Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Aku di Sini Kau di Sana, Biarkan Saja!

Aku di Sini Kau di Sana, Biarkan Saja!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (cedmedia.ntu.edu.sg)
Ilustrasi (cedmedia.ntu.edu.sg)

dakwatuna.com – Pertemuan tak sengajaku dengan seorang kawan lama menghadirkan kembali sepenggal cerita saat kami masih menjemput rezeki di tempat yang sama. Bukan untuk mengungkit rasa sakit, atau mengabadikan kenangan pahit, tapi untuk mengingatkan diri bahwa tidak selamanya perbedaan itu salah dan harus dipermasalahkan.

Hari masih pagi, bahkan aktivitas di ruang berukuran empat kali delapan meter itu belumlah dimulai. Tapi tanpa pernah aku merasa memesan, Fulan datang membawa ‘kopi pahit’ untukku. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tapi kata-katanya yang nyaris tanpa jeda sempurna membuatku bungkam, terdiam.

“Kenapa kamu tidak bersama kami?” itu inti dari semua ‘pidato’nya. Melihat bagaimana ia membawakan, sepertinya konsepnya telah jauh-jauh hari ia siapkan.

Pertanyaan sebaliknya, kenapa kalian tak bersamaku, urung aku lontarkan. Jelas itu bukan jawaban sekaligus pertanyaan yang tepat untuk diberikan pada saat emosinya mulai memuncak. Sampai ia pergi, tak banyak yang aku ucapkan. Aku akan memberikan jawaban, penjelasan tapi tidak dalam situasi seperti ini, penuh emosi.

Aku akui, Fulan bukan satu-satunya orang yang mempertanyakan keputusanku. Sudah kujawab dengan sejujurnya tapi mereka tetap tak percaya, terlanjur curiga. Sepertinya bukan jawaban yang diinginkan, mereka terlanjur diliputi kekhawatiran yang berlebihan dan prasangka yang tak beralasan. Aku bukanlah satu-satunya, bukan pula yang pertama, sebelumnya telah ada orang lain yang mengambil keputusan sama.

Sebelum mengambil keputusan ‘kontroversial’ itu, aku sudah berhari-hari mempertimbangkan, berkali-kali memperhitungkan, tapi keyakinan di hati tak memberiku alasan untuk tetap bersama mereka.

Dingin. Itu yang terasa pada hubungan kami selanjutnya. Aku berusaha untuk bersikap senormal yang aku bisa. Menyelesaikan tugas dan pekerjaan seperti biasa, bersosialisasi, tak terkecuali dengan Fulan, aku terus mencoba membangun komunikasi meski – tentu saja – lebih banyak diabaikan ketimbang mendapatkan tanggapan. Dinginnya hubungan kami ternyata tak serta merta menurunkan suhu  di hatinya.

Adalah waktu yang selalu bisa diandalkan untuk membawa jawaban, memberi penjelasan, menghadirkan pemahaman. Perlahan, kebekuan hubungan kami mulai mencair. Satu dua kali komunikasi di luar pekerjaan mulai terjadi. Bahkan sebulan kemudian, kami sudah melupakan ‘kopi pahit’ yang membuat lambung dan hatiku melilit dan perih.

Dan pagi itu, saat aku dipaksa berolah raga (menuntun sepeda motor karena ban belakangnya bocor) seseorang dari arah berlawanan memperlambat laju motornya dan berhenti satu meter di depanku. Sebuah senyum ramah menjadi suguhan pertama saat ia membuka helm yang dikenakannya. Subhanallah! Hampir setahun kami tak bertemu, pagi itu Fulan muncul di depanku. Obrolan hangatpun segera tercipta. Saling bertanya kabar keluarga, pekerjaan dan juga rencana-rencana masa depan.

Jangan bedakan yang sama, jangan samakan yang beda itu yang pernah kutuliskan. Ada kalanya kesamaan sangat dibutuhkan, tapi ada saatnya perbedaan justru diperlukan. Sabar mengupayakan kesamaan, sadar menyikapi perbedaan semestinya diutamakan. Bagaimanapun, perbedaan adalah sebuah keniscayaan, bahkan sebuah anugerah agar kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran. Seperti yang kami alami, berbeda pandangan memang sempat membuat hubungan kerja merenggang, tapi seiring hadirnya pemahaman, perbedaan yang ada justru membuat kami semakin dewasa. Perbedaan bukanlah sesuatu yang  salah, atau perlu dipermasalahkan. Bukankah pelangi terlihat indah karena warnanya yang berbeda? Jadi, meski terkadang kita tak bisa duduk bersama, aku di sini dan kau di sana, biarkan saja. Tak usah dipermasalahkan, karena perbedaan itu tidak selamanya salah dan menjadi masalah.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang pembaca yang sedang belajar menulis.

Lihat Juga

Berbakti Pada Bunda tak Mengenal Waktu

Figure
Organization