Topic
Home / Pemuda / Essay / Jadi Aku Harus Bagaimana?

Jadi Aku Harus Bagaimana?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Pertama tulisan ini penulis buat untuk sekadar sedikit mengkritisi tulisan yang pernah di posting di dakwatuna.com ini dengan judul ‘Ikhwan Jaga Izzahmu’ yang membahas tentang fenomena curhat antar ikhwan akhwat dan juga salah satu tulisan seorang aktivis tentang ‘Jika Kau Akhwat’ yang membahas tentang kekakuan interaksi dunia maya bahwa komen, me-like dkk antara ikhwan akhwat juga. Ini bukan soal pembelaan atau pembenaran atas apa yang pernah dilakukan atau dialami oleh beberapa ikhwan terlebih diri penulis pribadi insya Allah tidak ada niatan itu dan penulis berlindung kepada Allah atas hal itu. Sebab ini hanya ingin melestarikan budaya intelek mencoba menyampaikan gagasan dengan sebuah gagasan juga, karena apa yang diutarakan pada kedua tulisan tersebut dan tulisan yang sejenisnya menurut penulis masih dalam kerangka gagasan saja.

Pada prinsipnya saya sengat setuju kesimpulan dari tulisan-tulisan di atas tentang pola komunikasi antara ikhwan dan akhwat yang harus dijaga, jangan sampai komunikasi yang tidak terlalu penting secara intensip. Namun ada beberapa hal yang menurut hemat penulis menjadi kontra produktif ketika Islam diposisikan menjadi sebuah kekakuan yang sangat begitu sekali. Bahwa seorang ikhwan haruslah menjadi ikhwan yang ‘kaku’ atau akhwat haruslah menjadi akhwat yang ‘galak’ untuk ‘menjaga’ izzah. Benarkah?

Menurut penulis itu tidak sepenuhnya benar, sebab secara langsung tidak punya korelasi antara izzah dengan seringnya berkomunikasi tersebut karena izzah itu artinya harga diri dan harga diri itu runtuh jikalau aib-aib yang dipunya diketahui orang. Tapi mungkin efek samping atau konsekuensi dari sering berkomunikasi tersebut akan berakibat pada ‘penyakit’ seperti dalam kaidah peribahasa jawa ‘witing trisno jalaran soko kulino’ atau kurang lebih artinya cinta itu datang seiring kebiasaan atau intennya interaksi. Namun itu tetap kembali ke personal masing-masing individu.

Kekakuan yang dilakukan oleh para aktivis baik ikhwan maupun akhwat menurut saya menjadi kurang produktif. Karena setiap hal yang ada itu mempunyai dua sisi yang berlawanan, ada sisi positif dan sisi negatif tentu tugas kita sebagai aktivis harus mengambil lebih banyak sisi positifnya dan meminimalisir sisi negatif tersebut. Kita ambil contoh pemasangan foto profil (PP) di sosial media khususnya para akhwat dan umumnya ikhwan. Di tengah semakin masifnya penggunaan media satu ini maka menjadi sebuah peluang besar juga untuk para aktivis memaksimalkan potensi dari sosial media ini. Maka pemasangan PP oleh para aktivis bisa menjadi salah satu bentuk syiar Islam kepada para teman dan followers-nya dengan catatan itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai syar’i, prinsipnya PP itu tentu menutup aurat dan tidak bergaya secara berlebihan atau biasa-biasa saja agar tidak mengandung fitnah. Sebab dengan begitu maka PP punya fungsi sebagai pengenal identitas dari akun sosial media dan syiar Islam bahwa begini seharusnya PP itu.

Kembali ke topik utama tentang menjaga izzah, pertanyaan kemudian muncul. Salahkah aku? Yang mencoba mengakomodir, menjawab pertanyaan atau curhatan junior yang masih ‘labil’ terutama akhwat yang membutuhkan proses pencarian jati dirinya. Bukankah berdakwah itu tidak memandang kepada siapapun dan sesungguhnya yang sering curhat dan bertanya itu mereka yang masih ‘labil’, lalu ketika kami mengatakan ‘tanyakan pada mbak-mbak senior’ mereka yang bertanya malah merasa beginikah Islam? Sangat kaku dan akhirnya mereka memilih kabur sebab lainnya bisa jadi karena ada ketidakpuasan atas jawaban mbak-mbak senior maka mereka mencari referensi lain. Salahkah aku? Menjadi orang yang ekstrovert atau terbuka dengan hal-hal yang masih dalam koridor syar’i misal komen, me-like dkknya. Padahal itu hanya bagian hal yang tidak juga berlebihan dan bertentangan secara syar’i. Salahkah aku? Jika aku menjadi pribadi yang bersahabat dengan siapapun. Kenapa ikhwan lebih diterima daripada akhwat sebagai tempat curhat dan bertanya? Sudah dijawab oleh salah satu tulisan tadi karena ikhwan lebih ‘terbuka’. Jadi harusnya senior-senior akhwat lebih terbuka lagi dan belajar terbuka lagi.

Kemudian penulis juga pernah bertanya masalah ini kepada seorang akhwat senior, beliau menjawab bahwa sekarang ini sarana atau forum berbagi dengan junior itu terbatas dan dunia maya menjadi tempat yang efektif untuk itu dan ternyata kebanyakan akhwat-akhwat senior tidak terlalu aktif di dunia maya maka para junior mengalihkan ke ikhwan-ikhwan senior yang aktif di dunia maya. Jadi kami (ikhwan) harus bagaimana?

Jadi pada intinya semuanya butuh proses ketika sang junior yang masih ‘labil’ sudah stabil tentu ia akan menyadari dengan sendirinya. Dan menjadi pekerjaan rumah bagi para senior untuk meningkatkan kapasitas diri untuk memberikan inspirasi lebih banyak. Allahu’alam bisshawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa tingkat akhir di Universitas Sriwijaya. Pernah menjadi Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Unsri 2011-2012 dan sedang proses menyelesaiankan studi.

Lihat Juga

‘As-Sisi Umumkan Perang terhadap Internet’

Figure
Organization