Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Warna Cinta

Warna Cinta

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (flickr.com / Cmajor)
Ilustrasi (flickr.com / Cmajor)

dakwatuna.com

German, 2011

Pulanglah mba, Mas Agung akan menikah pekan ini.

Lala juga merindukan mba…

Aku menatap pesan di layar ponselku dengan terpaku. Berulang kali kubaca pesan itu, berharap muncul secercah keyakinan yang bulat akan keputusanku untuk menjawab pesan dari Lala adikku. Namun sayang, keyakinanku masih tak berbentuk. Aku lelah. Hari ini terlalu banyak pikiranku terkuras untuk pekerjaan, S2 ku, dan terlebih lagi pesan itu. Kurebahkan diriku di kasur. Menyegerakan diri untuk melelapkan mata, hingga perlahan aku masuk ke mesin waktu yang memutar memoriku tujuh tahun silam.

Jogja, 2004

Mas Agung pulang ke rumah dengan langkah gontai. Aku yang tengah menyiram tanaman memperhatikannya dengan tatapan heran. Kupercepat kegiatanku menyiram tanaman itu, lalu kuhampiri ia yang tengah duduk dengan mata terpejamnya di kursi tamu. Sesekali iya tampak memijit-mijit keningnya. Kubawakan ia segelas teh hangat.

“Ada apa, Mas?” Ia tampak ragu menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Ia hanya menolehku sekilas. Lalu kembali memejamkan matanya dengan tangan yang tetap memijat keningnya.

“Sita tahu mas tidak sakit, maka jawablah pertanyaan Sita. Ya, terkecuali jika memang mas sudah tidak mau berbagi dengan Sita.” Ucapku sedikit menarik perhatiannya. Lima menit berselang, tetap tak ada jawaban. Aku bangkit dari kursi yang kududuki di hadapannya. Sudahlah, percuma. Batinku. Langkah ke tiga aku menuju dapur, kudengar Mas Agung bersuara.

“Akan menikah…” Ujarnya parau.

“Siapa?”

Mas Agung mengeluarkan undangan pernikahan berwarna silver itu ke arahku. Kuambil dan kubaca perlahan. Hatiku menyesak perih. Bagaimanapun aku schok mendapati kenyataan. Ibuku akan menikah lagi. Ya, setidaknya memang nama ibuku yang kubaca pada nama pengantin itu. Aku tak mungkin salah! Tanpa kupinta mataku telah basah. Kuedarakan pandanganku menatap Mas Agung.

“Mas juga tidak tahu, mengapa ibu tak membicarakannya terlebih dahulu.” Ucapnya seolah menjawab tatapanku ke arahnya.

“Assalamu’alaikum, Mba Sita, Mas Agung, Lala pulang,”

Aku dan Mas Agung menjawab salamnya dengan berbarengan, sembari kuusap mataku yang basah secepatnya. Bermaksud agar adik bungsuku tak melihatnya. Namun telat, ia melihatku menyeka air mata di wajah.

“Kenapa Mba Sita menangis? Apa teringat ayah?” Tanyanya polos.

“Kau benar sayang, tapi sekarang tidak apa-apa. Cepatlah ganti bajumu, biar kita makan bersama.” Lala menganggukkan kepala, lalu masuk ke kamar. Aku tak berbohong dengan ucapanku. Kenyataan yang dibawa Mas Agung memang membuatku teringat akan sosok ayah yang telah belasan tahun meninggalkan kami demi pembaringannya yang tenang. Andai ia masih di sini…

“Kamu dan mas punya harapan yang sama. Hanya saja, takdir ibu berbeda dengan harap kita. Jangan tutupi dari Lala.”

“Sita hanya tidak tahu harus berkata bagaimana dalam penyampaiannya, Mas.”

“Biar nanti mas saja yang sampaikan. Apapun yang terjadi nanti, kalian adalah tanggung jawab mas.”

Hingga H-1, ibu baru menyampaikan ia akan menikah secara langsung. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami bertiga. Lala hanya memelukku. Lalu ibu pergi ke rumah calon suaminya. Ketika hari walimahan berlangsung, tidak ada dari kami yang hadir. Dan setelah peristiwa itu, kami hidup secara terpisah.

Setahun setelah kejadian itu, Mas Agung yang baru lulus SMA, mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan swasta. Ia yang menanggung semua kebutuhan hidup dan biaya sekolah aku yang SMA dan Lala yang SD. Untuk menambah uang jajan sehari-hari, aku yang suka menulis melamar menjadi penulis lepas di beberapa koran.

Tamat dari SMA, aku memutuskan untuk bekerja saja dari pada kuliah. Aku tidak ingin terus membebani Mas Agung dengan biaya kuliah yang besar. Aku ingin Mas Agung fokus saja untuk pembiayaan sekolah Lala.

“Mas masih mampu menanggung biaya kalian, Ta. Kalau mas tidak kuliah, kamu harus kuliah. Kamu dan Lala, harus bernasib lebih baik dari pada mas!”

Oktober 2007

Aku menjadi mahasiswa Psikologi di salah satu universitas negeri. Aku berusaha belajar dengan baik agar mendapatkan beasiswa. Setiap semesternya IP ku selalu memuaskan, dan aku bebas uang kuliah. Sayangnya di tengah keseriusanku untuk menjadi yang terbaik, aku mengabaikan kesehatanku. Pola makanku tak teratur dan kurang minum, hingga aku divonis ginjal. Untungnya masih belum parah. Aku langsung diberi penanganan terbaik. Bodohnya aku, karena kelalaian ini, aku malah menguras jutaan uang dari saku Mas Agung. Aku gagal meringankan bebannya.

Enam bulan berlalu, musibah kembali menimpa. Lala kecelakaan. Aku ingin mencari kerja sampingan, aku tahu tabungan Mas Agung mungkin sudah tidak ada lagi.

“Tidak perlu, Ta. Percaya sama mas. Fokus saja pada kuliahmu. Tidak usah kerja sampingan. Mas masih sanggup.” Itu yang terus ia ucapkan saat berulang kali aku merengek untuk bekerja. Mas Agung sedikit pun tak pernah mengeluh. Ia selalu menutupi kesusahannya dari aku dan Lala.

Juni 2011

Aku lulus dan mendapat predikat cumlaud. Aku mendapat tawaran beasiswa S2 ke Australia. Tapi aku menolak. Aku sudah memutuskan untuk mengambil program beasiswa ke German. Awalnya aku tidak ingin meninggalkan Mas Agung dan Lala, tapi kedua saudaraku itu meyakinkan aku untuk mengejar mimpiku.

“Lala sudah SMA mba, jadi jangan khawatir.”

Aku memang lebih lega sekarang, Lala sudah cukup besar untuk merawat kebutuhannya sendiri, dan Mas Agung sudah diangkat menjadi manager keuangan di kantornya, karena ia dianggap karyawan yang loyal dan jujur. Ini benar-benar kasih sayang Allah. Walaupun tanpa orang tua, tapi kami bisa survive menjalani hidup. Ya, di sinilah aku sekarang, masih melanjutkan S2 ku di German, Negara impianku.

Sebenarnya aku senang untuk kembali ke Jogja, aku juga sangat merindukan Mas Agung dan Lala. Hampir dua tahun aku tidak bertemu dengan mereka. Liburan semester lalu, sebenarnya aku telah bermaksud untuk pulang, Alhamdulillah penghasilanku sebagai asisten lab di kampus cukup untuk biaya pulang, tapi keinginanku pupus, saat Lala mengabarkan bahwa ibu telah kembali ke rumah kami. Ibu telah bercerai dengan suaminya. Aku tidak sanggup untuk kembali bertemu dengan ibuku lagi. Masih ada rasa kecewa yang mengakar terlalu dalam di hatiku. Tapi, tiga hari lagi adalah hari penting untuk Mas Agung, hero in my life.

***

Hari ini di kota Lepzig mulai turun salju. Aku yang tidak pernah merasakan musim salju di negara asalku, selalu bermasalah dengan keadaan ini. Berat sekali melangkah untuk meninggalkan ruang penghangat di apartemen ini, tapi hari ini aku sudah ada janji untuk bimbingan tesis dengan Prof. Fredrich Muller. Dalam perjalanan, handphoneku berdering.

“Assalamu’alaikum, Sita?”

“Wa’alaikumsalam, Mas. Wah pagi-pagi Sita sudah dapat telepon dari calon pengantin.” Godaku pada Mas Agung.

“Kamu ini, jangan menggoda mas. Kamu akan pulangkan, Ta?” Aku terdiam. Belum mampu menjawab.

“Tolong kesampingkan dulu hal yang lalu. Kamu tidak rindukah dengan kami? Tapi bagaimanapun juga, mas tidak akan memaksa. Mas yakin kamu sudah cukup dewasa untuk bersikap.”

Ya, seharusnya aku sudah cukup dewasa untuk bersikap. Air mataku jatuh, dan aku menutup telepon dari Mas Agung tanpa menjawab pertanyaannya.

***

Aku berada di Bandara Internasional Adi Sucipto pukul 22.00 WIB, dengan menggunakan taxi, aku meluncur kembali ke rumah. Setengah jam berlalu, aku tiba di rumah yang kurindukan. Rumah ini sudah tampak sedikit berbeda. Ada tambahan garasi di samping rumah. Agaknya Mas Agung sudah punya kendaraan baru. Warna cat yang dulu biru, kini sudah berganti hijau lumut, yang membuatku senang, tanamanku masih terawat dengan baik. Perlahan kuketuk pintu rumah. Semenit berselang, pintu itu terbuka. Tampak oleh mataku seorang gadis yang membuka pintu sambil mengucek-ngucek matanya. Kupeluk ia yang tak punya kesadaran penuh.

“Mba Sita…” Ucapnya ragu. Aku melonggarkan pelukanku untuk melihatnya. Kami saling tersenyum, lalu Lala kembali memelukku. Aku memang sengaja tidak mengabari kalau akan pulang hari ini. Biar sedikit surprise. Telepon dari Mas Agung beberapa hari yang lalu memang merubah keputusanku.

“Lala kangen sekali sama mba. Mas, Bu, ayo lihat siapa yang datang.” Panggilnya.

Mas Agung keluar dari kamarnya, dan tersenyum mendapati sosokku. Kupeluk ia. Sosok lain keluar dari kamarku dulu. Ia tersenyum melihatku. Aku kikuk. Aku hampiri ia dan kusalami tangannya.

“Sita lelah, Sita istirahat ya di kamar Lala.” Ucapku akhirnya menghindari situasi yang belum membuatku nyaman. Di kamar, Lala menunjukkan kebaya untukku besok.

“Untungnya mba datang, kalau tidak, siapa yang akan memakai kebaya ini? Besok jam delapan kita harus sudah tiba di gedung.”

“Kenapa tidak dibuat di rumah saja, La? Apa karena jabatan, kebiasaan Mas Agung yang sederhana berubah?”

“Mas hanya menuruti keinginan dari keluarga Mba Laras. Selama tidak melanggar syariat, Mas Agung menyetujuinya. Mba harus tahu, jodohnya Mas Agung itu anak seorang pengusaha besar dan masih ada garis keturunan keraton. Mereka dijodohkan langsung oleh ayahnya Mba Laras. Ayahnya Mba Laras ketemu Mas Agung, waktu Mas Agung ceramah Jum’at di Masjid dekat kantornya. Besoknya langsung diminta ta’aruf. Prosesnya hanya dua minggu saja, Mba. Lala juga pertama ketemu Mba Laras langsung suka.”

“Oh ya? Hmm, jadi tidak sabar bertemu calon kakak ipar.”

***

Senyum merekah di paras seluruh keluargaku tak kala melihat Mas Agung dengan baju pengantinnya. Ia terlihat sangat berkharisma. Sebelum ke gedung resepsi, akad nikah dilaksanakan di masjid Agung yang terkenal historisnya. Suasana ijab kabul terasa begitu hikmat. Di perjalanan menuju gedung resepsi, aku berkesempatan untuk mendampingi Mba Laras. Kami berbincang sepanjang perjalanan. Satu hal yang dapat kusimpulkan dari obrolan kami, Mba Laras memang calon istri yang ideal. Cara pandangnya mirip dengan Mas Agung. Ia cerdas, beretika dan religious. Meskipun ia dari kalangan atas, namun ia terlihat low profile. Ia akan tinggal di rumah sederhana kami. Aku jadi tenang mendapati kenyataan itu. Acara resepsi berlangsung hingga pukul 17.00 WIB.

***

“Kenapa harus besok, Ta? Tinggallah beberapa hari lagi.”

“Sita harus bimbingan tesis, Mas. Target Sita, sebulan lagi sudah selesai untuk sidang.” Kataku sambil memasukkan pakaian yang kubawa ke koper.

“Tapi kamu masih ada urusan yang belum selesai di sini!”

“Semua baik-baik saja, Mas.” Aku berusaha mengelak dari arah pembicaraan Mas Agung.

“Berhentilah bersikap bahwa semua kelihatan baik-baik saja, Ta. Kamu tahu, sikapmu yang acuh terhadap ibu, membuat ibu sedih dan sangat merasa bersalah.”

“Bukankah ibu memang bersalah?!”

“Jaga sikap kamu, Ta!”

“Mas, Sita tidak pernah membenci ibu. Sita hanya amat terlalu kecewa dengan apa yang ibu lakukan. Bagaimana mungkin ibu lebih memilih menikah dengan orang lain yang kita tak ketahui asal usulnya dan meninggalkan kita? Meninggalkan anak-anaknya yang masih SMA dan SD? Mencari biaya hidup sendiri, terkatung-katung, dan mas tentu masih ingat dua hari kita pernah tidak makan apapun karena tidak ada uang. Untung saja Pakde Kuncoro mau membantu kita. Saat Sita sakit dan Lala kecelakaan, ibu tidak datang untuk mengkhawatirkan keadaan kami. Dan hal yang paling parah, ketika Sita tahu bahwa ibu telah bercerai! Sita pikir ibu terlalu bahagia di sana sehingga melupakan kita, tapi ternyata…”

“Maafkan ibu Sita, maafkan ibu, Nak,” Ibu masuk ke kamarku. Disusul Mba Laras dan Lala. Mungkin ibu dan yang lainnya telah mendengar percakapanku dengan Mas Agung, karena suaraku yang sedikit meninggi terbawa emosi. Aku hanya bisa terdiam melihat ibuku menangis penuh linangan air mata yang berderai.

“Awalnya ibu pikir, dengan menikah lagi, ibu bisa membawa kehidupan kita menjadi lebih baik lagi. Namun ternyata ibu salah. Ibu malah menyakiti kalian. Setelah menikah, ibu tidak diizinkan untuk bertemu kalian. Beban-beban psikologis pun menyerang ibu. Hingga akhirnya ibu memutuskan untuk bercerai. Sungguh, bukan ingin ibu untuk meninggalkan kalian.”

“Kenapa ibu tidak pernah berkompromi dulu dengan kami?” Tanyaku lirih namun terdapat penekanan di beberapa kata.

“Sita, mba bukannya ingin ikut campur urusan keluarga yang sebelumnya mungkin tidak dengan pasti mba ketahui, tapi kamu harus ingat satu hal, kekecewaan hanya akan membuat kamu terus bersikap negatif. Akibatnya, hati kamu akan rusak. Kamu adalah muslimah yang baik, sebesar apapun kesalahan dan kekecewaan yang ibu lakukan, tidak akan pernah menggantikan kenyataan betapa besar perjuangannya untuk mengandung dan melahirkan kita ke dunia. Ibu adalah malaikat, malaikat kita di dunia. Jangan hanya karena satu kesalahannya, membuat kita lupa akan banyak kebaikan yang ia berikan. Mba yakin kamu paham akan ini.”

Sekarang aku paham istilah, psikolog juga manusia. Saat mengalami masalah seperti ini, aku seperti melupakan teori psikologi yang telah kupelajari. Aku berjalan ke arah ibu, kupeluk ia dan aku bersimpuh di kakinya. Cairan cintaku juga telah membasahi pipi.

“Maaf, Sita telah membuat ibu menangis. Sita sangat menyayangi ibu.  Maafkan Sita, Bu.” Ibu membawaku ke dalam pelukannya.

***

Tiga bulan setelah kejadian itu, aku memboyong seluruh keluarga ke German untuk menghadiri wisudaku. Aku terpilih menjadi yang terbaik dan diminta untuk menyampaikan beberapa kata di podium.

“Ich widme dies all die Helden der mein Leben und meine Welt der Engel. Danke.[i]

 


Catatan Kaki:

[i] Saya persembahkan ini semua untuk pahlawan dalam hidupku dan malaikat duniaku. Terimakasih.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis bernama Riska H Akmal. Lahir di Medan, Juni 1990. Seorang cerpenis yang bergiat sebagai anggota muda FLP-SUMUT.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization