Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / One Piece Story, Mutiara Tarbiyah (In Memoriam Anissah Dini Juniarti)

One Piece Story, Mutiara Tarbiyah (In Memoriam Anissah Dini Juniarti)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: Fauzi Ahmad)
Ilustrasi. (Foto: Fauzi Ahmad)

dakwatuna.com – Mendengar kabar tentangmu rasanya biasa saja. Wajar saja, aku memang tak begitu mengenalmu. Apalagi melihatmu. Tapi sepertinya namamu tak asing di telingaku. Ya benar, kamu adalah salah satu akhwat yang dua tahun yang lalu pernah satu amanah dakwah, denganku bersama dengan ikhwah yang lain mengurus dakwah kampus Universitas Gadjah Mada. Entah, apakah kau mengenalku atau tidak. Dan memang tak begitu penting juga apakah kita saling mengenal atau tidak.

Masih tetap biasa saja, bahkan saat yang kudengar adalah kabar kematianmu. Bersebab penyakit kanker yang membersamai istirahatmu selama dua tahun terakhir ini, Allah menjadikannya wasilah untukmu menggugurkan dosa. Dan dengannya pula engkau meninggalkan dunia yang fana ini. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Engkau berpulang ke rahmatullah.

Di dunia maya dan jejaring sosial, begitu banyak yang berduka atas kepergianmu. Wajar saja, kamu orang publik dulunya, dan banyak juga ‘amal dakwah yang kamu lakukan. Ada yang menulis puisi, ada yang menulis cerpen, ada yang mengenang masa lalu bersamamu, ada yang mengenang kebaikan dan jasa jasa mu, ada yang mendoakanmu, ada pula yang sekadar berucap bela sungkawa. Perlahan perasaanku mulai terbawa.

Hari ini, Ahad (02/02/14) pukul 09.00 saya ikut rombongan untuk takziah ke rumah mu di Klaten. Kami berangkat dari Masjid Mardlyiah. Di jalan, saya membayangkan betapa beratnya perjalananmu pulang dari Jakarta. Dari rumah sakit di mana kamu terakhir memejamkan mata, selamanya. Saya membayangkan dirimu melewati gedung dan jalanan berdebu serta penuh polusi, kemudian melewati persawahan yang sejuk di daerah Klaten. Tidakkah kau merasa lebih nyaman di sini? Pandangan menghijau oleh padi-padi kecil yang mulai tumbuh dan semilir angin di Danau Rowo Jombor. Atau kau sudah merasa jauh lebih nyaman di sana? Apakah engkau sudah menemui Tuhan mu? Tuhan kita semua. Yang kabarnya nikmat sekali bertatap muka dengan-Nya.

Sepanjang perjalanan, kuamati rombongan. Jaket mereka bermacam macam, ada yang dari lembaga eksekutif, ada yang dari sentra kerohanian, ada yang dari kelompok studi, ada pula yang dari extra kampus. Dan kebanyakan saya tidak mengenal mereka, terutama teman-temanmu yang akhwat itu. Banyak yang belum pernah kujumpai sebelumnya. Apakah kamu mengenal mereka?

Akhirnya aku tiba di pelataran rumahmu, suasana menjadi berbeda. Tanpa alasan yang jelas, hatiku mulai kelu, perasaanku teraduk aduk, badanku merinding. Tapi saya coba untuk tidak terpengaruh keadaan. Aku mencoba biasa saja. Suara isyak tangis yang samar-samar terdengar, lantunan firman Tuhanmu yang mendayu-dayu, dan mimik wajah berduka para pelayat pun masih belum berhasil membuatku larut dalam keadaan. Kemudian kami menyolatkanmu.

Saat menyolatkanmu adalah saat yang paling mengharukan. Aku sudah tidak bisa lagi berpura pura biasa saja. Karena saya kenal beberapa orang yang ikut menyolatkanmu, mereka orang-orang luar biasa yang sangat kehilangan atas kepergianmu. Bagaimana saya tidak ikut merasa kehilangan? Air mataku meleleh, membasahi kelopak mata. Doaku sederhana,

“Semoga Allah menjamu-mu dengan sebaik baik jamuan”

Selepas shalat, kami bercengkerama di halaman rumahmu. Ku amati satu persatu pelayat yang datang. Aku terheran. Sangat heran.

Keherananku bukan tak bersebab. Dari sekian banyak pelayat, saya ketahui mereka sudah tidak berdomisili di Jogja. Ada yang sudah mudik liburan, ada yang sudah kerja di luar kota, ada yang sedang studi di kota nan jauh di sana. Dan mereka menyempatkan waktunya untuk ke sini. Ya, ke rumahmu. Untuk melayatmu, menyolatkanmu. Sehebat inikah engkau?

Akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan sederhana. Kamu memang orang baik, kamu orang shalihat, insya Allah. Dan mungkin kamu sedang tersenyum menyaksikan kami yang sedang bercengkerama di pelataran rumahmu. Atau mungkin kamu bahkan sudah melupakan kami, karena kamu sedang bermesraan dengan Tuhan mu, Asyik sekali nampaknya kau saat ini dengan-Nya.

Jika memang demikian, kamipun ingin demikian. Jangan egois dong! Kami juga Ingin bermanja-manja dengan rasul tercinta, bertatap muka dengan-Nya, dan kita dikumpulkan kembali di altar surga, dalam reuni akbar. Bersama berbagi tawa dan canda, mengulas nikmatnya perjuangan dalam dakwah. Meski kita tak saling kenal

Kesedihan kami semakin tak terkira, dan akupun larut di dalamnya. Ketika perwakilan pelayat menyampaikan bela sungkawa dan bercerita tentang dirimu. Tentang keshalihanmu, tentang betapa takutnya engkau kepada Tuhanmu. Aku semakin bangga menjadi saksi ‘amal mu di sepotong perjalanan hidup mu. Semakin bangga mengakuimu sebagai temanku. Dan kini, sepertinya engkau sedang menemui Dzat yang sangat engkau takuti dulu. Ya engkau sedang berduaan kan dengan-Nya sekarang? Kau sudah begitu akrab dengan-Nya sepertinya.

Kemudian kami mengantarkanmu ke pemakaman, keranda berjalan begitu cepatnya hingga saya tertinggal jauh. Mungkin mereka yang mengangkatmu juga tidak sabar agar engkau segera sampai di pembaringan. Setelah saya sampai, ternyata engkau sudah hampir selesai di kuburkan. Perasaanku tersayat, imajinasiku terbang melayang jauh. Membayangkan betapa mengerikannya di sana, berdebar hati menunggu sang malaikat penjaga kubur. Kemudian aku berdoa lagi, untukmu dan untuk kami semua yang masih hidup, doa yang sederhana,

“Ya Allah, selamatkanlah beliau dari fitnah kubur, dan jadikanlah kami sebaik baik pengambil hikmah”

Kuperhatikan sekitar, ada ayahmu di sini juga. Samar-samar saya mendengar beliau bercerita tentangmu, kemudian beliau juga menyampaikan bahwa sebelum berangkat ke rumah sakit di Jakarta, engkau sempat berpesan untuk nantinya di kuburkan di samping pemakaman ibunya. Sontak saya mengerut kening. Memutar rekam jejak singkat. Iya aku ingat. Dirimu piatu. Dan sekarang engkau menyusul ibumu…

Sahabatku, kami pulang. Dan tepat saat kami sampai di jalanan raya yang besar, Jalan Raya Solo yang dulu juga biasa engkau lewati, hujan turun begitu derasnya. Deras sekali. Entah apa yang ingin Allah tunjukkan kepada kami. Saya pun berdoa semoga selamat sampai Jogja.

Untuk selanjutnya, sahabatku….

Kami mohon izin untuk melanjutkan perjuanganmu, merawat pohon-pohon dakwah yang telah engkau tanam, menyemainya, dan menjaga buah-buah nya yang mulai ranum, yang nantinya bisa kita panen bersama di akhirat, insya Allah. Karena buah yang ranum ini akan menjadi permata tarbiyah yang dulu kita gaung-gaungkan bersama. Kini engkau sebentar lagi akan menuainya.

Mungkin umurmu tidaklah panjang, tapi jalan dakwah yang kamu lewati sudah begitu panjangnya, dan engkau telah mendahului kami untuk menjemput janji-Nya…

Selamat jalan, Annisah Dini Juniarti… Semoga engkau syahidah.

Mungkin saja besuk adalah giliran kami, atau bahkan lebih cepat dari itu. Entah di bumi mana kami akan dijemput. Dan bisa jadi, suasananya tidak semengharukan seperti kepergianmu…

Sepanjang perjalanan takziah, Jogja-Klaten.

Berikut profil singkat almarhumah

Nama: Anissah Dini Juniarti
Fak/Jur/Angk: Mipa/Statistika/2008 UGM
Amanah terakhir:

  • Biro Khusus Kaderisasi KMFM UGM 2011
  • Litbang PKP AAI UGM 2012

Meninggal 1 Februari 2014 Pukul 13.30 @Rumah Sakit Darmais Jakarta

Penyakit: Kanker

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Single fighter yang ayah-able | Petani Muda Berdasi | Wirausahawan | Pusat Al-Qur'an Terpadu | Barkasmal Jogja

Lihat Juga

Kaderisasi Pemuda: Investasi Tegaknya Agama

Figure
Organization