relatif sederhana jika dibandingkan dengan membina pemimpin, mulailah dengan wasaail tarbiyah jama’iyah yaitu sarana-sarana pembinaan masyarakat umum. Seperti pengajian, tabligh akbar dan lain sebagainya.

Membina masyarakat dimaksudkan untuk menopang pilar-pilar kebangkitan umat, karena pemimpin yang baik hanya bisa lahir dari masyarakat yang baik. Sebagaimana yang diungkapkan Muhammad AR (2010: 80) bahwa pemimpin sangat tergantung pada rakyatnya, karena pemerintah merupakan gambaran yang jelas dari sebuah masyarakat. Cerminan seorang pemimpin sesuai dengan kehendak mayoritas rakyatnya, mustahil masyarakat yang terbina dan shalih memilih pemimpin korup, tiran, diktator, amoral dan zhalim.

3.  Memilih Pemimpin Muda Bertalenta Qur’ani

Sudah saatnya panggung suksesi kepemimpinan nasional dihiasi dengan isu memunculkan kepemimpinan muda yang kuat, yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Bangsa ini harus mulai menata ulang sistem kepemimpinan dengan membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin muda. Bukan hanya berdasarkan level struktural lembaga pemerintahan, tetapi seluruh segmen dan sektor kehidupan masyarakat. Jika hari ini kita belum mampu untuk tampil ke depan setidaknya suara kita menjadi juru bicara bagi para pemimpin muda bertalenta Qur’ani. Kita harus mulai membuka ruang-ruang harapan pada kepemimpinan Qur’ani. Kita harus mulai membuka ruang-ruang harapan pada kepemimpinan muda, memberikan mereka kesempatan dan kepercayaan untuk memimpin negeri ini.

Penutup                                          

Dalam pandangan Islam, kepemimpinan bisa dinilai sebagai ujian dan bagi orang-orang yang lemah merupakan musibah yang harus dihindari, kecuali dalam keadaan terpaksa. Jika ia menolak maka kepemimpinan akan jatuh pada orang yang lemah atau bahkan kepada orang kafir yang tidak dibenarkan menurut syariat Islam. Dalam keadaan demikian, kepemimpinan tidak hanya harus diterima tetapi juga harus direbut.

Kepemimpinan yang mengkombinasikan kemampuan keilmuan yang mapan, kuat dan sehat secara fisik serta penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, diharapkan mampu menerjemahkan konsepsi kepemimpinan Al-Quran. Sebagai pedoman hidup, Al-Quran hendaknya dijadikan sumber inspirasi  bagi hadirnya pemimpin yang dirindukan. Sekarang saatnya kaum muda berbuat, untuk memperkuat barisan umat, menepis segala penjahat rakyat, tampil ke panggung dan menjadi juru selamat.

Maka dari itu, kaum muda harus mulai mematangkan talenta dalam merebut kepemimpinan bangsa. Mulai menenggelamkan diri dalam proyek-proyek kebangkitan. Karena riak-riak kebangkitan ini dari waktu ke waktu semakin terasa, bagi mereka yang bergerak bersama denyut nadi umat pasti mampu merasakannya. Kita semestinya menyediakan ruang bagi optimisme dalam menghadapi masa depan bangsa secara bijak dan mendesak, memproduksi pemimpin-pemimpin bertalenta Qur’ani dan memupuk harapan bagi kejayaan umat. Karena regenerasi kepemimpinan mendatang tidak sekedar mengubah realitas kebangsaan, tapi juga melukis peta baru Indonesia. []

Wallahu a’lam bi al-shawwab

Daftar Pustaka

Abul Fida, Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Terj. Bahrun Abu Bakar. Tafsir Ibnu Katsir), Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000.

Al-Ghazali, dalam Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah Etnografi Kekerasan di Aceh, Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003.

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Buah Ilmu, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999.

As-Suwaidan, Thariq dan Faishal Umar, Melahirkan Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Gema Insani, 2005.

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung: Syaamil, 2000.

Kementerian Pemuda dan Olahraga, Dialog Pemuda Dalam Membangun Bangsa, Jakarta: Kemenegpora RI, 2009.

Kusumah, Indra, Keajaiban Motivasi: Rahasia Sukses Sang Juara, Bandung: Salamadani, 2011.

Madhi, Jamal, Menjadi Pemimpin yang Efektif & Berpengaruh: Tinjauan Manajemen Kepemimpinan Islam, Bandung: Syaamil, 2001.

Matta, Anis, Mengusung Peradaban Berkeimanan, Bandung: Media Qalbu, 2006.

Mustafa, Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Terj. Bahrun Abu Bakar. Tafsir Al-Maraghi), Semarang: Karya Toha Putra, 1992.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976.

Ridha, Abu, Manusia dan Kekhilafahan, Bandung: Syaamil, 2004.

Rivai, Veithzal, Islamic Leadership: Membangun Super Leadership Melalui Kecerdasan Spiritual, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: Rajawali Press, 2003.

Sajirun, Muhammad, Manajemen Halaqah Efektif, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011.

Syafi’ie, Inu Kencana, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Thahadi, Miswan, Quantum Dakwah dan Tarbiyah: Menuju Kemenangan Islam di Pentas Peradaban, Jakarta: Al-I’tishom, 2008.

Zulmaizarna, Akhlak Mulia Bagi Para Pemimpin, Bandung: Pustaka Al-Fikris, 2009.

Surat Kabar:

Harian Republika, edisi Senin, 17 Februari 2014.

*Makalah ini dilombakan dalam Event MTQ cabang MMQ.

Moderat, pecinta Al-Quran, suka menulis dan berbagi informasi, juga blogger mania.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...