Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Berdakwah Melalui Berdagang

Berdakwah Melalui Berdagang

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (phombo.com)
Ilustrasi. (phombo.com)

dakwatuna.com – Alamanak baru saja belia usianya, tanah Borneo pun tak luput dari serangan hujan yang turun semalaman. Air sisa hujan menggenangi jalan berbatu dan menyisakan lubang menganga. Jalan yang selama musim kemarau saja sulit dilewati, terlebih sekarang tetesan hujan yang tak tahu kapan berhentinya semakin menyulitkan bagi orang yang hendak melaluinya. Bagi seorang kakek berusia enam dasawarsa, ini bukanlah halangan untuknya terus berdakwah melalui berdagang.

Pak Asmadi, begitu aku dan semua warga Desa Sempadian menyapanya. Rupanya barang dagangan yang dijajakannya tidak hanya digunakannya untuk menyambung hidup bersama keluarganya. Barang dagangan yang pada masa ini akan kita sulit kita jumpai pada pedagang lain yang berjualan dengan cara berkeliling, dari kampung satu ke kampung lainnya. Terlebih desa yang sepi dari hiruk pikuk manusia, tentu takkan mudah bagi seorang kakek jika yang dicari adalah keuntungan.

Al-Qur’an dan buku-buku Islam adalah barang yang ia jajakan dari pagi buta bersama sepeda tuanya. Puluhan kilometer ia lalui, aku paham betul keadaan jalan di desa ini. Jalan berbatu yang hanya dilapisi tanah, aku yang biasa menaiki motor saja kerap kali harus menjaga keseimbangan tubuh agar tak terjatuh. Apalagi beberapa bulan terakhir ini deraian hujan tak jua menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Jadilah jalan berbatu ini menjadi becek dan licin.

Sosok itu ku temui kembali di halaman masjid, rupanya pak Asmadi baru saja sampai dan kini menyanggah sepeda tuanya yang penuh barang dagangan disertai lumpur pekat yang menjadi hiasan yang tidak asing untuk dilihat. Selesai memarkirkan sepedanya, ia pun memunguti sampah-sampah yang berserakan dan memasukannya satu persatu. Sambil berkomat kamit, entah apa yang sedang diucapkannya. Satu yang ku tahu, beliau memang selalu seperti itu. Tiap kali memasuki masjid dan melihat halamannya kotor tak segan ia turun tangan untuk membersihkannya.

Aku memang tidak pernah bertukar cakap dengan beliau, apa yang ada dalam pikirannya hingga ia harus bertahan dengan pekerjaan yang tidak seberapa menghasilkannya. Aku pun sengaja duduk di pelataran masjid, kesempatan yang jarang sekali aku gunakan. Selesai dengan rutinitasnya, ia pun sejenak turut duduk di pelataran masjid sembari berpeluh keringat yang semoga menjadi saksi untuknya di akhirat kelak. Aku hendak memulai pembicaraan tapi tak cukup tega juga melihatnya yang masih terengah-engah. Aku pun mengurungkan niatku sejenak, bersama handphone di tangan sambil menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.

Tapi sepertinya pak Asmadi sudah mengenali wajahku, ia pun bertanya “ibu guru di sitok yih? Tang saye kire dolo santri di TPA jua. Maaf yah bu yih da’an tahu saye”. Saya pun langsung menjawabnya “oh… da’an ape pak”. Memang postur tubuhku yang kecil orang lain tentu tak pernah mengira kalau aku adalah seorang guru. Pada kesempatan yang baik pula, aku tak segan-segan untuk bertanya. “Bapak dagang ape aja?” tanyaku padanya. Ia pun menjawab sembari menunjukkan barang dagangannya, “ade Qur’an, tuntulan shalat, iqro, hafalan doa-doa dan ade jua minyak wangi”. “Owh, selain berdagang bapak kerja ape?” tanyaku untuk lebih tahu.

“Si’an agge bu, mun saye. Itok tolen kerjenye” jawabnya singkat. “Mun rate-rate penghasilannye cukepkeh pak?” tanyaku menyelidik. “Mun kame kerje nak dapat untung tentunye bukan kerje macam tok” jawabnya lagi. Sepintas aku langsung berpikir, pekerjaan semacam ini memang jauh dari kata untung karena berdagang di wilayah yang penduduknya bukan orang-orang yang hobi baca dan pengetahuan agama yang kurang tentu sulit untuk pak Asmadi menjajakannya.

“Bapak da’an noreh keh?” tanyaku belum puas. “Da’an bu, mun saye noreh da’an sempat saye nak berdagang” katanya lagi yang justru membuat aku semakin penasaran. Penghasilan menoreh memang tidak begitu besar tapi setidaknya ada penghasilan yang didapatkan tiap bulannya dibandingkan harus menggantungkan hidup dengan berdagang yang tidak seberapa untung dan tidak tetap. Tiba-tiba pak Asmadi bercerita “saye lah lame kerje macam itok, lah puluhan tahun saye berdagang. Biasanya saye berangkat pagi-pagi keliling dari satu desa ke desa lain. Tapi saye senang karena dengan begitu saye bisa menyambung silaturahim tiap saye masuk desa ke desa dengan menjajakan barang dagangan saya. Walaupun memang sulit mencari pelanggan yang butuh pengetahuan agama, lagi pula bukankah Rasulullah juga berdagang”.

Sambungnya lagi “dari silaturahim itulah semakin banyak saudara seagama kita yang saya kenal tapi justru membuat saya merasa kasihan. Di desa ini hampir semua penduduknya 100% Islam tapi lihatlah betapa kenakalan remajanya bisa menjadi nomor dua se-Kalimantan barat. Bukan itu saja mereka sangat pandai mengaji tapi kalau ditanya tentang sunah. Mereka hanya sekadar tahu tapi tidak menjalankannya. Tidak hanya di desa ini yang setiap shalat Jum’at masjidnya sapi hanya satu shaf padahal kalau mau dihitung masjid ini tidak akan sanggup menampung sejumlah lelaki dewasa yang ada. Tapi itulah kalau materi yang di kejar akhirnya akhirat terbengkalai.”

Saya pun hanya menunduk kecil sebagai tanda saya mengerti maksudnya. “Kalau bapak berdagang untungke pak” tanyaku yang seharusnya tidak perlu aku tanyakan. “Itok lah kate saye tadi mun saye kerje nak dapat untung make saya ngapelah jua nak payah-payah berkeliling. Selain menyambung silaturahim, kesempatan untuk berbagi ilmu pun bisa saya dapatkan meski harus bertahun-tahu tapi setidaknya sudah ada perubahan mereka untuk belajar memahami agama yang mereka anut. Sebelum saya tawarkan dagangan saye, saye ceritekan dolo isi bukunye. Dari sana setidaknya saya sudah memberikan ilmu yang seharusnye mereka pahami. Saye senang sekarang tiap desa walaupun tidak seberapa mereka sudah mau membuka diri untuk belajar dengan menjadikan saye sebagai pemateri di pengajian mingguan mereka.”

Kesenangan dan kecintaannya itu tergambar kuat dari mata dan rangkaian kata yang ia sampaikan kepadaku. Bukan hanya sunah yang ia kerjakan tapi keyakinan hatinya bahwa hanya dengan cara inilah ia bisa dekat dengan masyarakat melalui silaturahim yang ia jalin dengan begitu mereka akan terbuka untuk belajar. Sekarang saya memahami alasannya, bukan keuntungan semata tapi cintanya pada ajaran Islam dan penduduk desa ini.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa angkatan IV. sekarang menjadi volunteer sebagai Sekretaris KLIPNUS (Klinik Pendidikan Nusantara) menangani Training untuk Guru dan Siswa. serta KLIPNUS memiliki rumah baca yang disebut Kolong Ilmu. beberapa kegiatan kami diantaranya Indonesia Ceria dan Training for Teacher. Semoga Kami senantiasa bermanfaat. Klipnus : Build Better Indonesian Education

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization