Topic
Home / Berita / Internasional / Asia / Bantuan Paket Pendidikan Untuk Anak-anak Myanmar

Bantuan Paket Pendidikan Untuk Anak-anak Myanmar

SAMSUNG CSCdakwatuna.com – Yindaw.  Tim Global Action Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyalurkan bantuan paket pendidikan berupa tas dan alat tulis untuk anak-anak korban konflik kerusuhan Meiktila yang mengungsi di Camp Madinatul Uloom Yindaw, Myanmar. Pendidikan untuk mereka, perlu bangunan kelas.

Ratusan anak lebih usia 3–7 tahun, penerima manfaat bantuan pendidikan. Mereka setiap hari belajar membaca Al-Quran di teras Masjid Madinatul Uloom Yindaw. Serah terima sedianya. sederhana saja, cukup dihadiri anak-anak penerima manfaat. Tak disangka, kesederhanaan itu hadir dengan sangat meriah.

Serah terima itu berlangsung di teras masjid Madinatul Uloom dihadiri H. Omar Khan, pimpinan Madinatul Uloom Foundation dan tokoh masyarakat, para guru (Maulwi), serta para orangtua anak-anak penerima manfaat. Terbatasnya teras masjid, membuat sebagian besar yang hadir rela berdiri di halaman masjid. Ya, sederhana tapi semarak oleh gempita kegembiraan pengungsi dan takmir masjid.

Di antara para Maulwi (guru ngaji), hadir Maulwi Mas”ud, M Fachruddin, M Ibrahim, M Sya”aban, M Usman dan M Ishaq. Mereka di barisan depan mengatur acara dan mengarahkan anak-anak. Acara dibuka suara berwibawa pembacaan Al Quran oleh Nur Muhammad Sayyidullah (10), salah seorang santri terbaik bacaan Al-Qurannya di Madinatul Uloom,  dilanjutkan dengan Qasidah yang ditampilkan Luqqiyah (13) yang melantunkan lagu “Ummi”, mirip sekali suara Sulis pelantun aslinya di Indonesia.

Dalam sambutannya, H. Omar Khan menyampaikan terima kasih kepada ACT yang datang jauh-jauh dari Indonesia telah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap nasib pendidikan anak-anak Myanmar. Dia berpesan, agar jangan melihat besar kecilnya bantuan yang diberikan.

“Kita ini bersaudara, saudara sesama muslim walaupun mereka jauh dari kita. Mereka datang menemui kita. Jangan dilihat dari besar kecilnya bantuan yang diberikan kepada kita, tapi lihatlah kasih sayang mereka kepada kita yang begitu besar,” pesan Omar, dalam bahasa Burma.

Usai sambutan, H. Omar langsung menyerahkan bantuan paket pendidikan kepada anak-anak yang sudah siap berbaris, kemudian diteruskan oleh perwakilan ACT secara bergantian sampai semua anak-anak mendapat bagian.

“Terima kasih banyak, ACT sudah peduli kepada anak-anak kami di Yindaw, Meiktila meskipun jauh dari Indonesia, semoga ini menjadi tanda persaudaraan kita,” ujar Maulwi Muhammad Ma’ud, orangtua anak-anak penerima manfaat dan guru ngaji, dalam bahasa Arab dialek Burma.

Sementara itu, di tempat yang tak jauh dari penyaluran paket pendidikan, Tim Global Action ACT menemui keluarga Syarifah (45) bersama tujuh anaknya yang mengungsi di Camp Madinatul Uloom Yindaw, Meiktila, Myanmar.

Syarifah mengalami trauma yang mendalam atas tragedi kemanusiaan Maret  2013 itu. Suaminya, terbunuh dalam kerusuhan itu. “Suami saya terbunuh dalam kerusuhan itu,” kenang Syarifah menuturkan kisah pilunya kepada Tim Global Action-Aksi Cepat Tanggap, sambil sesekali menyeka air matanya yang berkaca-kaca penuh kesedihan.

Sedangkan keadaan rumahnya di Meiktila habis terbakar pada kejadian itu. Kini, ia dan tujuh anaknya, 5 perempuan dan 2 laki-laki. Mereka di antaranya Halimah (21), Zainab (17), Azizah (16) dan 4 lainnya saat ini tinggal di shelter berukuran 4×6 meter, terbuat dari bambu beratapkan terpal di Camp Madinatul Uloom Yindaw.

Syarifah masih sangat terpukul atas kejadian tersebut, ia masih bimbang dan gelisah. Apalagi, kini dia menjadi single parent memikirkan masa depan anak-anaknya yang penuh ketidakpastian.

Nestapa itu bertambah berat, saat teringat almarhum suaminya yang menjadi tumpuan harapan keluarga dan masa depan anak-anaknya. Kini, ia harus memikirkan sendiri bagaimana nasib anak-anaknya kelak dikemudian hari.

“Bapak, tolong selamatkan keluarga kami. Ayahnya sudah tiada, dia syahid saat kerusuhan setahun yang lalu. Bawalah salah satu anak kami,” ujar Syarifah terharu, sambil memanggil anak-anak gadisnya yang ada, yaitu Halimah, Zainab, Azizah. Sedangkan yang lainnya sedang pergi mencari pekerjaan di Pare.

Ia dan anak-anaknya tidak mau kembali ke kampung halamannya di Meiktila yang sudah porak poranda. Saat ini masih belum aman untuk mereka kembali. “Kalaupun sudah aman, kami tidak mau kembali ke Meiktila. Rumah kami sudah habis terbakar saat kerusuhan itu. Tolong bawalah anak-anak kami pak, biar masa depan mereka lebih jelas dan lebih baik,” kata Syarifah sangat berharap, saat menerima kedatangan tim Global Action ACT di halaman shelternya.

Anak-anaknya sendiri berkeinginan besar untuk pergi keluar dari Myanmar menimba nasib supaya kehidupan mereka lebih baik dimasa depannya. Seperti dituturkan Halimah (21), anak gadisnya yang paling besar. “Kami ingin pergi keluar Myanmar, kami sangat ingin ikut ke Indonesia supaya kami bisa melanjutkan belajar, dan mencari pekerjaan,” tutur Halimah, dalam bahasa Arab dialek Burma terbata-bata.

Halimah, alumnus Aziziyah Arabic University di Meiktila, ia adalah seorang Maulwi (guru ngaji) di Madrasah Tsanawiyah Meiktila sebelum terjadi kerusuhan. Kini, ia dan adiknya, Zainab (19) berharap ada yang membawa mereka ke Indonesia, Malaysia atau Bahrain.

“Saya ingin sekali pergi ke Bahrain untuk bekerja apa saja di sana, yang penting saya bisa membantu ibu saya dan adik-adik saya yang masih membutuhkan biaya untuk masa depan mereka,” kata Zainab, tersenyum sumringah dan malu-malu ketika menerima Tim Global Action-ACT. (ACT/sbb/dakwatuna)

 

Redaktur: Saiful Bahri

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir dan besar di Jakarta, Ayah dari 5 orang Anak yang hobi Membaca dan Olah Raga. Setelah berpetualang di dunia kerja, panggilan jiwa membawanya menekuni dunia membaca dan menulis.

Lihat Juga

Misi PBB: Militer Myanmar Bakar Anak Rohingya Hidup-Hidup

Figure
Organization