Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ketika Futur Mengatur

Ketika Futur Mengatur

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (pojokherba.blogspot.com)
Ilustrasi. (pojokherba.blogspot.com)

dakwatuna.com – Akhir pekan adalah saat yang Nisa tunggu-tunggu. Karena ia berkesempatan ngungsi ke asrama Roudhotul Jannah. Sebuah Pondok Pesantren di salah satu sudut kota tempat tinggalnya. Mengakrabkan diri dengan berbagai kegiatan positif dengan menuntut ilmu, ngaji. Hingga tiada lagi malam sabtu & minggu kelabu seperti yang sering para remaja keluhkan jika tanpa pasangan ‘haram’ alias pacar. Justru bagi Nisa, masa muda adalah masa yang harus ia manfaatkan dengan sebaik mungkin untuk menuntut ilmu dibanding sibuk mengikuti arus zaman yang sekarang makin tak karuan. Di mana pemuda pemudinya banyak yang terbuai dengan hal-hal picisan. Bahkan nggak sedikit yang terjerumus dalam kelamnya pergaulan. Na’udzubillah mindzalik!

Seperti Jum’at sore ini, ia melangkah dengan antusias memasuki halaman RoudhJan. Didapatinya beberapa teman yang tengah berkutat dengan kitab nadzoman di pamastren masjid. Ada juga yang tengah muraja’ah dan tengah menambah hafalan. Tampak mereka sesekali membuka dan membaca lembaran mushaf di depan mereka dan sesekali pula memejamkan mata atau menerawang ke langit-langit seolah ada sesuatu yang dapat mereka baca di sana.

“Assalamu’alaikum…”

Pelan, Nisa mengetuk pintu kamar di asrama lantai dua setelah mengisi daftar hadir. Di lantai dua inilah kamarnya dan tiga sahabatnya berada. Sepi tak ada sahutan. Ia melebarkan daun pintu yang tertutup sebagian. Tetap sepi. Tapi sayup-sayup ia mendengar suara merdu Qori Sa’ad Al-Ghamidi yang tengah melantunkan surah An-Nisa dengan syahdunya. Murattal dari mp3 Isma yang tengah memutarnya. Nisa menyapu ruangan kamar itu dengan pandangan heran. Cukup berantakan tak seperti biasanya. Beberapa buku terbuka tanpa dibaca. Bahkan mushaf yang biasa ia pakai pun terbuka begitu saja di meja belajar. Didapatinya Isma tengah terbaring di ranjang susun bagian tengah, itu tempat tidurnya. Wajahnya tertutup bantal. Perlahan ia dekati, telinganya tersumpal headset. Karenanya, jiwa iseng Nisa kambuh seketika. Ia mencabutnya 1 sambil menahak kikik tawanya, tetapi nggak ada respon. Ia gelitik pun hanya menggeliat. Nisa mendekatkan bibirnya ke telinga sahabatnya itu. Ia tiup perlahan, Isma hanya menggeliat dan berganti posisi. Kembali tidur dengan tenang. Ia ambil sajadah yang tersampir di kursi belajar, ia ambil salah satu ujungnya untuk menggelitik hidung sahabatnya itu. Berharap kali ini berhasil membangunkannya.

“Gempa Uniiiii! Gempa! Bangun! Bangun! Bangun!” sontak, dengan terbersin dan mata merah serta muka lucu khas bangun tidurnya, Isma mendusin.

“Astaghfirullaahal ‘adziim!” Ia pun lekas bangun, berdiri dan kelimpungan hendak berlari langkah seceng. Nisa tersenyum geli melihatnya.

”Maaf Is, cuma mau bangunin kok hihihik.” Nisa nyengir mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Pisss…

“Iiiiiih, isengnya kambuh yah?!” Isma mendengus pelan. Ia kesal mendadak. Padahal dia tadi sedang bermimpi masuk ke zaman kolosal dan tengah mengajukan usul pada Baginda Raja agar para selirnya diizinkan berjilbab. Ia terbangun kaget karena mendengar teriakan gempa, teringat tragedi gempa di Bumi Minang yang pernah meluluh lantakkan kampung kelahirannya 4 tahun silam. Bersyukur, ia merasa beruntung saat itu tengah menghadiri walimah pernikahan sepupunya di Bekasi bersama Ibu dan Abangnya. Tapi sayang, ayahnya wafat tertimbun rumahnya yang ambruk. Ada sesal kesedihan dulu meninggalkan ayahnya yang tengah sakit di rumah. Bukan karena tega, tapi karena ada Kakak perempuannya yang menjaganya. Tapi sudah takdir dari Allah Yang Maha Kuasa dalam berkehendak, gempa itu mengguncang Bumi Minang ketika Kakaknya tengah kuliah. Sehingga ayahnya di rumah sendirian. Ah, itu sudah berlalu. Cukup dikenang dan jangan diratapi. Begitu pesan Ibunya. Soal mimpi tadi, mungkin itu hanyalah bunga tidur yang kebangetan di waktu yang buruk untuk tidur. Dan walaupun kesal, ia sunggingkan bibirnya untuk tersenyum pada sahabat di sampingnya yang tengah melipat sajadah.

“Abisnya, tidur di waktu senja, buruk banget tau! Rasulullah kan melarangnya Is. Kamu lupa?”

“Iya, tadi ketiduran Nis, khomet hafalin ayat indak nyangkut-nyangkut juga di otak. Mana malam ini setoran pula. Terima kasih udah bangunin. Gimana dengan hafalanmu?” terang Isma sembari merapikan buku-buku yang berserakan.

“Insya Allah, siap.” Nisa pun merapikan tempat tidurnya yang masih hangat bekas baringan Isma.

“Dirimu kenapa, muka kusut begitu. Ada masalah?” tanya Nisa sambil menepuk kasur tanda meminta Isma duduk di sebelahnya. Mereka pun duduk berdampingan.

“Rasanya pengin berhenti tahfizh Nis, semangatku menurun.”

“Wah, sepertinya terjangkit futur nih.”

“Entah Nis, rasanya menjadi hafizhah bukanlah prioritas lagi.”

“Lha kok begitu? Coba pikirkan di usia berapa kita belajar dan mendapat bimbingan dari seorang hafizhah, Is? “

“Ya secara intens 19 tahun, dirimu ingat, kan, waktu pertama kali aku datang ke sini?”

“Iya, ingat. Dari itulah coba dipertimbangkan lagi jika mau berhenti. Di sini kita berjuang bersama Is. Dua tahun kita telah melalui fase tajmi’. Ingat pula kita di sini mendapat bimbingan dari seorang hafizhah saat usia kita sudah beranjak remaja. Bayangkan jika kelak kita sudah berumah tangga dan mempunyai anak, pastilah anak kita mendapat bimbingan dari seorang hafizhah di usianya yang masih bayi jika kita tetap konsisten menuntaskan tahfizh yang tinggal beberapa juz lagi. Dan ingatlah menjadi hafizhah adalah suatu perbendaharaan yang tidak diberikan kepada sembarang orang.” Nisa menatap wajah sahabatnya itu lekat-lekat.

“Iya, akan ku ingat itu Nis. Tapi ini lain persoalan.”

Kali ini pandangan mata Isma bertemu dengan tatapan lekat Nisa.

“Kalau tidak keberatan, berbagilah apa yang menjadi beban pikiranmu jika percaya padaku.” Nisa menggenggam erat kedua telapak tangan Isma, dirasakannya pula jemari-jemarinya membalas erat genggamannya itu. Seolah ada ikatan kuat antara mereka. Ikatan ukhuwah. Tapi kemudian adzan Maghrib berkumandang merdu. Memendarkan cahaya iman di hati para penghuni RaudhJan. Memanggil setiap jiwa untuk segera menapis kegiatan di senja hari itu.

“Insya Allah, nanti malam kusharingkan. Syukran qablahu.” kali ini Isma tersenyum.

“Baiklah, sudah adzan tuh. Yuk bersuci!”

Kedua sahabat itu pun membaur bersama sahabat yang lain yang tengah mengantri di pewudhuan dan segera menyatu bersama pasukan bermukena putih yang siap mengagungkan asma Allah.

***

Usai ta’lim malam ini, Nisa, Isma dan Fatin tetap duduk di majelis. Duduk bersama Ustadzah Malikhah di pamastren. Disampaikannya pula apa yang kadang mereka rasakan. Yaitu menurunnya semangat dalam menuntut ilmu. Dzah Malikhah, demikian mereka akrab memanggilnya, beliau tersenyum dengan ramahnya menatap satu per satu wajah mereka. Air muka beliau begitu sejuk dipandang, ketiga muridnya pun merasa tenang saling pandang.

Banyak yang sering mengalaminya Dik, bukan hanya penuntut ilmu seperti kalian, tapi ahli ibadah dan para Da’i pun mengalaminya. Futur, ia seperti penyakit yang menyerang mereka sehingga menjadi lemah, malas, tidak semangat lagi, bahkan bisa berhenti sama sekali dari aktivitas baiknya. Futur inilah salah satu ujian bagi mereka dan juga kita.” Dzah Malikhah memulai penjelasannya ketika Nisa menyampaikan tentang kefuturan yang kadang dirasakannya dan dua sahabatnya.

“Jadi bagaimana sebaiknya Dzah?” tanya Nisa dengan wajah serius.

Kalian bisa pilih menjadi salah satu di antara 3 golongan yang terjangkit futur ini. Pertama golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya. Dan golongan ini sudah banyak,

Kedua, golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini juga lebih banyak lagi,

Ketiga, golongan yang kembali pada keadaan semula dengan semangat yang kembali dibangun, dan golongan ini sangat sedikit. Tinggal pilih mau menjadi yang mana?” Dzah Malikhah tersenyum memberi pilihan.

“Maunya yang ketiga Dzah.” Ketiga sahabat itu menjawab hampir serempak.

“Tapi macam mano caranyo, Dzah?” dengan logat Minangnya, Isma menimpalinya dengan pertanyaan.

“Perbaharui keimanan Dik dengan lebih mentauhidkan Allah dan memohon pada-Nya agar bertambah keimanan kita, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjamaah di masjid, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, shalat tahajjud dan witir jangan ditinggal kecuali jika ada ‘udzur. Ditambah sedekah, silaturahim, dan amal-amal ketaatan lainnya. Dan bagi seorang penuntut ilmu seperti kalian ini, hendaknya tekun menghadiri pelajaran, majelis ta’lim, muhadharah ilmiyyah dan daurah-daurah syar’iyyah lainnya. Sabar dan belajar untuk selalu sabar, serta harus pandai mengatur waktu.” terang Ustadzah Malikhah panjang lebar.

“Maksudnya pandai mengatur waktu bagaimana ya, Dzah?” Fatin bertanya dengan halus.

Maksudnya harus lebih pandai mengaturnya, jika ada kesempatan untuk melamun, maka tepislah dengan berdzikir atau kegiatan lainnya seperti muraja’ah, dengan begitu, kita merasalah selalu diawasi Allah ta’ala. Jadi manfaatkanlah waktu untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat lainnya. Sehingga setan tak mudah menyusupkan virus-virus futur ke dalam hati kita. Karena apa yang kita lakukan akan ada pertanggungjawabannya.” Ketiganya mendengarkan dengan seksama.

“Alhamdulillah, dapat pencerahan. Insya Allah Dzah akan kami tingkatkan lagi semangatnya. Syukran katsiir atas nasihatnya.” Nisa menjawabnya dengan mantap diiringi senyum dan anggukan dua sahabatnya.

“Barakallah fiikum ya Dik. Hayo pada semangat lagi! Jangan biarkan setan tertawa terbahak melihat kalian tertawan oleh kefuturan!” Dzah Malikhah mengepalkan telapak tangan kanannya dan mengangkatnya setinggi telinga seperti orator penyemangat.

“Wa fiikum Barakallah ya Dzah, siap semangat sepanjang hayat!” Nisa tersenyum lebar menjawabnya. Diikuti oleh kedua sahabatnya yang mengucapkan semboyan mereka kalau tengah berbagi semangat di kamar.

“Selama nikmat sehat melekat kuat, budayakan tetap semangat setiap saat, sepanjang hayat, semangat taat sampai akhir hayat, dan semangat taqwa sampai akhirat. Iya kan Dzah? hehehe”, timpal Isma yang seketika semangatnya tercharger sambil tersenyum lebar.

“Iya Dik…” Dzah Malikhah tersenyum manis menanggapinya sambil mengelus perut buncitnya.

“Kalau begitu kami pamit dulu ya, Dzah. Sugeng rehat Wassalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam warahmatuLlaah.”

Ketiganya pun menyalami dan mencium punggung tangan Ustadzah Malikhah yang masih tersenyum dengan ramahnya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Muslimah yang ingin & berusaha menjadi lebih baik, Faqirah yang mempunyai semangat belajar tinggi, dan gadis jawa sederhana yang ingin bermanfa'at untuk sesama. Salaam Ukhuwah fiiLlaah, biLlaah, waliLlaah :)

Lihat Juga

Futur, Maafkan Kami yang Sekarang Yaa Allah

Figure
Organization