Baca Puisi Akhir Tahun, “Raja Penyair” Pinto Janir dan Leon Agusta Pukau Penonton

Pinto Janir, membacakan puisi-puisinya dalam Konser Puisi Akhir Tahun, Selasa (31/12), malam di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Barat.

dakwatuna.com – Padang. Penampilan penyair Pinto Janir yang berjuluk “Si Raja Penyair” itu sukses memukau para penonton “Konser Puisi Akulah Sang Raja” yang digelar Forum Aktif Menulis (FAM) Wilayah Sumatera Barat di Gedung Utama Taman Budaya Padang persis di ujung tahun 2013, Selasa (31/12), malam.

Diiringi musik tradisi dari Indo Jati, “Sang Raja” yang “ditantang” oleh sejumlah penyair muda itu, juga disemarakkan oleh pembacaan puisi beberapa pemuka penyair nasional seperti Leon Agusta, mantan pembaca puisi terbaik Indonesia Harmen Suhasril, penyair “Si Maling Kondang” Syarifuddin Arifin, pemuka teater Rizal Tanjung, budayawan Emral Djamal, penyair Riau Surya Hadi “Murdok”, penyair Aceh Sulaiman Juned, dan Teuku Afifuddin.

Selain itu, dari FAM Wilayah Sumatera Barat ikut membaca puisi Denni Meilizon (Koordinator FAM Wilayah Sumatera Barat), Muhammad Fadli, Desri Erniza, Befaldo Angga, Refdinal Muzan, Amika AN, Hasan Asyhari, dan Irwan Hasan. Sementara Pegiat FAM Indonesia Muhammad Subhan didaulat membaca pidato akhir tahun yang mengawali konser puisi itu.

Acara yang diprotokoli oleh Andre dimulai dengan membacakan narasi tulisan Pinto janir tentang “Mengapa Aku Berpuisi” yang dibacakan bersama-sama oleh Pinto dan Syarifuddin Arifin dalam ilustrasi pantomim dari Komunitas Seni Nan Tumpah pimpinan Mahatma Muhammad.

Selanjutnya, Pinto Janir membawakan puisi “Akulah Sang Raja” yang diiringi musik tradisi dari Indojati pimpinan Papi Monon. Dalam “menghadang” belasan penyair, Pinto Janir membacakan kumpulan puisinya “Akulah Sang Raja” antara lain puisi “Keparat Berlagak Malaikat”, “Negeri Sarang Pelawak”, “Negeri Kata-Kata”, “Sim Salabim”, “PLN Bukan Matahari Ia Bulan”, dan beberapa lainnya.

“Pinto, puisi, musik, teater dan gerak menjadi satu. Saya suka dengan cara baru Pinto yang membawakan puisi dalam hentakan musik yang garang. Itu baru namanya konser puisi. Dalam blues ia berpuisi, dalam rock’n roll ia berpuisi. Gila. Ia selalu total dalam berpuisi. Ia membawa warna baru dalam pembacaan puisi di tanah air,” kata Armen Suhasril, pembaca puisi yang menghidupkan nilai teater di panggung puisi tanah air.

Konser puisi itu makin sempurna ketika penyair dan budayawan legendaris Leon Agusta tampil membacakan puisi “Huesca” karya penyair John S, terjemahan Chairil Anwar. Penyair Syarifuddin menghadang “Raja” dengan puisi “Maling Kondang”. Lalu Refdinal Muzan menghentak dalam puisi “Bacakanlah Kekasih”.

Denni Meilizon, penyair “Rembang Petang” menghadang “Raja” dengan puisi “Abal-Abal”. “Menulis adalah mainan orang cerdas. Puisi adalah lembaga pelatihan perasaan. Kedengkian, kekotoran tersikat oleh kekuatan puisi. Puisi adalah jiwa, puisi adalah hati, puisi adalah lapisan keindahan di ruang sebelah kanan dari otak kita. Bahwa, puisi adalah bahasa sastra yang paling jujur. Bilamana kedustaan dan kejahatan berserak di atas tanah kita, itu sebuah tanda bahwa puisi telah ditinggalkan dan para pujangga telah terlemparkan!” ujar Pinto Janir yang kini sedang gencar melakukan Gerakan Sastra “Ayo Menjadi Penyair” dengan berkeliling ke mana-mana untuk melakukan “kampanye” puisi di tengah kehidupan yang gelisah.

Mengapa Konser Puisi Akulah Sang Raja digelar di akhir tahun? Koordinator FAM Wilayah Sumatera Barat Denni Meilizon mengatakan, “Harapan kita, tahun 2014 bangsa ini lebih memperhatikan pembangunan bidang kebudayaan, khususnya seni dalam ruang sastra khususnya puisi. Bila pemerintah peka terhadap pembangunan kebudayaan, niscaya segala kebimbangan, kerisauan di tengah kehidupan sosial akan terjawab,” katanya.

Sementara menurut Pinto Janir, membangun kebudayaan, membangun kesenian, berarti para seniman (penyair) sedang berupaya melepaskan diri dari segala derita yang menjerat. “Kebudayaan menebarkan efek di berbagai rupa kehidupan kita!” tambahnya.

 

Kantong Sastra

Sementara, Pegiat FAM Indonesia Muhammad Subhan dalam pidatonya malam itu menyinggung soal bertumbuh-suburnya kantong-kantong sastra di Sumatera Barat. Dia mencermati, setidaknya sepuluh tahun terakhir, kantong-kantong sastra semakin banyak muncul di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan di tengah masyarakat umum lainnya.

“Pertumbuhan kantong-kantong sastra ini sangat luar biasa dan pantas diberikan apresiasi. Anggotanya, bukan saja aktif berkarya, tetapi juga berprestasi dan berkegiatan,” ujarnya.

Dengan banyaknya kantong-kantong sastra itu, jelas Muhammad Subhan, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat lewat instansi terkait sebaiknya melakukan pemetaan (pendataan). Yang tak kalah penting dari itu, adalah memberikan perhatian dalam bentuk anggaran untuk operasional kegiatan para pegiat kantong-kantong sastra itu.

“Kita tahu, bahwa untuk pementasan teater atau musikalisasi puisi misalnya, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selama ini, teman-teman kita itu memproduksi karya mereka dengan ‘semangat 45’. Artinya, mereka merogoh isi kantong sendiri atau mengumpulkan dana secara swadaya. Tujuannya satu, agar seni dan berkesenian tetap tumbuh-membumi di negeri ini,” katanya.

Hidupnya kantong-kantong sastra tersebut, tambah Muhammad Subhan, dengan sendirinya membantu tugas-tugas pemerintah daerah, khususnya dalam rangka menumbuhkan minat membaca buku dan menulis di kalangan generasi muda, selain dapat membentuk karakter.

“Kantong-kantong sastra itu juga menjadi lembaga kaderisasi calon-calon sastrawan dan seniman, yang kelak, turut serta membangun kebudayaan dan menciptakan masyarakat berbudaya,” tambahnya. (REL/ded/dakwatuna)

Lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak kecil menggemari segala jenis masakan. Hingga kini senang membaca dan mengakrabi aksara.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...