Urgensi Perlindungan Budaya, Demi Lestarinya Pemersatu Bangsa

Ilustrasi. (Foto: lensaindonesia.com)

dakwatuna.com – Syarat berdirinya suatu negara adalah dengan adanya rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat, sesuai dengan Konvensi Montevideo tahun 1933 yang oleh Mahfud MD disebut unsur konstitutif. Dari unsur-unsur ini kita tak bisa menafikan, sesuai dengan pengertian suatu bangsa yang menjadi salah satu unsur konstitutif suatu negara, pasti memiliki suatu kesamaan yang mempersatukan dan membuat mereka satu.

Mari kita sebut sesuatu yang mempersatukan suatu bangsa ini sebagai budaya (Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Wikipedia). Seperti bangsa lainnya, bangsa Indonesia pun terbangun atas kesamaan cara hidup yang berkembang dan akhirnya membudaya. Kebudayaan nasional sendiri ialah budaya yang diakui sebagai identitas suatu bangsa.

Namun, menjadi suatu kemirisan, saat kita menilik pada realitas dewasa ini.  Arus globalisasi mengombang-ambingkan generasi muda kita. Generasi awal negeri yang dulu amat anti terhadap barat, kini tergantikan oleh generasi muda yang justru berkiblat penuh pada barat. Hal ini menimbulkan krisis identitas pada mayoritas warga Negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini, terlebih pada remaja yang menguasai hampir 1/3 jumlah penduduk negeri ini.

Padahal, jika kita mengorek sedikit saja potensi budaya negeri ini, kita akan menemukan bahwa sangat banyak budaya yang dimiliki oleh bangsa ini, yang sayangnya kurang mendapat perhatian oleh masyarakat, apalagi pemerintah, baik daerah maupun pusat. Tercontoh Wayang Potehi dan Gambang Semarang yang merupakan kesenian  asli kota Semarang yang hampir punah, hingga saat ini belum juga mendapat perhatian yang maksimal dari masyarakat kota lumpia terutama pemerintah kota dan parlemen kota Semarang.

Batik pun yang telah diakui keberadaannya, baik di dalam negeri maupun dunia internasional. Dalam memperkenalkan batik dan budaya Indonesia agar dicintai generasi muda terutama, dinilai masih mengalami kesulitan. Tingkat kesadaran memilih batik sebagai bagian dari keseharian mereka juga masih sangat rendah.

Yang sangat disayangkan, dampak kurangnya kesadaran akan budaya sendiri ini sudah mulai terlihat dengan banyak hilang dan terampasnya budaya Indonesia oleh negara lain. Tidak bisa dipungkiri, bahkan sebagian besar dari kita pun tidak mengenal keseluruhan dari budaya Indonesia yang beragam.

Menanggapi hal tersebut, Seto Mulyadi, psikolog anak yang akrab disapa Kak Seto ini  mengatakan, sangat penting untuk memperkenalkan berbagai budaya Indonesia pada anak sejak usia dini.

“Poin penting di sini adalah rasa nasionalisme, mengingat hal ini merupakan salah satu inti dari pendidikan. Selain itu, setelah mengenal budaya, mereka juga diharapkan bisa mencintai budaya Indonesia, serta menghargai sejarah masa lalu,” ungkap Kak Seto. Dilansir dari www.motherandbaby.co.id/

Padahal apa yang kita sebut sebagai budaya, inilah identitas kita sebagai suatu bangsa dan Negara. Maka kewajiban bagi kita adalah mengembalikan rasa nasionalisme pada lingkungan sekitar kita, utamanya pada diri kita sendiri. Dengan salah satunya dengan memulai kembali mengenali budaya-budaya Indonesia utamanya budaya di daerah kita. Jangan sampai kita terjajah oleh budaya luar bukan hanya kebudayaan kita tetapi cara berbicara kita pun sudah mulai terjajah. Kita lancar berbahasa Inggris atau bahasa luar lainnya tetapi mengapa kita tidak tahu bahkan tidak bisa berbicara bahasa daerah kita sendiri.  Apalagi ketika kita mulai benar-benar mencintai budaya asing daripada budaya kita sendiri.

Contoh lainnya adalah semakin jarangnya pelestarian budaya semisal tari tradisional yang dilakukan para pemuda, kita kini bahkan lebih akrab dengan tarian tarian modern (modern dance) yang saat ini banyak digandrungi kawula muda. Sementara kita melihat sanggar-sanggar tari tradisional semakin sepi dan ditinggalkan.

Maka ini yang harus kita perbaiki dan koreksi kembali, bahwa kita adalah bangsa Indonesia maka kita pula yang memiliki kewajiban mengenal, menghargai hingga melestarikan budaya kita, baik budaya wilayah kita maupun budaya bangsa secara kolektif. Usaha-usaha penghargaan dan pelestarian nilai-nilai budaya tradisional ini tidak dapat lepas dari pemilik utamanya, yaitu masyarakat khususnya generasi muda. Keberadaan remaja dalam masyarakat sangatlah penting. Karena sebagai generasi penerus bangsa, merekalah yang bertanggung jawab mempertahankan nilai-nilai kebudayaan ini.

Namun, yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa mencintai budaya sendiri bukan berarti menutup diri akan budaya luar. Mencintai budaya negeri, bukan berarti kita menjadi eksklusif dan hanya ingin berinteraksi dengan budaya sendiri. Lebih dari itu, mencintai budaya sendiri bukan berarti anti terhadap arus perkembangan zaman. Namun mencintai budaya kita adalah menyelaraskan budaya kita dengan arus kehidupan yang semakin maju. Mencintai budaya kita adalah berjalan dengan seimbang sesuai porsinya antara kebudayaan tradisional dengan teknologi yang kian maju.

Coba lihat Negara maju di dunia, Jepang misalnya, mereka mampu melestarikan kebudayaan tradisional mereka, menjaganya, bahkan mengolaborasikannya dengan perkembangan zaman. Maka ini yang harus kita adopsi pada negeri ini, kita sebagai generasi muda harus menjadi garda terdepan dalam pelestarian budaya negeri ini.

Seperti peraturan langit dan bumi, kecintaan akan budaya bangsa yang membumi ini tentu pula harus didukung oleh peraturan yang melangit. Maksudnya ialah, ketika masyarakat telah mencintai budayanya, tentu kewajiban bagi pemerintah untuk mengarahkan dan memfasilitasi kebudayaan nasional ini, agar tetap lestari.

maka berdasarkan pasal 20A ayat (1) dijelaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki 3 fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.  Maka DPR atau Parlemen yang diwakili Komisi X yang menggawangi bidang kebudayaan, kesenian dan pariwisata memiliki kewajiban untuk membuat undang-undang dan bekerja sama dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan demi menciptakan peraturan dan lingkungan yang kondusif tentang perlindungan dan pelestarian budaya, demi semakin lestarinya budaya bangsa di masa yang akan datang.

Namun, sangat disayangkan ternyata kita belum memiliki Undang-Undang tentang budaya yang mengawasi budaya kita. Undang-undang yang selama dua tahun terakhir digarap DPR hingga saat ini belum menemui titik terang penyelesaiannya.

Padahal, keberadaan Undang-Undang yang khusus mengawasi di bidang kebudayaan sangat urgen keberadaannya bagi perlindungan budaya kita di tengah gempuran claim dari Negara lain yang ramai beberapa tahun terakhir.

Dan jika langit dan bumi telah berkongsi, diharapkan agar kemudian budaya bangsa tak hanya menjadi sekedar identitas bangsa yang sangat rentan. Namun budaya bangsa, dapat menjadi identitas dan pemersatu bangsa. Sehingga kita semakin mencinta budaya bangsa dan Negara kita.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip slogan bangsa kita “bhinneka tunggal ika”, berbeda beda namun tetap satu jua. Itulah budaya kita, tiap daerah punya kekhasan masing-masing, namun tentu dengan kebijakan yang dewasa, budaya yang berbeda-beda itu tentu dapat menjadi sesuatu, yang mempersatukan kita sebagai suatu bangsa dan Negara. Karena kita adalah satu, Indonesia.

Seorang anak muda yang optimis, meski terkadang orang melihatnya utopis.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...