Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Bidadari dari Langit

Bidadari dari Langit

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (VLAOSTUDIO)
Ilustrasi. (VLAOSTUDIO)

dakwatuna.com – “Gimana kondisi ibu dok? Bisa sembuh kan dok? Bisa sembuhkaaan??” Hamburan pertanyaan ku lontaran pada pak Rohman dokter spesialis penyakit dalam yang mengobati ibu selama dirawat di rumah sakit. Pembawaannya yang lembut tak sedikitpun meredakan tingkahku, uraian penjelasan dari pak Rohman tak bisa kucerna dengan jelas, beliau bahkan tak menyinggung sedikitpun pertanyaanku tentang harapan kesembuhan. Satu jawaban yang dapat menghentikanku dari membenci diriku sendiri, satu jawaban yang dapat meredam kegelisahanku yang kian memuncak.

“Ibuu… dibujukini Ika pulang buu… bu ini Ika buu…’ aku menggenggam erat tangannya, mencium tangannya lama, kutumpahkan segala kekhawatiran yang bercampur dengan penyesalan. “Maafin Ika buu…Ika anak ibuu…Ika anak ibuuu…”air mataku tertumpah, isak tangis tak dapat ku sembunyikan lagi, kubiarkan menggema hingga menghantam hatiku tajam.

“Ajaklah mamak kau itu juga, tak enak bibik pergi mak kau tak kau ajak” sahut bik Ida lengkap dengan logat Bataknya

Gak ah bik, bibik ajaaa, ini moment penting wisudaku bik, nanti kalau ada ibu bisa bikin aku gak mood…”, jawabku ketus

Aku menutup telepon geram, bibik tetap saja menyanjung perempuan itu seperti malaikat, di mataku semua terlihat basi, dulu mungkin baik karena ada bapak saja, wajar juga perempuan itu merawat bapak bertahun-tahun sampai bapak tiada, toh bapak suaminya…” aku membatin kesal

Entah mengapa keberadaannya tetap saja membuat hatiku selalu kalang kabut. Ia tetap seperti orang asing. Masih terekam jelas ketika aku dipaksa memanggil perempuan itu dengan panggilan ibu, tiap kali ia memperkenalkan aku sebagai anaknya, tiap kali itu pula aku merasa hidupku amat sangat kalah. Kalah mempertahankan ibu kandung ku sebagai satu-satunya ratu di gubug kecil kami.

Bu bangun bu…Ini Ika pulang…ini Ika anak ibuu…” aku menatap wajah perempuan separuh baya itu dalam, wajah yang sama sekali tak pernah ku anggap ada dalam kehidupan ku. Tapi bak petir di siang bolong kabar tentang sakitnya yang kian parah berhasil menyulap perasaan benciku menjadi cinta yang begitu dalam. Tiba-tiba semua memori tentangnya menyeruak, kebaikannya mulai bermunculan, mata hatiku yang rabun mulai mampu melihat jelas ketulusannya.

Ia tak pernah mengeluh sedikitpun, terlalu banyak diam, ia hanya membalas kemarahanku dengan senyuman. Ia juga yang tak meninggalkan bapak ketika bapak sakit keras, tetap merawat dan mengusahakan pengobatan bapak seorang diri. Hingga bapak tiada ia tetap menyisihkan tabungannya untuk menyekolahkan ku, selalu dengan bangga menceritakan gemerlapnya prestasiku pada semua orang, walaupun dalam diam tiap orang memahami bahwa dia tak pernah ku anggap ada.

Ibu pasti sembuh…ibu pasti sembuh” ucap ku bercampur isak tangis

Aku bertekuk dalam penyesalan yang dalam, tubuhku gemetar hebat, tatapan mataku kosong, aku dihantui beragam ketakutan. Aku takut kehilangan ibu, aku belum sempat mengucapkan kata-kata yang ingin sekali ia dengar dalam hidupnya. Sebuah pengakuan bahwa ia adalah ibuku. Bukan hanya sebuah panggilan ibu, tapi curahan cinta dari anak untuk ibunya.

Tuhan… izinkan aku punya satu waktu saja, untuk mendekap ia hangat, bercerita banyak hal layaknya seorang anak pada ibunya, izinkan satu kali saja, biar aku membuatnya bahagia, akan kugandeng tangannya mesra, memperkenalkan dengan bangga bahwa perempuan yang berada di sampingku bukan hanya seorang ibu, tapi dia bidadari langit yang selama ini menjagaku, mencintaiku hingga aku dapat memahami ketulusan tanpa ia berkata apa-apa.

“Ibuu…bangun bu…Ini Ika…ini Ika pulang buuu…ini Ika anakmu, Ika kangen sama ibuu…”

Aku selalu bertanya bagaimana rasanya mempunyai seorang ibu, berandai-andai jika ibu kandungku masih ada. Berimajinasi sendiri tentang kasih sayang dari ibu kandungku, tapi ternyata Tuhan menurunkan bidadari lain untuk mengajarkanku tentang arti cinta sebenarnya. Mereka berdua perempuan-perempuan penuh cinta itu adalah ibuku, baik karena ada ikatan darah ataupun tidak. Mereka tetap bidadari dari langit yang menyuguhkan kasih sayang dan ketulusan.

Ibu…aku anakmu bu…” ku genggam tangannya erat, kubiarkan kata hati merangkai doa-doa, berharap mempunyai satu kesempatan untuk membuatnya bahagia. “Ibu…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

mahasiswi co ners di Yogyakarta. Motto hidup adalah hidup sekali, harus bahagia atas ridho-Nya. Kegemaran menulis di diary, mencoba menyalurkan tulisan smoga bermanfaat.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization