Pesantren Transformatif: Mengais Serpihan Janji Demokrasi, Mengubur Kepemimpinan Transaksional

Ilustrasi. (Foto: resaw94.blogspot.com)

Prolog: Krisis Kepemimpinan Sebagai Benih Keretakan

dakwatuna.com – Rakyat Indonesia dalam pandangan Burhanuddin Muhtadi dijuluki sebagai rakyat yatim piatu. Yatim, karena pemerintah jarang hadir dalam berbagai permasalahan yang dihadapi publik tetapi begitu sigap menarik pajak. Piatu, karena partai politik hanya muncul ketika musim pemilu tiba. Rakyat dihadiahi surplus politisi, tetapi defisit negarawan. Demikian Burhanuddin Muhtadi menjelaskan dalam William Lidle, dkk (2011: 145).

Apa yang dikatakan Burhanuddin, penulis pikir sulit untuk disangkal. Kasus terkuaknya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di Indonesia, merupakan salah satu buktinya. Dengan mata telanjang kita menyaksikan betapa lebarnya ketimpangan sosial yang ada. Kesulitan hidup rakyat, berbanding terbalik dengan kemegahan dan kegelimangan harta penguasa beserta oligarki yang dibentuknya. Hemat penulis, hal ini seolah tamparan hebat bagi perjalanan demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan berdarah-darah.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (Ruslan Ismail Mage, 2013: 56), pernah mengungkapkan data yang mencengangkan bahwa pada Maret 2013 sudah 293 pemimpin daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) terjerat korupsi. Hal ini diperparah lagi dengan tergodanya 255 anggota legislatif, ikut bersaing mengumpulkan kekayaan dengan jalan cepat namun tak terhormat. Belum lagi dengan hiasan pemberitaan media mengenai beberapa petinggi negara seolah beramai-ramai dipanggil KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Memang cukup pahit untuk ditelan, bangsa yang demikian besar ini harus kelimpungan mencari pemimpin. Seperti disindir Abdurrahman Wahid (2006: 233), bahwa kehidupan kita yang kering kerontang ini dipenuhi oleh kegiatan untuk memenuhi dan mempertahankan kekuasaan, bukannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Bahkan menurut Gusdur (panggilan akrab Abdurrahman Wahid) pola kepemimpinan kita hanya dipenuhi basa-basi (etiket) yang tidak memberikan jaminan apa-apa kepada kita sebagai bangsa.

Lebih keras dari Gusdur, Robinson dan Rafid (2004: 78) yang biasa dikenal sebagai teoritisi kritis, dengan panjang lebar menyebut Indonesia masih dikuasai oleh oligarki seperti halnya pada masa orde baru. Para pejabat negara, keluarga yang mengandung unsur bisnis dan politik serta konglomerat bisnis, bahu-membahu mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan mereka dan golongannya. Jangan-jangan apa yang dikhawatirkan malaikat ketika Tuhan mengangkat khalifah dari kalangan manusia terjadi. Justru manusia yang mengedepankan potensi kehewanannya serta kecenderungan untuk melakukan ifsad dan isfaquddima (pertumpahan darah) yang berbondong menjadi penguasa.

Kegelisahan ini yang dirasakan Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, ia pernah membuat pernyataan bahwa potensi besar yang dimiliki negara kita menguap, hanya segelintir orang yang menikmatinya. Sedangkan rakyat tetap miskin (Kompas edisi 16 Agustus 2013).

Kedaulatan rakyat yang bertransformasi menjadi kedaulatan negara, seolah bergeser menjadi kedaulatan penguasa yang cenderung korup, represif dan kleintelistik. Peningkatan calon penguasa belum menjanjikan perbaikan, tetapi malah membuat proses rebutan kue-kue politik semakin menggila. Mungkin hal seperti inilah yang diistilahkan Said Agil Siradj (1991: 71) sebagai demokrasi semu.

Rasa keadilan rakyat dicederai. Rakyat yang seharusnya menjadi demos (pemegang kekuasaan) direduksi hanya menjadi voters (pemilih). Sehingga mereka mulai menolak untuk memberikan legitimasi politiknya pada para aspiran  kekuasaan dengan memilih abstain.

Hemat penulis, jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, akan membahayakan proses bernegara dan berdemokrasi yang sedang diperjuangkan. Kepercayaan publik dalam setiap pemilu, termasuk pemilu yang akan kita hadapi di tahun ini harus ditumbuhkan kembali. Sudah saatnya seluruh kalangan harus ikut andil sesuai dengan porsinya masing-masing, termasuk kalangan pesantren.

Pesantren merupakan lembaga yang memiliki basis massa dan modal sejarah yang sangat kuat, sehingga penulis berani  berhipotesis, bahwa pesantren akan mampu tampil menjadi solusi terhadap krisis kepemimpinan dan memperbaiki kualitas demokrasi kita. Persoalannya, pesantren seperti apa yang mampu menempati posisi seperti itu? Peranan apa yang mungkin diemban oleh pesantren untuk menyelesaikan  persoalan yang dihadapi? Melalui tulisan ini, diharapkan pesantren transformatif dapat melahirkan pemimpin ideal harapan agama dan bangsa.

Membaca Indonesia: Analisa Perjalanan Demokrasi dan Pemimpinnya

Membaca dan menganalisis proses demokrasi dan pola kepemimpinan para pemimpin masa lalu dan hari ini, penulis anggap penting dituturkan kepada pembaca. Hal ini menjadi pijakan dalam usaha mencari serta merumuskan solusi, terhadap persoalan kepemimpinan dan demokrasi yang sedang kita hadapi. Hal ini karena dalam perjalanan sejarah yang sudah terlewati, senantiasa ada pelajaran yang mesti direnungkan lalu dipetik hikmahnya untuk mengarungi masa depan. Senada dengan firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Teliti apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)

Keputusan untuk berdemokrasi sudah kita ambil sejak negeri ini didirikan (Bondan Gunawan, dalam Sri Sultan Hamengkubowono X dkk, 2000: 77). Kesadaran untuk membentuk sebuah negara bangsa atas dasar kedaulatan rakyat, merupakan respons pada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang muncul dari imperialisme kolonial dan kerajaan yang feodalistik.

Demokrasi yang menawarkan kedaulatan rakyat dan menghapus feodalisme serta otoritarianisme, seolah menjadi angin segar bagi founding father bangsa kita kala itu. Bagaimana tidak, ratusan tahun negara kita dieksploitasi habis-habisan. Selama itu pula, kemakmuran hanya menjadi utopia tak berwujud. Kemanusiaan bangsa kita diinjak-injak. Sumber daya alam dikeruk tanpa ampun.

Sulit untuk disangkal, bahwa janji demokrasi sangat menggiurkan. Mungkin hal ini yang sudah mengilhami para pendiri bangsa ini. Karena, secara filosofis sebagaimana diungkap Anthony Giddens (1994: 330), demokrasi adalah menyerahkan kekuasaan kepada rakyat, bukan kepada kaum bangsawan maupun raja. Sementara demokrasi yang dijelaskan Said Agil Siradj (1999: 76) bahwa demokrasi menjanjikan tegaknya keadilan, supremasi hukum, kebebasan berekspresi dan berserikat, persamaan hak, menjunjung tinggi permusyawaratan, serta memegang teguh hak asasi manusia.

Dengan kata lain, demokrasi memiliki relevansinya dengan semangat Islam sebagai agama mayoritas bangsa ini. Agama yang bertujuan membangun tatanan masyarakat yang memiliki jaminan kebebasan beragama (hifdz al-diin), keselamatan nyawa (hifdz al-nafs), keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wal ‘irdh), kebebasan berekspresi dan berserikat (hifdz al-‘aql), dan memelihara harta benda (hifdz al-maal). Dari beberapa alasan tersebut, penulis cukup sulit untuk menolak pilihan untuk berdemokrasi. Penolakan terhadap semangat berdemokrasi, hemat penulis lebih sering muncul karena ketidakmampuan memahami demokrasi dengan benar dan proporsional.

Semangat demokrasi yang demikian menjanjikan, dipadukan oleh para pendiri negeri ini, dengan sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar keseimbangan antara kesatuan (unity) dan perbedaan-keragaman (diversity). Kesadaran untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dengan memadukan diri dalam sejoli monodualisme kekuatan sejarah Indonesia; Bhineka Tunggal Ika. Sebuah harmoni dari dua pemikiran besar Soekarno dan Muhammad Hatta. Hal ini seperti yang digambarkan dengan menarik oleh Yudi Latif dalam Kompas edisi 16 Agustus 2013.

Yudi menjelaskan, perjalanan Indonesia, termasuk perjalanan demokrasinya tidak bisa dilepaskan dari pergulatannya untuk menyeimbangkan dua hal di atas. Kita bisa memilih kecenderungan pemerintahan masa-masa awal yang lebih berat pada sisi kebhinekaan, disusul dengan usaha penguatan persatuan dan kesatuan oleh Soekarno yang mengusung pembubaran parpol dan diikuti dengan mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden tahun 1956. Hal ini senada dengan Lidle (2012: 76) yang berkesimpulan bahwa proses demokrasi pada masa awal kemerdekaan berjalan sampai tahun 1956, setelah itu demokrasi tidak berjalan. Tetapi berubah menjadi otoritarianisme kekuasaan personal Soekarno sampai tahun 1965. Lalu dilanjutkan oleh Soeharto sampai tahun 1998.

Masa orde lama, orde baru dan reformasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sudah banyak dikaji para ilmuwan politik. William Lidle (2012: 89) misalnya. Ia cenderung melihat pergerakan bangsa ini ditentukan oleh individu pemimpin sebagai aktor utama. Lidle menyebut Soekarno sebagai aktor dari orde lama, Soeharto sebagai pemegang kendali perjalanan orde baru, dan aktor-aktor individu yang sudah terfragmentasi menjadi aktor utama dalam orde reformasi. Senada dengan Lidle, Abdul Munir Mulkhan (2003: 277) menyebut peran pemimpin sangat vital. Baginya, sistem tanpa pemimpin hanyalah utopia kosong.

Perhatian Lidle pada peran individu dalam setiap pergulatan politik Indonesia, mendorong untuk memberi analisis terhadap para pemimpin bangsa ini. Dengan menggunakan beberapa kepemimpinan, terutama yang dicetuskan oleh James Mc Burns (2010: 85) dalam bukunya yang berpengaruh, Leadership, Lidle membagi pemimpin dalam dua kategori. Yakni pemimpin transaksional dan pemimpin transformatif.

Menurut Lidle (2012: 122), Soekarno adalah salah satu pemimpin yang transformatif sampai tahun 1949. Soeharto berhasil  mentransformasikan ekonomi Indonesia, namun dengan ongkos represifnya tinggi. Adapun BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono merupakan presiden transaksional.

Dari analisa Lidle di atas, Burhanuddin Muhtadi dalam William Lidle (2012: 145) menyebut bangsa kita sedang mengalami krisis kepemimpinan transformatif. Dalam sistem presidensial dengan citra rasa parlementer multi partai, rentan mengarah pada kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan yang melibatkan hubungan pemimpin dengan pemilih maupun elit lainnya, dibangun atas dasar pragmatisme dan umpan balik negatif. Hubungan elit dengan konstituen dirusak oleh transaksi ekonomi bukan pertukaran gagasan.

Kondisi ini, hemat penulis langsung maupun tidak, sudah merusak tatanan demokrasi dan kehidupan negara kita. Tokoh yang memiliki peluang untuk memimpin, hanya mereka yang memiliki kelebihan secara finansial. Hal ini pula, selain sebab lainnya, membuat cara berpikir sebagai konstituen ikut rusak.

Gambaran di atas menunjukkan adanya ketidakmerataan sumber daya politik yang tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para elit politik kita. Kehadiran para elit politik lokal yang masih cenderung korup, represif dan kleintelistik serta gandrung dengan politik uang harus menjadi perhatian khusus. Di samping itu pula, melemahnya  kekuatan negara dan partisipasi politik publik (kaum populer) merupakan persoalan lain.

Hemat penulis, hal inilah yang menjadi tantangan bagi calon pemimpin kita hari ini. Selain itu, ini menjadi bekal bagi rakyat kita sebagai pemegang kedaulatan, agar tidak salah dan gegabah dalam mengambil tindakan.

Islam, Negara dan Kepemimpinan

Pembicaraan mengenai politik dan pemerintahan dalam kaitannya dengan Islam, merupakan bahan diskusi yang berkepanjangan di kalangan pemikir Islam sepanjang masa. Jika ditelusuri, terdapat tiga paradigma berpikir yang menjelaskan hubungan Islam dengan negara.

Paradigma pertama, menyatakan bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini didasarkan pada kesadaran  bahwa Islam merupakan agama serba lengkap, termasuk paham kenegaraan atau politik. Selain itu, menurut kelompok ini, ada sistem kenegaraan atau politik Islami yang mesti dijadikan pedoman, yakni masa nabi Muhammad SAW dan para khulafa al-rasyidin (Munawir Syadzali, 1990: 1). Tokohnya seperti Sayyid Quthb, Al-Maududi dan M. Rasyid Ridha.

Paradigma kedua, memandang antara agama dan negara tidak memiliki hubungan sama sekali. Tokohnya seperti Ali Abdul Raziq dan Dr. Thaha Hasan. Menurut kelompok ini, nabi Muhammad SAW diutus seperti para rasul sebelumnya yang ditugaskan untuk mengajak umat menuju kehidupan yang lebih baik atas dasar budi pekerti, dan tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan suatu negara (Munawir Syadzali, 1990: 1). Selain itu di dalam Al-Quran dan hadis tidak ditemukan petunjuk secara eksplisit tentang sistem pemerintahan tertentu (Ali Abdul Raziq, 1972: 72).

Adapun paradigma ketiga, menyebut agama dan negara memiliki hubungan simbiotik. Yaitu hubungan timbal-balik dan saling memerlukan. Agar lebih berkembang, agama membutuhkan negara. Sebaliknya, negara membutuhkan agama untuk bimbingan dan etika serta moral. Kelompok ini tidak menunjuk sebuah sistem pemerintahan atau negara tertentu (Munawir Syadzali, 1990: 1). Paradigma ini diusung oleh Al-Ghazali, seperti dalam karyanya Nasihat al-Muluk, Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah.

Perbedaan pemikiran para ulama dan kalangan cendekiawan mengenai hubungan agama dan negara, pada akhirnya sampai pada sebuah kesepakatan bahwa manusia membutuhkan, bahkan cenderung mewajibkan pendirian sebuah negara. Negara sebagai manifestasi dari kebaikan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk mewujudkan kebaikan bersama, baik dunia maupun akhirat.

Untuk mencapai kebaikan bersama melalui sebuah negara, tentunya menuntut adanya prinsip-prinsip dalam bernegara. Apa pun jenis negaranya. Said Agil Siradj (1999: 45) misalnya menuntut pelaku negara untuk berpegang teguh terhadap moralitas politik atau akhlaqul imamah wal ummah (moral pemimpin dan rakyat), agar mampu mencapai kemaslahatan bersama. Dengan mengutip sebuah kaidah fikih, bahwa kebijakan negara atas rakyat senantiasa harus mengedepankan kemaslahatan (Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil mashlahah).

Ajaran Islam menurut Dawam Rahardjo (2013: 67) memberikan ilham politik, bahkan dalam menghadapi kolonialisme. Islam ditangkap sebagai agama yang revolusioner yang dalam sejarah negara telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. Dalam hal ini, Islam memberi porsi yang proporsional bagi individu dan masyarakat.

Arah gerakan politik Islam, seperti diungkap Kuntowijoyo (1999: 47) didasari atas kesadaran akan kebenaran, bukan karena kelas atau hanya kepentingan material lainnya. Tidak seperti kapitalisme, tidak juga seperti sosialisme, meskipun dalam beberapa hal memiliki kemiripan.

Islam memandang penting peran pemimpin sebagai elit suatu komunitas. Bahkan mengharuskan mengangkat seorang pemimpin dari rombongan  yang hanya terdiri dari tiga orang. Bahkan menurut Mulkhan (2004: 277), sebuah bangsa atau agama akan tenggelam dalam pusaran sejarahnya sendiri tanpa kehadiran pemimpin, rasul, nabi atau pembaharu. Namun demikian, Islam tidak berhenti di sini. Peran struktur dan pergerakan publik pun memiliki tempat tersendiri.

Dalam Islam, seperti dijelaskan oleh Imam Syafi’i (Said Agil Siradj, 1999: 4), bahwa posisi penyelenggaraan negara termasuk pemimpin atas rakyat menempati posisi wali atas anak yatim. Jadi, penguasa tidak sepenuhnya bebas melakukan apa pun, atau kebanggaan yang melahirkan kesombongan. Melainkan, tidak lebih sebagai amanah (kepercayaan) atau wakalah (perwakilan) dari rakyat yang dikukuhkan dalam sebuah perjanjian yang biasa disebut bai’ah (M. Quraish Shihab, 2003: 425).

Posisi pemimpin seperti dijelaskan Imam Syafi’i di atas, mengandung konsekuensi logis akan kebutuhan kriteria khusus bagi pemimpin menurut Islam. Dalam hal ini, kita bisa melihat kembali tawaran Al-Quran mengenai prinsip-prinsip sebuah negara. Bahwa pada hakikatnya, pemimpin harus memiliki keshalihan individu, kepekaan sosial, kecakapan dalam hal menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, memegang kepercayaan publik, menginspirasi, berdiri di atas semua golongan, egaliter, dan mengaktualisasikan kepentingan rakyat sesuai aturan. Seperti dijelaskan Al-Quran:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah sebaik-baiknya yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisaa [4]: 58).

Menyampaikan amanat (kepentingan masyarakat) kepada yang berhak menerimanya dan menetapkan hukum dengan adil, merupakan salah satu kunci dari keberhasilan sebuah kepemimpinan. Keduanya merupakan kulminasi dari berbagai prinsip kepemimpinan ideal.

Hal ini tidak bisa terlaksana, jika sang pemimpin masih terjebak dalam subjektivitas dan selalu mementingkan kelompoknya sendiri. Karena keberhasilan melaksanakan keduanya adalah bukti dari capaian keshalihan individu, kecakapan sosial, dan daya tahan dari segala macam godaan. Karakteristik ini, diistilahkan dengan akhlaqul karimah. Senada dengan firman Allah SWT:

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di muka bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang munkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj [22]: 41).

Apa yang ditawarkan Al-Quran, jika ditelaah dengan seksama, semangatnya merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan kita hari ini. Janji relevansi dan universalitas Al-Quran yang melampaui setiap zaman dan tempat, lagi-lagi tidak bisa disangkal. Tugas kita tinggal mengaktualisasikan menjadi tindakan nyata yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

Pesantren Transformatif: Tradisi dan Semangat Kebaruan

Salah satu lembaga yang masih bisa diharapkan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ideal Al-Quran mengenai negara, kepemimpinan, moral politik dan persoalan sejenis adalah pesantren. Sebuah lembaga yang menurut Djohan Effendi (Pengantar dalam Hasbi Indra, 2003: 27) layak disebut kampung peradaban. Lembaga pendidikan tertua dan khas Indonesia (Faiqoh, 2003: 139) yang didirikan untuk mendidik masyarakat dan menyosialisasikan ajaran Islam ke dalam tata nilai masyarakat lokal pada aspek kehidupan. Bahkan Zamakhsari Dhofier (1982: 18) menyebutnya sebagai ujung tombak dan lembaga yang paling bertanggung jawab atas penyebaran Islam di Indonesia.

Modal sejarah yang cukup panjang, ditambah dengan basis massa yang sangat banyak, serta bukti pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat kita, merupakan sebagai alasan kuat untuk menaruh harapan besar pada pesantren. Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945 misalnya, menjadi salah satu fakta sejarah yang tidak bisa disangkal mengenai besarnya peran lembaga ini dalam membangun dan mengawal bangsa Indonesia (As’ad Said Ali, 2008: 40). Agaknya tidak bisa disangkal bahwa heroisme kebangsaan dan intelektualisme keagamaan  kalangan pesantren merupakan dua hal yang patut dipertimbangkan.

Karakteristik pesantren secara umum, seperti pendidikan tradisional, interaksi selama 24 jam, cara pandang yang khas terhadap dunia, penekanan moral, serta unsur-unsur utama yang disebutkan oleh Dhofier (1982: 6) yang terdiri dari pondok, masjid, santri, kiai, pengajaran kitab klasik, merupakan ciri khas dari pesantren. Ciri-ciri inilah  yang biasa digunakan untuk menunjukkan sebuah lembaga pesantren.

Jika ditelaah, keistimewaan pesantren terletak pada penanaman aspek moral. Lulusan dari pesantren, idealnya dipercaya memiliki nilai moral yang lebih baik. Penanaman sikap tulus ikhlas, sabar, tawakal, tawadhu, kejujuran dan independensi di pesantren, menurut Said Agil Siradj (1999: 149) merupakan modal utama untuk menyelamatkan bangsa ini dari bencana erosi akhlak dan dekadensi moral.

Sikap warga pesantren yang cenderung memandang dunia hanya sebagai alat untuk mendapatkan akhirat merupakan pijakan yang sangat penting untuk menjawab berbagai persoalan negeri ini. Karena, hemat penulis berbagai persoalan kronis yang mendera bangsa ini, terutama krisis kepemimpinan, penyebab utamanya adalah anggapan kita terhadap dunia sebagai segala-galanya. Sehingga untuk mendapatkannya boleh melakukan apa pun.

Beragam nilai ideal pesantren ini, mau tidak mau harus mampu menyesuaikan diri dengan tantangan zaman yang dihadapi. Santri sebagai lulusan pesantren, yang menurut Gertz (1989: 268) dalam arti luas diartikan sebagai muslim taat beragama. Sehingga nuansa keagamaan akan senantiasa menghiasi perilaku kesehariannya.

Berangkat dari kesadaran di atas, pesantren yang penulis mampu menjawab persoalan bangsa ini, terkait dengan persoalan kepemimpinan dan politik, tentunya bukan pesantren yang tidak mampu menyesuaikan diri dari tantangan zaman dan hanya larut dalam romantisme sejarah. Tetapi pesantren yang mampu mempertahankan nilai-nilai idealitas pesantren, serta tidak gagu  terhadap persoalan yang tengah hadir. Di samping itu, ia mampu meramu nilai-nilai lama dengan berbagai temuan baru yang lebih relevan dengan zaman. Sesuai dengan adagium yang selama ini didendangkan oleh kalangan pesantren sendiri. Yaitu, mempertahankan nilai lama yang masih baik, serta mencari dan mengadopsi nilai baru yang lebih baik.

Pesantren seperti inilah yang diistilahkan sebagai pesantren transformatif. Kemampuan pesantren dalam melahirkan subkultural sendiri seperti disebut Abdurrahman Wahid (1988: 156) ditambah dengan peran kiai yang mampu memposisikan diri sebagai guru, pemandu hidup, penjaga moral serta transmisi kultural secara sekaligus sangat berpotensi untuk melakukan kaderisasi pemimpin politik. Sekaligus memberikan pendidikan politik yang berkualitas kepada santri dan masyarakat, juga sebagai pusat spiritual.

Peran ini menuntut kiai untuk menggawangi pesantrennya. Memegang teguh tanggung jawab moral kemasyarakatan dan tidak tergiur untuk loncat pagar terjun ke dalam politik praktis. Atau hanya menjadi legitimasi terhadap kesalahan pemimpin yang dianggap memberikan keuntungan finansial.

Pesantren transformatif merupakan ikhtiar untuk menjadikan pesantren dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Dalam hal ini pesantren transformatif merupakan antitesis dari pesantren konvensional yang cenderung sederhana dan menutup diri dari perkembangan zaman. Juga merupakan lawan dari pesantren transaksional yang sudah terjebak menjadi sumber daya politik dan tereduksi hanya sebagai komoditas ekonomi.

Istilah transformasi seringkali dimunculkan oleh Lyotard (1996: 9) ketika membahas wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Secara leksikal, transformasi terdiri dari kata “trans” yaitu suatu perpindahan atau gerak yang melampaui yang sudah ada. Sementara “formasi” berarti bentuk atau sistem yang ada. Sementara tambahan kata “transformatif” setelah kata pesantren merupakan penegasan bahwa segala nilai dan tindakan ideal pesantren sebagaimana dijelaskan di muka dapat melampaui batas-batas kedirian (individu) pesantren. Semua idealitas yang dimilikinya bukan sekedar untuk dirinya, melainkan juga bagi yang lain.

Dalam hal ini, pesantren diharapkan memiliki semangat aktualisasi dan transformasi dari berbagai kesadaran positif yang dimiliki, menjadi tindakan nyata dan menebar manfaatnya pada pihak lain. Khususnya kalangan mustadh’afin (kaum marjinal). Misalnya, dalam konsep kebebasan. Bagi pesantren transformatif kesadaran mengenai kebebasan itu penting, namun semangat tindakan untuk membebaskan orang lain jauh lebih penting.

Jika dihubungkan dengan pesantren, hal ini mengandung konsekuensi terhadap isi materi yang disampaikan kepada santri, metode penyampaian materi dan kepedulian pesantren terhadap kehidupan sekitar dan berbagai problem sosial. Pesantren ini menjadi salah satu media untuk mengejewantahkan nilai profetik Islam yang diemban oleh nabi Muhammad SAW yakni merespon terhadap penyimpangan tauhid dan ketimpangan sosial dengan pendekatan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi, dan transendensi.

Pada wilayah isi, pesantren ini tidak hanya terfokus pada kajian ilmu agama tradisional. Melainkan, seluruh kalangan pesantren harus sudah mulai peka dan tidak memandang tabu terhadap persoalan-persoalan aktual, seperti demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, leadership, jurnalistik, pemberdayaan ekonomi dan sejenisnya.

Sistem pembelajarannya, memiliki acuan yang jelas. Termasuk kurikulum yang diajarkannya bersifat fleksibel. Artinya, dapat mengikuti perkembangan dan perubahan zaman dengan senantiasa mengindahkan nilai-nilai qurani. Sehingga santri akan mendapatkan pembelajaran yang tidak hanya muatan-muatan agama akan tetapi mengenal berbagai khazanah keilmuan. Pada akhirnya mereka mampu mendialogkan segala sesuatu dengan paradigma yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam.

Dalam hal metodologi penyampaian materi, pesantren transformatif harus mampu memadukan metodologi yang lama dengan pendekatan baru yang tidak monoton, top-down, guruisme, sentralistik, uniform, eksklusif dan indoktrinatif. Kelebihan prinsip pesantren, yang menurut Mastuhu sebagaimana dikutip Hasbi Indra (2003: 20) terdiri dari prinsip wisdom, bebas terpimpin, self-goverment dan kolektivisme, harus mampu disintesiskan dengan pendekatan baru, sehingga mampu melahirkan metode baru yang lebih relevan dengan zaman.

Kaitannya dengan persoalan politik, pesantren transformatif menjadi media untuk mengambil peran sebagai kaderisasi pemimpin sekaligus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Lebih dari itu, ia mampu mengambil peran dalam melakukan pendampingan terhadap aneka kebijakan publik, serta melakukan pengawalan terhadap kaum tertindas.

 

Epilog: Pemimpin Ideal berwujud, diimbangi Demokrasi lebih baik

Krisis kepemimpinan yang mendera bangsa Indonesia, sejatinya dapat diatasi dengan segera. Agar tidak ada pihak yang menjadi korban. Tentunya perlu dilakukan upaya penyembuhan yang tepat mengenai permasalahan yang tengah melanda. Kehadiran pemimpin dalam sebuah negara dapat dikatakan sebagai motor penggerak maju mundurnya suatu negara. Sehingga yang mayoritas muslim, dapat mewujudkan pemimpin yang diharapkannya. Yaitu pemimpin yang hadir dalam bingkai nilai-nilai Islami sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah SAW.

Kehadiran pemimpin yang didambakan tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu ada proses dan upaya dari berbagai pihak untuk mewujudkannya. Salah satunya peran lembaga pesantren. Pesantren dipercaya mampu melahirkan tipologi pemimpin yang diharapkan itu. Dalam hal ini, pesantren yang dapat menjaga nilai-nilai tradisinya, serta didukung dengan kemauan dan kemampuan menjawab persoalan aktual. Dari sana akan lahir pemimpin ideal serta kader demokrasi yang handal.

Pemimpin yang sudah mencapai derajat tidak terpengaruh oleh apa pun, memandang dunia sebagai senda gurau serta menganggapnya sebagai permainan belaka. Sosok pemimpin yang adil egaliter, jujur, merakyat, bebas dari tipologi transaksional dan mampu menginspirasi rakyatnya. Dengan semangat pesantren transformatif, diharapkan akan hadir pemimpin yang mencerahkan. Sehingga persoalan krisis kepemimpinan serta berbagai krisis turunannya dapat teratasi. Dengan demikian baldatun thayyibatun warabbun ghafur di bawah naungan pemimpin yang didambakan rakyatnya segera tercipta. Semoga!

Daftar Pustaka

Al-Quran dan terjemah

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1986.

Ali, Abdul Raziq, Al Islam wa Ushul al Hukm, Beirut: Darul Fikr, 1972.

Ali, As’ad Said, Pergolakan di Jantung Tradisi, Jakarta: LP3ES, 2008.

Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1982.

Faiqoh, Nyai Agen Perubahan di Pesantren, Jakarta: Kucica, 2003.

Gertz, Ciffort, Abangan, Santrim Priyayi, Jakarta: Pustaka Jaya, 2003.

Hamengkubuwono X, Sri Sultan, dkk., Indonesia Berkaca, Yogyakarta: Forum LSDM DIY, 2009.

Indra, Hasbi, Pesantren dan Transformasi Sosial, Jakarta: Paramadina, 2003.

Ismail, Mage Ruslan, Berpolitik Dengan Biaya Murah, Jakarta: Sipil Institut, 2013.

James, M. Burn, Leadership, New York: Harper and Row, 1978.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999.

Lidle, William, dkk., Memperbaiki Mutu Demokrasi Indonesia, Jakarta: Paramadina Press, 2012.

Mulkhan, Abdul Munir, Moral Politik Santri: Agama dan Pembebasan Kaum Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003.

Shihab, Quraish, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 2003.

Siradj, Said Agil, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.

Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990.

Wahid, Abdurrahman, Pesantren Sebagai Subkultural, Yogyakarta: LKIS, 1998.

Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Yogyakarta: LKIS, 2006.

Surat Kabar:

Kompas Edisi 16 Agustus 2013.

*Tulisan ini dilombakan dalam event MTQ cabang MMQ

Moderat, pecinta Al-Quran, suka menulis dan berbagi informasi, juga blogger mania.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...