Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Di Dalam Gerbong 8 Kereta Jakarta-Depok: Berbaik Sangka Lebih Baik

Di Dalam Gerbong 8 Kereta Jakarta-Depok: Berbaik Sangka Lebih Baik

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (wikipedia)
Ilustrasi (wikipedia)

dakwatuna.com – Suatu hari, setelah hampir 11 jam di atas kereta Jogja-Jakarta-Depok, di sepanjang perjalanan di dalam kereta kedua menuju Depok, tepat pukul 19.00 WIB, di saat mata mulai meredup sendu dan badan mulai goyah, ada pemandangan yang cukup membuatku geram atau bahkan mungkin hampir semua orang di gerbong kereta yang sama denganku, di gerbong 8.

Seorang anak kecil, kira-kira berusia 3 tahunan ke sana kemari menangis kencang… terkadang mengguling ke sana ke mari di lantai gerbong, berlari lagi, berguling lagi, begitu seterusnya sampai hati merasa teriris, tak tega, dan kaki mulai tak betah berdiam diri. Apalagi setelah melihat seorang pria – yang saya yakin betul pria ini adalah bapak dari si anak -berparas tinggi kurus, tampak layu wajahnya, menunduk, dan pilu, tengah duduk santai seperti tak punya dosa dan rasa iba pada si anak yang sedari tadi menangis berguling-guling. Pikirku saat itu, ‘aduuuh dasar bapak-bapak, liat yang kayak ginian masih aja santai-santai..’ Mungkin hampir semua orang berpikiran hal yang sama denganku..

Baiklah, dengan langkah tegas, saya menghampiri si anak dan akan mencoba bicara. ‘Oke, sambil berharap sang ayah akan beralih perhatiannya kepada si anak pikirku.. bismillah,… (tap.. tap.. tap.. tapak demi tapak bergegas..) kusapa dengan penuh kelembutan si anak yang masih berguling-guling di lantai gerbong, “Adik pintar, ayo sini kakak gendong ya, sayang.. yuk sini, kakak punya permen cokelat nih banyak. Coba liat, dek.. Enak deh. Adik mau? Ayo ambil.. yuk kakak gendong ya, cup.. cup.. sekarang nangisnya sudah ya adik pintar…” Alhamdulillah, dengan mudahnya dia menyambut butiran cokelatku, padahal anak seusia ini egoismenya sedang memuncak.

Sambil menggendong si anak, kuhampiri sang Bapak yang masih seenaknya duduk-duduk santai, tak tergubris dengan usahaku tadi.. lagi-lagi berpikir, ‘hmm.. begini ya bapak-bapak..’ Oke.. dalam hati geram dan mencoba menahan nafsu amarah, sambil melafalkan ta’awudz.. ‘oke.. tahan.. tahan.. sampaikan baik-baik.. sampaikan baik-baik…‘ Berhentilah langkahku di depan seorang Bapak yang pandangannya kosong dan terlihat sklera matanya berwarna merah. Mencoba menegur dengan penuh kesabaran, “Assalamu’alaikum.. Pak, mohon maaf, ini benar anak Bapak?” Sang Bapak sontak kaget dengan teguranku, “Oh iya, Mbak, Wa’alaikumsalam. Iya benar, ini anakku. Kenapa, mbak?” Dalam hati berbisik lagi dan menenangkan diri, ‘Wah si Bapak belum juga merasa kalau ada masalah di gerbong ini.. Oke, sabar, sampaikan baik-baik, sampaikan baik-baik’. “Mohon maaf, pak. Sepertinya anak Bapak sudah membuat penumpang di sini merasa terganggu karena tangisannya sedari tadi. Ini pak anaknya, lain kali lebih perhatian ya, pak. Kasihan anaknya..” Sang Bapak menjawab, “Astaghfirullah iya, terima kasih, mbak. mohon maaf mbak, saya memang sedang tidak fokus tadi, mbak, Istri saya baru saja meninggal dunia dua jam yang lalu. Jadi, pikiran saya sedang ke mana-mana. Sekali lagi mohon maaf, mbak..” Sontaklah aku mendengar penjelasannya. Alhamdulillah tadi bisa menahan amarah. Jika tidak, mungkin akan menambahi beban sang Bapak. Dengan plong-lepas semua kegeraman yang meledak-ledak ingin keluar, saya menjawabnya, “Innalillah, saya turut berduka cita atas meninggalnya istri Bapak. Semoga Allah memberikan kesabaran kepada Bapak dan keluarga.” Pelajaran berharga hari ini, “Berhusnuzhan dengan segala hal yang terjadi di sekitar kita itu lebih baik sebelum menimbulkan hal-hal yang lebih buruk”

Dari Abu Hurairah RA, ia katakan Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah kalian dari buruk sangka, karena buruk sangka itu sedusta-dusta perkataan (hati). Janganlah kalian mencari-cari berita keburukan orang lain, janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah kalian bersaing yang tidak sehat, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”.
(HR. Muslim)

Untuk itu, penting bagi kita untuk berhusnuzhan dan melakukan tabayyun (penyelidikan dengan baik-baik) terlebih dahulu sebelum meresponnya secara negatif. Alhamdulillah, Maha Suci Allah yang telah menjagaku dari sifat tercela sehingga persaudaraan ini tetap terjaga dan terhindar dari penyesalan.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan, UI, Angkatan 2010 |Ketua Majelis Pertimbangan FPPI FIK UI 2013 | Koordinator Bidang Keakhwatan, Kaderisasi Salam UI 17 (2014) | President Director @Heritage_ID (Bisnis Fashion Muslimah)

Lihat Juga

Halal Bihalal Salimah bersama Majelis Taklim dan Aa Gym

Figure
Organization