Topic

H-15

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Pemilu 2014, 9 April 2014. (Foto: ppktanahgrogot.blogspot.com)
Ilustrasi – Pemilu 2014, 9 April 2014. (Foto: ppktanahgrogot.blogspot.com)

dakwatuna.com – Tulisan itu tertera jelas di papan tulis kelasku, lalu lalang teman lewat dan bertanya perihal maksudnya. Kujawab dengan santun, Pemilu.

Santri gila politik, panggilan itu melekat erat dalam keseharianku berasrama di pondok. Beberapa yang heran kadang bertanya, “Fatah kader partai yah?,” tidak. Aku bahkan belum masuk dalam golongan pemilih pemula. Maklum, umurku di agak maksa 16 setengah tahun. Sehingga aku belum memiliki hak pilih. Apalagi menjadi kader parpol, tidak.

Jujur, ada sesuatu yang menarik dari ‘mainan’ ini, mereka begitu berkuasa. Dapat memerintah sekehendak hati, tanpa pikir jadi apa nanti. politik, yah dialah mainan itu. Sebuah aksioma sederhana bahwa politik kini tak lebih dari sekedar mainan penguasa, aktualnya di negeri tercinta.

Namun ada sedikit yang berbeda, sekaligus unik rasanya. Mainan ini selalu berganti pemilik tiap 5 tahun sekali, lewat media pemilu. Siapa yang memenangkan pemilu, berhak mengontrol mainan itu, berlalu sesuka hati, tak peduli selain pada diri sendiri. Itulah hakikat politik-kuasa, itulah realita politik, sesuatu yang mengatur hajat hidup orang, yang dapat dikuasai segelintir orang, demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Lantas pemahaman itulah yang mengilhami kita, terforsir dalam setiap daily life kita. Ditambah dengan realitas banyaknya ‘pemain’ yang justru tak dapat dipercaya, membuat kita makin benci akan politik. Politik itu busuk, politik itu buruk, politik itu tak dapat dipercaya.

Namun, yang mirisnya, justru politik –hal yang kita benci itu- malah yang mengatur keseharian hidup kita. Kita sebagai pelajar, pendidikan kita dikelola oleh kementrian, yang ujung-ujungnya dikuasai oleh pemain, baik buruknya kualitas pendidikan, terserah yang bermain. Pun jika kita adalah tenaga kerja profesional, buruh, guru, PNS, apapun itu, kebijakan tentang hajat hidup kita, ternyata ‘mainan’ milik penguasa.

Maka, jika anda merasa hidup anda buruk, sulit, susah, dan penderitaan lainnya. Sungguh sebuah ironi. Kesengsaraan kita selama ini, adalah berkat perbuatan penguasa. Muak? Lantas bagaimana cara mengubahnya?

H-15, itulah kunci perubahannya. Dibalik semua pemerintahan yang buruk itu, kita punya andil dalam memperbaikinya, H-15. Pemilu 9 April, adalah momen terbaik kita untuk menyelesaikan segalanya, dengan memilih pemimpin yang terbaik. Karena pemilu adalah kesempatan mengubah keadaan, demi kearifan di masa depan.

Dan itulah, alasan terbesar saya di sini, menulis H-15 di papan tulis, karena itulah momen kita, momen kemenangan kita. Kita sebagai anak muda, menguasai 19 persen atau 36 juta pemilih (data http://news.liputan6.com), dengannya berarti kita mempunyai andil besar demi perbaikan di negeri ini. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan langka ini dengan menjadi golongan putih. Jangan pula jadi kritis namun tak berani atasi krisis.

Mari sama-sama menjadi pemilih di pemilu 9 April nanti, karena satu suaramu sangat berarti untuk perbaikan negeri. Satu suaramu menentukan pemegang mainan itu 5 tahun ke depan, apakah di orang yang tepat, atau salah. So, jangan golput.  Mari memilih, untuk kearifan di masa yang akan datang.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang anak muda yang optimis, meski terkadang orang melihatnya utopis.

Lihat Juga

Kemenangan Erdogan Dinilai Bekukan Rencana Turki Gabung Uni Eropa

Figure
Organization